Share

BAB 5 Hari Terakhir

“Rasakan itu pembunuh!”

Gilang berhenti. Di depan matanya seorang gadis terduduk di tanah penuh dengan cairan kental yang sangat busuk. “Kenapa dia tega sekali?” ucap seseorang yang berbisik di belakang Gilang.

Nicha terlihat sangat malang. Dulu bukan dia yang ada di posisi itu, namun sebaliknya. Mungkin ini adalah karma baginya ketika ia mulai terjatuh. “Kau pantas mendapatkannya wanita berengsek!” bentak salah satu gadis itu.

Nicha memerhatikan orang-orang yang mengelilingi dirinya termasuk Gilang. Mungkin beginilah rasanya jika ditindas, mungkin beginilah perasaan para korbannya. Tanpa ia sadari air matanya mengalir.

“Dia yang menyebabkan kematian Adnan.”

“Katanya, dia adalah gadis pembully.”

“Dia memang kejam, dia pantas mendapatkannya.”

Demikianlah bisik orang-orang di sekitar Nicha. Gadis itu menunduk dan mencoba menekan dadanya karena ia merasa sesak mendengarnya, namun sayangnya ia baru menyadari cairan kental busuk apa yang diberikan oleh orang-orang itu. Tadi Nicha tidak melihatnya sama sekali atau mungkin dia tidak memerhatikan.

“Rasakan itu telur busuknya! Haha.”

Nicha panik mencoba melepaskan belatung yang lumayan banyak di tangannya. Ia teriak histeris setelah menyadari ada banyak di rambutnya. Nicha sangat takut dan jijik dengan hewan kecil seperti belatung dan semacamnya.

Para gadis yang tadi mengerjai Nicha tertawa puas melihat Nicha yang ketakutan. Menurut Gilang ini harus segera dihentikan, laki-laki itu langsung datang menenangkan Nicha. “Nicha diamlah, aku akan membantumu oke? Tenanglah.” Gilang menatap mata Nicha seolah mengatakan dia akan baik-baik saja.

Laki-laki itu tidak percaya jika tangan Nicha sampai gemetar karena hewan sekecil itu, bahkan wajahnya pucat. Sepertinya ini bukan lagi takut namun fobia. Gilang mengingat perkataan ayahnya jika menghadapi orang yang fobia butuh ketenangan, karena fobia tidak bisa disembuhkan di waktu itu. Namun butuh kesabaran. Yang penting Nicha bisa tenang dulu.

“Kita butuh air,” ujarnya seraya membantu Nicha berdiri.

“Gilang kau sadar sedang membantu siapa?! Bukannya kau berteman baik dengan Adnan?” tanya gadis berambut pendek itu dengan ketus.

Gilang terdiam sebentar menatap tajam gadis itu. “Aku memang teman Adnan dan aku tahu Adnan tidak akan suka jika aku bergabung dengan kalian.” Setelah mengucapkan itu, Gilang menarik Nicha untuk pergi ke belakang rumah, di mana dulu ia pernah sekali pergi ke sana bersama Adnan untuk mencuci kaki habis bermain bola.

“Nicha, jika kau takut tutuplah matamu maka semua akan baik-baik saja.”

***

“Nicha baik-baiklah di sekolah barumu, jangan selalu membuat masalah seperti ini, kau tidak kasihan pada ayah dan ibumu!”

Padahal Nicha masih ada di area sekolah, namun suara ayahnya sudah sampai ke mana-mana. Nicha sungguh malu apalagi di koridor sekolah teman-temannya berkumpul untuk melihatnya karena hari ini ia resmi tidak akan bersekolah lagi di sana.

Nicha pasrah. Ia hanya bisa menunduk melihat setiap lantai yang ia lewati. Terdengar ibunya juga terus menyuruh ayahnya berhenti untuk bicara, namun memang setelah kejadian ini ayahnya tidak pernah baik lagi pada anaknya sendiri.

Ingin sekali Nicha menutup telinganya dari perkataan jahat ayah dan juga suara bisikan teman-temannya yang puas melihat dirinya seperti ini. Mungkin ini adalah sebuah karma yang harus ia terima, dan sungguh Nicha merasa dialah wanita paling berdosa di dunia ini.

Ia merasa seperti itu karena sudah tak ada satu orang pun yang memperlakukannya dengan baik kecuali satu orang.

“Gilang,” gumam Nicha tanpa sadar.

Gadis yang tadinya menunduk itu kini berani mendongak demi melihat laki-laki itu untuk terakhir kalinya. Matanya menelusuri dan mencari di mana keberadaan Gilang, namun ia tidak melihatnya sama sekali.

Nicha tidak peduli bisikan teman-temannya. Dan Nicha tidak peduli ocehan ayahnya lagi, yang Nicha inginkan hanyalah melihat Gilang meski itu hanya sedetik.

Nicha berhenti berjalan setelah mengira jika Gilang ada di kelasnya, namun kelas laki-laki itu berada jauh darinya. Jika ia berbalik, ayahnya akan marah padanya. Namun ia hanya ingin melihat Gilang dan ingin mengucapkan terima kasih jika sempat. Apakah tidak boleh?

“Kenapa kau berhenti nak?” tanya ibunya pelan.

“Ibu, apakah boleh aku –“ Nicha langsung menunduk ketika melihat mata melotot ayahnya. Nyalinya menciut, ia mengepalkan tangannya yang berkeringat itu, sepertinya ia tidak bisa melihat Gilang lagi.

“Semoga kita bisa bertemu suatu saat nanti, agar aku bisa mengucapkan terima kasih ini padamu,” batin Nicha yang terpaksa pergi tanpa bertemu Gilang lagi.

***

Gilang menjatuhkan dirinya di bangku. Ia kemudian meneguk air mineral dingin yang baru saja ia beli sampai habis. “Wah Gilang, kau hebat sekali tadi mainnya,” puji temannya yang ikut bergabung duduk dengan Gilang.

Laki-laki itu tersenyum tipis. “Aku tidak mencetak goal sama sekali, apa hebatnya?” tanyanya heran sambil melirik laki-laki bernama Henry itu. 

“Kau juru kunci permainan kita dengan mencetak dua assist Gilang. Kau sangat cocok jadi Midfielder,” puji Henry lagi yang hanya dibalas senyuman tipis dari Gilang.

“Oh ya, tadi banyak orang berkumpul, itu kenapa?” tanya Henry yang kini berbicara pada seorang perempuan di kelas mereka.

Gadis yang sedang menulis itu kini berbalik pada Henry “Gadis pembully itu sudah keluar dari sekolah ini, dia datang membawa surat pindahnya,” jawabnya.

Gilang membulatkan matanya. Tanpa mengatakan apa-apa, Gilang langsung lari keluar kelas meninggalkan Henry “Hei Gilang! Kau mau ke mana! Guru sebentar lagi masuk!” teriaknya namun tidak dihiraukan.

Gilang sadar seberapa cepatnya pun ia berlari pasti semuanya tetap akan terlambat. Dia tidak akan bisa mengejar Nicha. Gadis itu sudah lama pergi dari sekolah tersebut. 

Laki-laki itu berhenti tepat di gerbang sekolah. Ia mencoba mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Seperti dugaannya Nicha sudah tak ada di sana. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status