Share

Bab 4 Gotong Karang

Jutaan rintik hujan telah lepas dari tempat persemayamannya. Afi terpaksa membopong tubuh Asha yang sudah tak berdaya. Tidak sampai lima menit, tubuh kekarnya berhasil membawa Asha sampai di area dimana dia memarkirkan Astrea, dibantunya Asha mencapai jok belakang. Mereka tak berniat mencari tempat berteduh, melihat keadaan Asha yang harus segera istirahat dan membersihkan diri. Kabut berbondong-bondong mulai turun sehingga menghalangi jarak pandang, suara anjing tanah yang memekakkan telinga terdengar di sisi kanan-kiri jalan. Sayup-sayup terdengar dari arah belakang suara gigi yang bergesekan, ternyata Asha menggigil. Diraihnya tangan gadis malang itu hingga melingkari pinggangnya. Tak peduli dengan mata yang sudah memerah karena sabetan air hujan, Afi terus menambah kecepatan. 

"Tidak apa-apa kalau mau menyender, badanmu pasti lemas kan?". Pinta Afi khawatir.

"Sebentar lagi sampai, tidak enak kalau dilihat orang". 

"Badanmu panas, kamu pasti sakit. Jarang tidur, ditambah hujan-hujanan. Kalau sudah sampai rumah harus istirahat. Sederas-derasnya hujan, pasti akan reda juga. Segelap-gelapnya langit, pasti ada terangnya. Itu yang selalu terjadi di hidup kita, Sha."

"Entahlah, Fi."

"Kamu harus tetap sehat dan panjang umur, Sha. Aku masih mau menikahimu". Gumamnya dalam batin.

Sudah ratusan kali Afi meyakinkan diri untuk menyampaikan niat baiknya pada Asha, tapi setiap berhadapan dengannya, semua ungkapan yang dia siapkan matang-matang kabur seketika. Bukan karena perasaan gugup, atau salah tingkah, melainkan dengan  melihat matanya yang meneduhkan membuat Afi merasa tidak pantas membersamai sosok yang tulus dan lemah lembut. Afi tidak tahu, seberapa nilai dirinya di mata Asha.   Selain itu, ketika bersama, keduanya hampir tidak pernah membahas perihal perasaannya masing-masing. Karena mereka pikir, kepedulian yang diberikan sudah cukup menunjukkan arti.

Langit hampir petang, dan mereka baru saja sampai di rumah Asha. Sudah ada Aminah, bibi Asha, yang menunggu di pintu. Melihat pakaian keduanya yang basah kuyup dan bercak lumpur, membuat Aminah urung untuk menanyakan tempat mana yang baru mereka kunjungi. Ada hal yang lebih penting sekedar pertanyaan itu, Aminah segera menuntun Asha ke dalam rumah. Afi memastikan gadisnya masih baik-baik saja lewat depan pintu rumahnya, yang berada tepat di depan rumah Asha. Begitu Aminah menutup pintu, Afi bergegas menuju kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Selain Asha, dia juga harus tetap sehat agar bisa melindungi orang-orang tercintanya.

*Pukul 21.00

Segerombolan orang muncul dari balik pintu rumah Asha sambil menenteng bingkisan berwarna hitam. Keluarga Asha menggelar pengajian tujuh harian. Keadaan rumah yang semula ramai berubah sepi dalam sekejap, di dunia ini, segala sesuatunya dirancang hanya untuk bertahan sementara. Seperti orang-orang yang beberapa detik lalu mengisi rumah Asha sambil melayangkan tahlil, kini hanya tersisa kulit semangka yang berserak di atas tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Seperti hujan yang mengguyur sore tadi, seperti kehadiran ibu di dalam hidup Asha. Semua hanya sementara. Tuhan Maha semena-mena, tuduh Asha atas rasa kecewanya. 

