Home / Romansa / Cinta Untuk Sang Pendosa / BAB 5 Hari Terakhir

Share

BAB 5 Hari Terakhir

Author: Nurmelyaa_
last update Last Updated: 2023-01-25 15:41:27

“Rasakan itu pembunuh!”

Gilang berhenti. Di depan matanya seorang gadis terduduk di tanah penuh dengan cairan kental yang sangat busuk. “Kenapa dia tega sekali?” ucap seseorang yang berbisik di belakang Gilang.

Nicha terlihat sangat malang. Dulu bukan dia yang ada di posisi itu, namun sebaliknya. Mungkin ini adalah karma baginya ketika ia mulai terjatuh. “Kau pantas mendapatkannya wanita berengsek!” bentak salah satu gadis itu.

Nicha memerhatikan orang-orang yang mengelilingi dirinya termasuk Gilang. Mungkin beginilah rasanya jika ditindas, mungkin beginilah perasaan para korbannya. Tanpa ia sadari air matanya mengalir.

“Dia yang menyebabkan kematian Adnan.”

“Katanya, dia adalah gadis pembully.”

“Dia memang kejam, dia pantas mendapatkannya.”

Demikianlah bisik orang-orang di sekitar Nicha. Gadis itu menunduk dan mencoba menekan dadanya karena ia merasa sesak mendengarnya, namun sayangnya ia baru menyadari cairan kental busuk apa yang diberikan oleh orang-orang itu. Tadi Nicha tidak melihatnya sama sekali atau mungkin dia tidak memerhatikan.

“Rasakan itu telur busuknya! Haha.”

Nicha panik mencoba melepaskan belatung yang lumayan banyak di tangannya. Ia teriak histeris setelah menyadari ada banyak di rambutnya. Nicha sangat takut dan jijik dengan hewan kecil seperti belatung dan semacamnya.

Para gadis yang tadi mengerjai Nicha tertawa puas melihat Nicha yang ketakutan. Menurut Gilang ini harus segera dihentikan, laki-laki itu langsung datang menenangkan Nicha. “Nicha diamlah, aku akan membantumu oke? Tenanglah.” Gilang menatap mata Nicha seolah mengatakan dia akan baik-baik saja.

Laki-laki itu tidak percaya jika tangan Nicha sampai gemetar karena hewan sekecil itu, bahkan wajahnya pucat. Sepertinya ini bukan lagi takut namun fobia. Gilang mengingat perkataan ayahnya jika menghadapi orang yang fobia butuh ketenangan, karena fobia tidak bisa disembuhkan di waktu itu. Namun butuh kesabaran. Yang penting Nicha bisa tenang dulu.

“Kita butuh air,” ujarnya seraya membantu Nicha berdiri.

“Gilang kau sadar sedang membantu siapa?! Bukannya kau berteman baik dengan Adnan?” tanya gadis berambut pendek itu dengan ketus.

Gilang terdiam sebentar menatap tajam gadis itu. “Aku memang teman Adnan dan aku tahu Adnan tidak akan suka jika aku bergabung dengan kalian.” Setelah mengucapkan itu, Gilang menarik Nicha untuk pergi ke belakang rumah, di mana dulu ia pernah sekali pergi ke sana bersama Adnan untuk mencuci kaki habis bermain bola.

“Nicha, jika kau takut tutuplah matamu maka semua akan baik-baik saja.”

***

“Nicha baik-baiklah di sekolah barumu, jangan selalu membuat masalah seperti ini, kau tidak kasihan pada ayah dan ibumu!”

Padahal Nicha masih ada di area sekolah, namun suara ayahnya sudah sampai ke mana-mana. Nicha sungguh malu apalagi di koridor sekolah teman-temannya berkumpul untuk melihatnya karena hari ini ia resmi tidak akan bersekolah lagi di sana.

