12 Tahun kemudian.Seorang wanita masih terduduk di bangku dengan kepala yang sengaja ia sandarkan di meja. Matanya terus memerhatikan kalender yang tergantung di dinding, pikirannya berfokus pada tahun di kalender tersebut.“2021 tidak terasa begitu cepatnya ya.”Di bulan Oktober nanti, umurnya akan bertambah lagi. Namun, pencapaian di hidupnya belum ada sama sekali.Sudah 4 tahun ia menganggur karena takut bertemu dengan banyak orang di luaran sana.Suara ketukan pintu tiba-tiba saja mengagetkannya. Ia dengan cepat berlari ke kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut sebelum ibunya membuka pintu dengan seenaknya.“Nicha?” panggil wanita tua itu setelah membuka pintu.Ibunya memerhatikan Nicha di balik selimut tersebut. “Kau tidur lagi ya?”“Bagaimana caranya kau punya masa depan jika tidur terus Nicha! Bahkan ayah ragu menikahkanmu kalau sikapmu seperti itu,” ketus ayahnya yang ternyata ikut masuk kedalam kamar Nicha.Akhirnya setelah merantau, keluarga itu pulang ke kota asal merek
“Gilang.” Mata gadis itu berbinar. Sepertinya doanya 12 tahun lalu telah dikabulkan hari ini, dia tidak menyangka akan bertemu dengan Gilang lagi. “Nicha. Jadi itu benar kau?” Suara itu agak beda dari beberapa tahun lalu. Itu karena Gilang telah tumbuh dewasa, suaranya terdengar agak berat. Apakah benar, di depannya itu adalah Gilang teman SMP-nya dahulu.Secara perlahan, Nicha mencoba memastikan apakah ia tidak sedang mengkhayal. Dilihatnya lagi, iris mata laki-laki itu berwarna cokelat, rambutnya pendek hitam dan dahinya dibiarkan terlihat. Wajah laki-laki itu masih sama meski sekarang terlihat lebih dewasa.Sedangkan Gilang yang juga sebenarnya kaget mencoba untuk menutupi hal itu. Dia kaget bukan karena bertemu dengan Nicha secara tiba-tiba. Namun, itu semua karena ia tidak menyangka jika Nicha terlihat sangat menyedihkan. Rambut panjang yang berantakan, wajah pucat dan juga badan yang sangat kurus.Nicha jujur. Ini bukan waktu yang tepat bertemu dengan Gilang jika melihat keadaa
“Apa yang membuat bapak ingin berubah?”Pria dengan rambut panjang yang diikat ke belakang tersebut sontak menatap Gilang. Bapak itu terdiam namun matanya berkaca-kaca, dengan wajah penuh penyesalan ia menjawab. “Keluarga. seperti yang dokter ketahui, aku adalah pria yang bodoh, aku sudah terlalu banyak menyusahkan istri dan anakku. Aku ingin bebas dari obat-obatan terlarang. Aku ingin taubat pada Tuhan.”Gilang tersenyum tipis. “Aku suka semangatmu pak.”“Terima kasih. Lalu bagaimana selanjutnya dok?” Gilang menyandarkan punggungnya di kursi andalannya. “Karena bapak sudah konsultasi, langkah selanjutnya adalah Detoksifikasi. Sebenarnya banyak langkah yang harus dilakukan jadi kita harus pelan dan melakukannya secara bertahap.” jelas Gilang dan diangguki oleh bapak tersebut.“Di sini pengguna harus 100% berhenti menggunakan obat-obatan berbahaya tersebut. Reaksi yang akan dirasakan cukup menyiksa mulai dari rasa mual hingga badan terasa sakit. Disamping itu bapak akan merasa tertek
“Nicha ku pikir kau tahu bagaimana sebenarnya aku. Apakah aku harus mengulang perkataanku 12 tahun lalu?”Nicha terdiam lama setelah ucapan Gilang yang terasa mengintimidasinya. Memang mereka hanya bersama beberapa hari waktu itu. Namun, Nicha sudah menyimpulkan bahwa Gilang adalah seorang pria yang akan menyelesaikan semuanya meski menempuh jalan apapun. Ya, itulah Gilang menurut Nicha pribadi.Meski samar-samar. Namun, Nicha tetap bisa mendengarkan suara kecil Gilang yang mengatakan bahwa dia tidak akan melepaskan Nicha hingga masalah ini selesai. “Kenapa kau terdiam?” Suara dari telepon itu membuyarkan lamunannya.“Sudahlah Gilang. Seharusnya kau tak usah mencampuri urusanku lagi, aku pikir semuanya sudah selesai saat itu. Bukan?”“Ya. Aku juga menganggapnya begitu. Tapi, tampak setelah kita bertemu kemarin aku rasa masalah itu belum selesai,” ucap Gilang seperti menekankan sesuatu.“Apa maksudmu? Nyatanya itu semua sudah selesai Gilang!” Nicha agak membesarkan suaranya.“Nicha! S
