Share

Bab 2 Tanda-tanda

Mengerjap-ngerjap. Asha baru saja kembali dari perjalananya ke pulau Dewata bersama Afi. Di alam Mimpi. Kalau saja tidak ada suara gaduh yang mengganggu, mungkin sekarang mereka berdua sedang asik berselancar menaklukkan ombak.

Dengan pandangan yang masih kabur, sedikitnya Asha bisa menangkap bayangan perempuan perut besar tengah berdiri di depan lemari.

"Mau diapakan lemariku, Bu?".

"Ah ini, ibu mau mengambil kain jarik yang sudah lama sekali tersimpan. Tapi pintu lemarinya sulit sekali dibuka".

"Pantas saja aku mengira ada gempa. Minta tolong paman saja suruh mencongkel, pintunya sudah berkarat. Mungkin karena sudah lama tidak pernah dibuka". Asha memberi saran sebelum akhirnya kembali melaut. Anisah, Ibu Asha, mengerti kondisi Asha yang baru saja melakukan perjalanan jauh sehingga butuh banyak waktu istirahat.

**                                                     

 Biru, hangat, harmoni. pemandangan yang disuguhkan langit. Asha baru menyadari, sudah lama sekali dia mengacuhkannya. Pagi baginya hanya lah waktu untuk buru-buru. Tak sempat melirik seruan semangat dari Tuhan lewat lukisan awan-Nya. Dia terkekeh saat ingatannya memaksa kembali ke hari-hari panjang yang di penuhi peluh dan umpatan untuk melampiaskan lelah. Betapa tidak bersyukurnya dia.

Segelas teh hangat sudah siap di meja. Asha menoleh ke arah luar. Fokusnya beralih pada ibunya yang sedang menjemur beberapa kain jarik dengan motif yang sangat cantik. Kelihatan masih baru. Sepertinya usaha untuk mendobrak pintu lemari tadi pagi berhasil. Menyadari keberadaan Asha yang tengah memandanginya, Anisah menghampiri. Mereka saling melempar senyum. Dengan lembut Asha mengusap perut Ibu.

"Apa dede akan segera lahir, sehingga ibu sudah menyiapkannya sekarang?".

"Walaupun usia kandungannya masih 7 bulan, ibu sudah merasakan tanda-tanda mau lahiran, apa mungkin dia akan lahir prematur?".

"Sebaiknya kalau ibu mau tau pasti, pergilah ke dokter. Jangan percayakan ke dukun bayi. Bisa saja ilmu yang dipakai hanya berdasarkan perkiraan".

Anisah mengangguk. Dia selalu percaya dengan saran yang diberikan putri sulungnya.

Tidak lama, Anisah merasakan sakit di perutnya. Lagi. Dan kali ini cukup hebat. Dia meringis dan menarik lengan Asha tiba-tiba. Karena khawatir, buru-buru Asha berlari keluar, tak tau akan kemana arahnya. Dia melihat di depan rumahnya ada pintu yang terbuka, tanpa pikir panjang Asha mendatangi rumah tersebut untuk meminta pertolongan. Dengan teriakannya yang cukup lantang, seorang pria sambil tergopoh-gopoh menyambut. Pria yang kemarin menjemputnya. Mereka memang bertetangga. Setelah berusaha keras mencari kendaraan, mereka bertujuh secepatnya menuju rumah sakit. Anisah, Asha, nenek, bibi, Afi, Sani ibunya Afi, dan Darjo selaku lurah sekaligus yang punya mobil. Setibanya di rumah sakit, Anisah segera dilarikan ke ruang operasi.

Tidak ada satu pun dari mereka berenam yang berhasil menyembunyikan raut wajah cemas di waktu menunggunya. Tentu Asha yang paling tidak bisa dikondisikan. Afi mendekat, niat hati ingin menenangkan Asha. Menyeret lengan Asha dengan lembut, merangkul pundaknya. Asha mencari ketenangan lewat dada bidang Afi. Membenamkan wajahnya di sana. Dalam hitungan detik baju bagian dada Afi sudah basah tentu karena air mata Asha. Dia merasa bisa mencurahkan kegundahan hatinya ketika dekat dengan Afi. Afi tak menolak, dia semakin menarik kepala Asha, alih-alih tangisnya akan semakin pecah, dia berusaha meredam suaranya.