Nicha pasrah. Ia hanya bisa menunduk melihat setiap lantai yang ia lewati. Terdengar ibunya juga terus menyuruh ayahnya berhenti untuk bicara, namun memang setelah kejadian ini ayahnya tidak pernah baik lagi pada anaknya sendiri.

Ingin sekali Nicha menutup telinganya dari perkataan jahat ayah dan juga suara bisikan teman-temannya yang puas melihat dirinya seperti ini. Mungkin ini adalah sebuah karma yang harus ia terima, dan sungguh Nicha merasa dialah wanita paling berdosa di dunia ini.

Ia merasa seperti itu karena sudah tak ada satu orang pun yang memperlakukannya dengan baik kecuali satu orang.

“Gilang,” gumam Nicha tanpa sadar.

Gadis yang tadinya menunduk itu kini berani mendongak demi melihat laki-laki itu untuk terakhir kalinya. Matanya menelusuri dan mencari di mana keberadaan Gilang, namun ia tidak melihatnya sama sekali.

Nicha tidak peduli bisikan teman-temannya. Dan Nicha tidak peduli ocehan ayahnya lagi, yang Nicha inginkan hanyalah melihat Gilang meski itu hanya sedetik.

Nicha berhenti berjalan setelah mengira jika Gilang ada di kelasnya, namun kelas laki-laki itu berada jauh darinya. Jika ia berbalik, ayahnya akan marah padanya. Namun ia hanya ingin melihat Gilang dan ingin mengucapkan terima kasih jika sempat. Apakah tidak boleh?

“Kenapa kau berhenti nak?” tanya ibunya pelan.

“Ibu, apakah boleh aku –“ Nicha langsung menunduk ketika melihat mata melotot ayahnya. Nyalinya menciut, ia mengepalkan tangannya yang berkeringat itu, sepertinya ia tidak bisa melihat Gilang lagi.

“Semoga kita bisa bertemu suatu saat nanti, agar aku bisa mengucapkan terima kasih ini padamu,” batin Nicha yang terpaksa pergi tanpa bertemu Gilang lagi.

***

Gilang menjatuhkan dirinya di bangku. Ia kemudian meneguk air mineral dingin yang baru saja ia beli sampai habis. “Wah Gilang, kau hebat sekali tadi mainnya,” puji temannya yang ikut bergabung duduk dengan Gilang.

Laki-laki itu tersenyum tipis. “Aku tidak mencetak goal sama sekali, apa hebatnya?” tanyanya heran sambil melirik laki-laki bernama Henry itu. 

“Kau juru kunci permainan kita dengan mencetak dua assist Gilang. Kau sangat cocok jadi Midfielder,” puji Henry lagi yang hanya dibalas senyuman tipis dari Gilang.

“Oh ya, tadi banyak orang berkumpul, itu kenapa?” tanya Henry yang kini berbicara pada seorang perempuan di kelas mereka.

Gadis yang sedang menulis itu kini berbalik pada Henry “Gadis pembully itu sudah keluar dari sekolah ini, dia datang membawa surat pindahnya,” jawabnya.

Gilang membulatkan matanya. Tanpa mengatakan apa-apa, Gilang langsung lari keluar kelas meninggalkan Henry “Hei Gilang! Kau mau ke mana! Guru sebentar lagi masuk!” teriaknya namun tidak dihiraukan.

Gilang sadar seberapa cepatnya pun ia berlari pasti semuanya tetap akan terlambat. Dia tidak akan bisa mengejar Nicha. Gadis itu sudah lama pergi dari sekolah tersebut. 

Laki-laki itu berhenti tepat di gerbang sekolah. Ia mencoba mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Seperti dugaannya Nicha sudah tak ada di sana. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 100 Terima Kasih

    “Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 99 Seseorang Yang Menyatukan

    Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 98 Restu Orang Tua

    Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 97 Aku Hanya Mau Dengannya

    Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 96 Kamar

    “Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 95 Cinta Yang Tak Bisa Diungkap

    “Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status