“Akhirnya kita sampai.” Gilang segera membuka sabuk pengamannya. Sedangkan Zia masih terdiam dengan wajah yang agak cemberut. Awalnya ia ingin menikmati perjalanan bersama Gilang. Namun, setelah tahu soal wanita bernama Nicha itu, ia jadi kesal.Gilang berbalik melihat Zia yang tak beranjak dari tempat duduknya. “Ada apa?” tanyanya heran.Zia menghela napasnya, ia memilih untuk tidak membesar-besarkan masalah ini. Jika ia bisa akui, ia memang cemburu dengan wanita yang tadi memegang tangan Gilang. Tapi siapa dirinya? Nyatanya dia bukan siapa-siapa.Wanita itu tersenyum. “Kita sudah sampai ternyata, maaf aku melamun kak. “Dengan segera ia membuka sendiri sabuk pengamannya dan keluar dari mobil milik Gilang.“Ayo kita masuk,” ajak Gilang.Zia hanya tersenyum dan mengikuti Gilang dari belakang. Mata bulatnya memperhatikan telapak tangan Gilang, andai saja ia bisa menggenggamnya erat pasti dia akan sangat bahagia.Beginikah cinta yang tidak dibalas. Sungguh menyedihkan.Gilang mengeluarka
Matanya tidak henti-henti menatap jas hitam yang kini sedang ia pakai. Hangat, itulah rasanya. Wanita itu masih mencoba mencerna semua kejadian itu hingga bagaimana ia bisa berada di mobil pria tersebut.Ia kaget setelah menyadari tangan seseorang mencoba untuk menyelipkan poni di telinganya. Nicha berbalik melihatnya. “Apa yang –“ Rangga tersenyum manis. “Nah. Kalau begini kan lebih cantik.”“Apa maksudmu?” tanya Nicha seraya mengerutkan alisnya.“Kau tidak boleh menunduk lagi, kau harus melihat ke depan dengan percaya diri. Karena, kau cantik disaat seperti itu.”Nicha menatap pria itu sinis. “Tidak usah menghiburku. Kau tidak tahu apa yang aku alami,” kesalnya.“Bukannya berterima kasih,” gumam Rangga sembari menginjak pedal gas dan akhirnya ia menjalankan mobilnya juga setelah beberapa menit.“Aku tahu kok semua tentangmu,” ucapnya lagi sambil terus fokus pada jalan raya.“Aku tahu tentang bagaimana kau di masa lalu dan juga mengapa kau takut untuk bertemu banyak orang,” lanjutny
Suara sorakan dari beberapa wanita di kursi penonton membuat lapangan terasa hidup. Banyak sekali wanita yang menyebut nama Gilang di atas sana, sepertinya dia adalah bintang malam ini.“Gilang! Sekali-kali kau harus melambaikan tangan pada penggemarmu di atas sana.” Seperti biasa sahabatnya itu banyak sekali komentarnya. Dia lebih cocok jadi komentator bola daripada pemain bola.Gilang dan Henry berjalan di tengah lapangan, beberapa menit lagi babak kedua akan dimulai, mereka berdua memilih untuk istirahat di kursi cadangan bersama beberapa pemain.“Hei, kau sungguh tidak mendengarku ya!?”Gilang menoleh. “Aku tidak suka tebar pesona sepertimu!” ketus Gilang setelah itu mengelap keringatnya menggunakan handuk.“Ya terserah kau,” ujar Henry yang juga ikut mengelap keringatnya.“Kak Gilang ini untukmu.” 2 pria itu yang tadinya asyik mengelap keringat kini menghentikan aktivitasnya.Mata Gilang melihat botol air mineral yang diberikan oleh gadis cantik itu. “Aku sangat menikmati permai
BAB 19“Jadi kau benar-benar serius melakukannya?”Nicha yang sedang asyik makan es krim hanya bisa menoleh sebentar. “Ya. aku sangat serius,” jawabnya dengan penuh penekanan.“Itu tidak akan berhasil bodoh,” gumam Gilang.Nicha melihat Gilang dengan tidak suka. “Beraninya kau bilang aku bodoh, kau tidak tahu siapa aku di sekolah,” ujar wanita itu.Gilang terkekeh pelan. “Aku memang tidak begitu mengenalmu, tapi sepertinya ada satu sifat yang tidak berubah sama sekali,” jelasnya.Nicha mengangkat kedua alisnya. “Apa itu?” tanyanya.“Kau sungguh tidak tahu?!” heran Gilang. “Padahal ini sangat kental padamu,” lanjut Gilang.“Kalau kau mau menghinaku lebih baik jangan beritahu aku, sialan.” kesal Nicha.Pria itu memperhatikan wanita yang duduk di sebelahnya dengan prihatin. Ia sampai menggelengkan kepalanya melihat gaya duduk Nicha.Kaki yang di angkat ke atas sambil makan cemilan. Benar-benar terlihat seenaknya. “Kenapa kau melihatku begitu. Apa aku secantik itu?”Gilang memalingkan wa