Ketika keluarga yang lain sudah bersiap-siap untuk kembali merajut mimpinya masing-masing di atas kasur, Asha berniat mencari udara segar di luar. Perasaan yang dibuatnya sendiri berhasil menyesakkan dada. Di Pos ronda yang berada di sebrang jalan, dia melihat seorang pria yang duduk menunduk sambil tangannya memeluk lutut. Mungkin saja pria itu sedang berada dalam kecamuk yang sama, Asha menghampirinya alih-alih bisa menjadi teman cerita yang saling memahami. Tepat beberapa langkah sebelum mencapai keberadaanya, Asha mencium bau alkohol yang diyakini berasal dari pria tersebut. Khawatir dengan apa yang akan dilakukan oleh seseorang dibawah pengaruh alkohol, Asha segera membalikkan badan sebelum kedatangannya disadari oleh pria itu. Belum sempat melangkah mundur, si pria buru-buru mengangkat wajahnya.  Tertegun, Asha berhasil mendapati wajah tersebut. 

"Gotong karang". Ucapnya sambil menyeringai. 

"Apa yang terjadi sama kamu?". Suara Asha terdengar gemetaran.

"Jaman sekarang orang masih percaya mitos, bagaimana bisa? hahaha..aneh. Gotong karang, gotong karang".

"Kamu bicara apa sih, Fi?"

"Kenapa suaramu gemetar? Apa kamu takut menghadapi aku? Ini lah aku Sha, tidak ada yang berubah dariku. Hm.. kenapa kamu harus menemuiku saat aku seperti ini".

Pria mabuk itu beranjak, badannya gontai dan hampir ambruk menabrak gadis yang sedang termangu, lewat tatapannya mengisyaratkan tanda tanya besar. Sebelum tubuh Afi menyentuh tanah, Asha sigap menangkapnya. Kini mereka berada pada posisi berpelukan.

Merasa mendapat kesempatan, Afi semakin mengeratkan pelukannya. Tidak ada penolakan, sambil berlinangan air mata, Asha membalas pelukan itu. Dengan lembut, dia mengusap rambut Afi, di hatinya terselip rasa bersalah atas keegoisannya. Merasa paling hancur, sehingga melupakan tangis seseorang yang selalu mendampinginya. 

"Apa kamu merasa lebih baik dengan seperti ini, Fi?".

"Akan lebih baik lagi kalau kamu selalu bersamaku". 

"Bukankah selama ini begitu. Walaupun sekarang kita sering terpisah jarak. Aku yakin kamu tahu hati mana yang aku tuju". 

"Sayangnya aku tidak pernah tahu, Sha. Terlebih setelah malam ini kamu melihatku seperti ini."

Asha mencoba membendung tangisnya yang hampir pecah dengan berhenti berkata-kata. Rasa kehilangan atas kepergian ibunya dan rasa penasaran, khawatir, putus asa, semua bersemayam memenuhi batinnya. Dia selalu membela Afi, sebagaimana dia tetap mencari pembenaran atas perbuatan Afi yang kurang bertanggung jawab. 

"Pasti ada penyebabnya kamu begini, Fi. Ayo cerita".

Afi justru membalas pinta tulus Asha dengan tawa. Kepalanya menggeleng, Kedua tangan Afi meraih pipi gadis di hadapannya. 

"Aku hanya orang yang lemah, Sha. Tak akan aku biarkan masalah yang kecil ini turut membebani kamu. Kalaupun kamu harus meninggalkan aku karena sifat burukku, aku rasa itu akan lebih baik dari pada aku yang meninggalkanmu dengan alasan yang tidak masuk akal".

Rasa penasaran Asha semakin tak karuan. Dia masih belum memahami semua perkataan pria yang diam-diam begitu dia dambakan menjadi sosok pendamping. Kini, dia benar-benar menyaksikan seorang pria gagah mengeluarkan air mata untuk kedua kali setelah empat tahun lamanya. Ada masalah apa yang sakitnya setara dengan rasa sakit kehilangan sosok ayah seperti kala itu. Asha meraih kepala Afi dan membenamkan wajahnya di dada, seperti yang dilakukan Afi padanya ketika sedang menangis. Di bawah pancaran bulan sabit, keduanya larut dalam kesedihan ditambah rasa penasaran Asha yang belum terpecahkan karena Afi masih bungkam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status