“Bisakah aku memilikimu?”Setangkai bunga Lilac tidak akan pernah dilirik oleh seorang pria yang menyukai bunga Daisy. Sebesar apapun Lilac yang tumbuh akan tetap kalah dengan bunga Daisy yang hanya tumbuh kecil seukuran rumput di padang.Bagaimana pun mencoloknya warna Lilac ungu itu, akan tetap tak terlihat di tengah hamparan Daisy yang menyebar seperti ombak.Sama seperti seorang wanita. Secantik apapun dirinya, dia akan tetap kalah dengan yang membuat pria itu jatuh cinta duluan.“Aku sangat mengenal Gilang, Zia! Dia itu orang yang sangat jujur dan serius, jika dia mengatakan sesuatu padamu. Dia tidak akan pernah mengubahnya lagi, kau harus tahu itu!Zia ingat sekali apa yang sahabat Gilang katakan padanya tempo hari.Wanita berambut ikal itu segera melepaskan tangan Gilang yang masih menahan dirinya agar tidak jatuh. Mata besarnya juga langsung menghindari tatapan Gilang.“Kalau begitu, aku permisi ya.”“Kenapa cepat sekali?” Zia berdiri. “Aku harus mengurus sesuatu di butik,” u
Nicha meletakkan kartu nama yang baru saja diberikan Gilang padanya di atas meja bagian ruang tamu.“Sudah kuduga ini tidak akan mudah,” gumamnya. Sekian banyaknya dokter di kota ini, mengapa ia harus berobat dengan Gilang. Sejauh ini, ia belum bertemu lagi dengan teman sekolah lainnya. Nicha berharap, semoga tidak ada lagi orang yang mengenal dirinya.Melihat teman-temannya sukses membuatnya iri. Padahal dulu, ia termasuk yang disegani oleh mereka, meski kenyataannya hari ini telah berubah total.Ibu Hesti segera mengambil kartu nama tersebut dan membacanya. “Ternyata tempat kerja dokter Gilang dekat dengan perusahaan ayahmu. Ibu baru menyadarinya.”Nicha melirik ibunya sebentar. “Apa pentingnya?” ketus Nicha.“Pentinglah! Setelah selesai berobat di Klinik, kita bisa langsung ke perusahaan ayahmu,” jelas Ibu Hesti.Nicha berkacak pinggang menghadap ibunya. “Lagian, dari mana sih ibu bisa menghubungi orang keras kepala itu? Ibu tidak tahu betapa tertekannya aku menghadapinya!” ketus N
Nicha menengok ibunya yang begitu sibuk di dalam dapur. Sudah lama sekali ia tidak membantu wanita tua itu untuk memasak, padahal umur Nicha sekarang sudah seharusnya tahu soal pekerjaan rumah.Marah terlalu lama tidak akan ada gunanya. Dengan langkah pelannya ia menghampiri ibunya. “Sepertinya makanan hari ini cukup istimewa,” ujarnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan sang ibu.Ibu Hesti berbalik. “Ya. Begitulah nak, ada orang istimewa yang akan datang malam ini.” Ia kembali memotong tomat lalu ia tumis bersama dengan bawang merah.“Siapa itu? Apa aku mengenalnya?” Nicha penasaran.“Emm. Mungkin tidak,” kata ibu Hesti yang masih sibuk mengaduk tumisan sayurnya.“Syukurlah. Kalau begitu, biar aku yang memasak sayur ini.” Nicha mengambil ahli pekerjaan ibu Hesti dengan senang.Ibu Hesti tersenyum tipis melihat semangat anaknya. Ia merasa legah, jika hari ini Nicha menjalani hidupnya dengan menyenangkan tidak seperti hari-hari lainnya.“Kalau begitu, ibu akan buat
Sudah beberapa menit Nicha berada di dalam kamar mandi. Gadis itu berdiri di depan cermin sambil memperhatikan dirinya sendiri. “Kenapa malam ini harus terjadi, sial.”Padahal ia hanya menghadapi satu orang, itu pun Rangga tidak membawa kedua orang tuanya. “Tidak apa Nicha, semuanya akan berlalu beberapa menit lagi. Bertahanlah.” Dengan wajah yakinnya ia kembali bergabung dengan orang tua dan juga Rangga di meja makan.Tidak banyak bicara. Nicha akhirnya selesai makan duluan, lalu disusul oleh Rangga. Melihat waktu yang tepat tersebut, Pak Faris pun menyuruh mereka untuk keluar sebentar untuk mencari udara segar.Dengan terpaksa, Nicha menuruti kemauan ayahnya. Rumah Nicha agak jauh dari tetangga paling dekatnya. Itu membuat rumah tersebut agak sepi jika di malam hari. Tapi, itu tidak jadi masalah untuk Nicha, ia malah suka jika jauh dari pemukiman.Udara dingin malam itu membuat Nicha memeluk lengannya sendiri. “Sepertinya keluar rumah adalah ide buruk, ya?” kata Rangga memecah kehe