Dia, wanita dengan poni lurus hitam itu. Masih menerka-nerka bagaimana pertemuan selanjutnya antara dirinya dan juga Rangga.Sore ini, dia duduk dengan nyaman di sebuah kursi kayu di pinggir taman kota tersebut. Ia memilih untuk duduk di pinggir saja karena ia benci dengan keramaian di tengah taman kota.Padahal jika dilihat lagi. Banyak sekali orang yang bersenang-senang di sana, banyak anak-anak yang berlarian sambil memegang balon yang berwarna warni dan lucunya lagi, ada anak yang menangis karena balonnya meletus, membuat orang tuanya berusaha membujuk anak itu agar tidak menangis lagi.Tapi itu tak terlihat lucu bagi Nicha. Nicha tipe wanita yang tidak tahu cara menyenangkan anak kecil, dia tidak suka anak kecil karena merepotkan. Mungkin saja, dia lebih suka menyapa kucing di jalanan daripada manusia.Apakah ada orang seperti Nicha? Ya itu ada tapi mungkin di tempat lain.“Maaf aku membuatmu menunggu lama.” Akhirnya suara laki-laki yang sedari tadi ia tunggu terdengar juga.Wani
Perempuan itu mulai tersadar, matanya mulai terbuka secara perlahap, sayup-sayup ia melihat beberapa orang sedang duduk tak jauh darinya. Meski samar-samar tapi Nicha tahu siapa orang itu. pertanyaannya adalah di mana dia sebenarnya?Jika Nicha lihat lagi, tempat tersebut begitu asing baginya. orang tuanya tidak menyadari jika Nicha sudah siuman karena mereka sedang berbicara dengan seorang pria dengan jas putih.Sepertinya pengaruh obat masih bereaksi padanya jadi ia masih merasa agak pusing ketika ingin memastikan dengan siapa orang tuanya berbicara.Oh iya. Nicha baru ingat, jika semalam ia bertengkar dengan Gilang karena rencananya telah gagal untuk menipu Rangga. Ah itu benar, ini pasti di klinik Gilang.Nicha memijit pelipisnya karena pusing akibat mencoba mengingat kejadian semalam. “Nicha! kau tidak apa-apa nak?” kedua orang tuanya telah sadar jika Nicha telah siuman. mereka mendekati gadis itu.“Ya. aku baik-baik saja,” ujarnya meracau.Orang tua Nicha merasa legah karena an
Perempuan itu mengikat tinggi rambutnya yang panjang. Tidak biasanya sepagi ini ia sudah berpakaian dengan sangat rapi. Mata bulatnya melirik dirinya sendiri di depan cermin, ia sengaja memilih jaket hoodie berwarna orange yang cukup besar hingga menutupi rok levis yang ia kenakan. Belum lagi, stoking kaki berwarna hitam yang menutupi kakinya lengkap dengan sepatu kets putih. Nicha tidak sedang ingin pergi berolah raga namun hari ini ia akan ikut ayahnya untuk ke kantor. Penempatan pakaian yang ia kenakan memanglah sangat tidak sesuai. Gadis itu sengaja melakukannya agar pandangan Rangga terhadap dirinya jelek. “Ah.. Bahkan ini masih terlihat bagus, seharusnya aku memakai kaos hitam robek dengan pensil alis di bawah mata huh,” gumam Nicha lirih. “Nicha buruan nak. Ayahmu sudah menunggu kita di dalam mobil!” Dengan buru-buru, Nicha segera mengambil tas pinggangnya lalu keluar dari kamar dan berlari kecil untuk mendahului sang ibu. Saat Nicha sudah masuk ke dalam mobil. Ayahnya me
Nicha masih memikirkan kejadian tadi pagi. Selama seharian ia hanya bisa merenungi kata terakhir yang dilontarkan oleh teman lamanya.“Ibu, klinik Gilang dekat dari sini. Aku ingin ke sana,” ujar Nicha.Nicha bosan tinggal dan hanya diam melihat ayahnya bekerja. Lagipula Nicha sudah janji untuk menemui Gilang lagi, bagaimana pun juga ia harus konsultasi dengan dokter tersebut.“Aku akan jalan kaki saja. Tidak apa-apa,” lanjutnya.“Kenapa tidak bersama Rangga saja. Lagian kalian kan akan menikah, harusnya kalian bisa memanfaatkan waktu untuk bersama lebih lama.”Nicha melihat ayahnya dengan malas. “Nicha kau harus belajar mencintai Rangga, karena ayah akan tetap menikahkan kalian. Rangga itu anak yang baik dan bertanggung jawab, dia sudah lama sama ayah jadi ayah tahu bagaimana anak itu. Ayah yakin kalian akan cocok,” jelas pak Faris lagi.“Kau tidak boleh membantah kemauan ayah yang ini Nicha. Ayah dan ibumu sangat berharap agar kau menikah dengan Rangga secepatnya,” lanjut pak Faris