"Sudahlah, biarkan otak kita memikirkan yang baik-baik saja. Apa yang kita pikirkan itu lah yang akan terjadi. Percayalah, adikmu akan lahir dengan selamat". ujar Afi menenangkan. Walau belum digubris oleh Asha. Terperanjat. Mengingat seseorang yang begitu mendambakan kedatangan bayinya belum diberi kabar. Segera Asha mencari ruang sepi untuk menelepon ayahnya. Dibuntuti Afi. Parman, ayah Asha, membuka toko sembako di kota. Butuh waktu 3-4 bulan untuk bisa berjumpa dengan keluarga karena memang usahanya yang sedang ramai. Itu pun hanya beberapa hari. Sebelum Anisah hamil besar, dia lah yang membantu mengurus dagangan. Dan setelah memutuskan untuk beristirahat dan mempersiapkan kelahirannya di kampung, Parman menjadi sangat sibuk karena berdagang sendiri.

 Di bantu Afi, Asha berhasil menelpon ayahnya.  Kalau keadaanya tidak urgent, kepulangannya akan ditunda dua hari mendatang. Begitu tanggapan Parman. Dari suaranya, tidak bisa bohong bahwa dia amat khawatir. Gugup, gemetar. Namun disisi lain ada janji yang tidak bisa dilewatkan, tentu mengenai usahanya.

"Kita mau cari minum dulu? yang segar-segar". Afi menawarkan, sembari mencoba mengalihkan pikiran Asha. Asha hanya menatap Afi tanpa kata, disusul anggukan kepala. Diraihnya tangan gadis yang bila berada didekatnya dia merasa  dadanya berdebar kencang. Mereka melesat di antara koridor rumah sakit, dindingnya penuh lukisan kelabu, ber-aromakan sendu. Lalu lalang pasien dan sanak saudara yang mengantar, wajah mereka nampak kusut, lusuh. Di sudut halaman rumah sakit, lebih tepatnya beberapa meter sebelum gerbang masuk, sudah berjejer beberapa warung. Buah-buahan, makanan matang-siap saji, air panas, segala macam minuman kemasan tersedia disana. Mereka tahu akan kemana kakinya melangkah. Tidak lebih dari lima menit, satu botol air mineral sudah berada di tangan masing-masing. Diteguknya hingga tetesan terakhir. Sekedar air tawar akan sangat istimewa dan menggiurkan bagi mereka yang kehausan. Seperti halnya mie instan yang diseduh dengan air dingin ketika kehabisan amunisi di gunung kala itu, syarat bisa menikmatinya adalah harus lapar. Asha mendadak tertawa kecil, jelas menarik perhatian Afi yang sudah siap dengan tatapan heran.

"Aku ingat saat aku lupa membawa ketupat dan gorengan untuk makan malam kita di camp dua tahun lalu. keadaanya hujan, sehingga tidak bisa membuat api unggun. Terpaksa menyeduh mie sama air mineral ini". sambil menyodorkan botol air mineral yang sudah kosong. Pria dengan perawakan seperti model itu mengangkat alisnya. Mencoba memutar kenangan yang sudah tertumpuk di memorinya yang hampir usang. Dan ya, tawa kecil tak terelakan saat kejadian konyol itu kembali menjamah pikirannya. Asha adalah gadis yang menyukai kerapian dan kelengkapan sebenarnya, tapi penyakit lupa yang hampir akut, membuat rencananya kerap kali menemukan kecacatan.

"Asal kamu tahu, setelah kejadian itu, untuk pertama kalinya aku mengutuk dirimu".

"Pantesan aku banyak mengalami kejadian ganjil waktu itu. Hampir kesurupan lah, melihat monyet besar yang kalian tidak melihatnya lah. Ternyata hasil sumpah serapahmu". Asha mendengus, padahal dulu dia berpikir keras, kesalahan besar apa yang sudah dia lakukan sehingga diganggu makhluk penunggu gunung.

Afi menggeleng, " Kalau itu si memang sudah jadi keahlian khusus mu, menangani kejadian janggal. Tapi kalau soal sepatu jebol, jaket sobek tersangkut akar kering, mungkin itu ulahku, Hahahah...". Sementara keahlian Afi adalah tertawa sambil tangannya memukul lawan bicara, persis seperti yang baru saja dilakukan pada Asha. Lantas membuat Asha tertegun, pikirannya teralihkan oleh kondisi ibunya, alih-alih operasinya selesai. Secepat kilat kakinya melangkah menjauhi tempat duduk semula. Afi tergopoh-gopoh membuntuti.

Dari jarak 15 meter, mereka menyaksikan dokter sudah keluar dari ruang operasi dan tengah dikerumuni kelima orang terdekatnya. Asha melangkahkan kakinya dengan lega. Dia menatap satu persatu wajah mereka, tak menemukan kabar apapun disana. Datar saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status