Share

Bab 3 Kamar Kosong

Awan gelap tersemat di ruang luas yang terbentang di atas bumi, beriringan dengan sapuan angin yang memporak-porandakan daun kering. Sepasang kekasih tengah duduk saling menyender dibawah Pohon Ketapang, matanya bebas menjelajah setiap jengkal keindahan Waduk Sempor. Ketika menyadari langit akan segera memuntahkan air, orang-orang beranjak menghentikan aktivitasnya. Beberapa perahu getek mulai menepi, seorang kakek yang memancing dengan tiga alat pancing sekaligus, segera membenahi satu persatu peralatannya. Pemilik warung kerepotan menggulung tikar yang sengaja disediakan untuk para pengunjung, dan sepasang kekasih itu terpaksa beranjak karena alas duduknya sudah diminta oleh si pemilik. Pria gagah yang diketahui bernama Afi itu hanya mengangkat bahunya, pasrah. 

"Seperti mereka, kita juga harus pulang kan, Fi?". Suaranya amat lirih, sehingga Afi harus mendekatkan telinganya di bibir yang baru saja mengajukan pertanyaan. Sekali mengembuskan napas berat, sembari melempar tatapan kosong ke arah waduk, Asha spontan mendorong bahu si pria cabul karena telah mencuri kesempatan dengan menempelkan pipinya tepat di bibir ranum Asha ketika dirinya tengah melamun tadi. 

"Yang bilang mau menginap disini siapa?". Afi menimpali sekenanya, tapi wajahnya berseri-seri yang kemudian diterkam oleh lirikan mata Asha yang mengintimidasi. Pemilik bahu kekar berlalu tidak peduli, sengaja menabrakkan lengannya ke tubuh yang terlihat lunglai sambil menyeringai. Asha menahan langkah Afi yang baru saja melewatinya dengan memegangi kelingking pria itu. Afi segera menoleh.

"Aku mau mengunjungi ibu". Asha memohon

"cuss.. berangkat".

Tanpa ba-bi-bu Afi mengendarai motor Astrea berwarna hitam dominan dengan corak hijau, siap mengantar kemana Asha ingin pergi.

Setibanya di tempat tujuan, Asha meminta pria yang sudah menggandeng tangannya untuk menunggu di pintu masuk. Ada hal yang ingin dia ceritakan hanya dengan ibunya saja. Lantas Afi melepas tangan Asha dari genggamannya, tidak ada yang akan dan bisa dia lakukan kecuali menuruti kemauan seseorang yang selalu ingin dia rengkuh untuk memberikan kedamaian. 

"Aku berharap kamu tidak meneteskan air mata ketika dihadapannya" Permintaan Afi yang entah sudah berapa kali terlontar namun belum sempat diijabah oleh Asha, barang sekali saja. Asha tersenyum, meskipun gurun di hatinya sedang meradang, setidaknya masih ada hembusan angin yang melegakan hingga ke kerongkongan. 

Gadis itu berlalu dengan langkah yang berat, beberapa hadiah sudah disiapkan khusus untuk ibunya, sementara afi mengawasi dari kejauhan. Sebuah besi beton baru saja menghujam dada Asha, menyesakkan, sehingga untuk menyapa ibunya saja begitu sulit untuk dilakukan. Suaranya hampir tak terdengar, air matanya mengalir menganak sungai. Sekali lagi Asha tidak menepati harapan Afi. Tubuhnya ambruk di hadapan ibunya, Padahal belum sempat bagi mereka saling bertukar kabar. Dengan tenaga yang masih tersisa, Asha bangkit hingga mencapai posisi duduk. 

"Tadi malam, Ryan melihat ibu di kamar. Kalau pulang, kenapa tidak menemui aku. Bukankan aku satu-satunya orang yang paling mendambakan kesempatan itu?". Protes Asha pada ibunya, meski tidak ada respon di sana dia terus bercerita tentang keadaanya saat ini. Tanpa diundang, langit mengantarkan rinai ke bumi secara tiba-tiba. Afi yang khawatir karena gadisnya tak kunjung muncul, dia bergegas menyusul Asha. Hatinya tercabik kala mendapati Asha yang terkulai di samping pusara ibunya dengan pakaian yang sudah berlumuran lumpur sambil terus berbicara sendiri, didekapnya Asha erat-erat. Bunga yang dibeli sebagai hadiah untuk ibunya masih utuh, sepertinya dia masih belum mampu menabur di rumah baru Anisah. Afi berinisiatif melakukannya untuk Asha. Ditaburlah bunga-bunga itu hingga kelopak terakhir, dan meraih tangan Asha untuk mengajaknya berdoa bersama. 

"Sekarang waktunya pamit, sebentar lagi mungkin hujan lebat akan benar-benar turun, jangan membuat ibumu tidak tenang karena melihatmu tidak berdaya".

Pria yang dulu dinilai sebagai sosok dingin dan acuh, kini begitu telaten memberikan perhatiannya kepada Asha, gadis yang dia temui saat masih duduk di bangku SMP delapan tahun lalu. Dulu, sempat Afi mengira bahwa Asha adalah anak yang positif dan cerianya tidak akan pernah pudar, tapi setelah kepergian sang pelita tujuh hari yang lalu karena operasinya gagal, Afi benar-benar melihat sisi terlemah Asha. Semangatnya redup, hidupnya seperti terombang-ambing kehilangan arah. Ketika hampir menjemput secercah harapan, justru dipatahkan setelah mendapat cerita bahwa Ryan, sepupunya yang berusia empat tahun bertemu dengan ibunya semalam di kamar yang dulu di tempati Anisah semasa hidup, ketika hendak mengambil mainan mobil-mobilan yang menerobos ke kamar kosong tersebut. Afi yang berusaha keras mengumpulkan puing-puing kekuatan untuk Asha, harus membangun kembali dari awal setelah hancur berserak. Tidak ada yang berat baginya, dia berjanji akan mengembalikan senyum Asha. Sebanyak apapun detik yang dihabiskan sia-sia, sedalam apapun kesabaran yang tercurahkan cuma-cuma, kebahagiaan Asha adalah hasil yang tidak bisa ditakar dengan angka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status