Share

BAB 4 Penyesalan

“Ini terjadi karena kesalahan Nicha, dan juga –“

Mata Nicha membulat. Ini tidak sesuai dengan ucapan Gilang tadi sebelum sampai di kantor polisi. Apakah ia dijebak? Nicha memang tidak terlalu mengenal Gilang. Bahkan, mereka hanya tahu nama. Jika firasatnya memang benar, tamatlah riwayat Nicha.

Gilang terdiam sebentar. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. “Dan juga, semuanya terjadi begitu saja, aku tidak bisa mengejar Adnan, kami mungkin bersalah di kasus ini pak.” Terlihat sekali jika dia gugup.

Hampir saja Nicha jantungan. Ia pikir Gilang akan sepenuhnya menuduh dirinya sebagai dalang, sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah tidak ada yang harus disalahkan pada kasus ini termasuk sang penabrak menurut Nicha.

“Bicaralah dengan jelas nak, coba jelaskan ulang apa yang sebenarnya terjadi, jangan takut?” ujar sang polisi.

Entah kenapa menghadapi polisi menguras energi Gilang. Laki-laki dengan hoodie hitam yang menutupi seragam sekolahnya itu pun mencoba menceritakan kronologinya. Apa yang telah ia lihat sejak Adnan menyatakan perasaannya di depan gerbang sekolah hingga Adnan tewas di tempat. Tidak ada satupun yang Gilang lewati. Semuanya ia ceritakan dengan penuh perasaan.

“Oh ya, mana orang tua kalian? Seharusnya mereka menemani anaknya di kantor polisi,” tanya polisi tersebut.

“Orang tua kami belum tahu masalah ini. Tidak usah memberitahunya, bukankah kami juga akan pulang?” tanya Gilang pelan sekali hampir tak terdengar.

“Kita tidak akan sampai malam di sini kan?” bisik Nicha yang memperhatikan cuaca sore yang mendung.

Gilang hanya mengangkat bahunya.

“Aku juga ingin mendengar kesaksian gadis ini. Karena bapak pikir semua akar masalah dan asalnya dari dia. Jadi namamu Nicha ya?” Pria besar dengan kumis tebal itu menatap Nicha dengan saksama, hingga membuat gadis itu makin bersembunyi di belakang punggung Gilang.

Gilang menghela napasnya berat, ia pikir ini waktunya Nicha juga membuka mulut. Ia menarik Nicha untuk berdiri di hadapan Polisi tersebut. Nicha takut salah bicara, ia takut ucapannya malah membuatnya terjebak. Gadis itu hanya bisa menunduk dan menjawab pelan pertanyaan polisi itu tadi. “Benar pak.”

Gilang yang memperhatikannya dari arah belakang hanya bisa melihat Nicha yang bergetar. Ia tersenyum miring, gadis kuat yang sering sekali berbuat onar di sekolah kini terlihat berantakan dan lemah. Dia seperti bukan Nicha yang Gilang sering lihat.

“Jadi Nicha, sepulang sekolah Adnan menyatakan perasaannya dan kau menolaknya, betul begitu?” tanya polisi itu lembut mencoba tidak membuat Nicha takut.

“Iya pak. tadi pagi Adnan mengatakan kalau ia ingin memberitahuku sesuatu sepulang sekolah. Awalnya aku tidak mau, tapi karena penasaran aku menurutinya dan menunggunya di depan gerbang. Aku bahkan berbohong pada orang tuaku jika aku akan pulang telat untuk kerja kelompok, makanya orang tuaku tidak menghubungiku sedari tadi pak,” jelas Nicha.

Nicha mengingat semua kejadian hari ini. “Aku bahkan kaget pak, tujuannya memanggilku karena ingin mengungkapkan cintanya. Aku jelas menolak, bukan hanya karena alasan umur namun juga karena aku tidak suka padanya.”

“Lalu kenapa kau sampai berbuat kasar padanya?”

“Itu karena –“ Nicha makin gugup ketika polisi itu terus mencoba menggali informasi yang lebih dalam. “Sebenarnya aku sudah terbiasa melakukan itu padanya sejak sekolah dasar pak. Sungguh aku menyesal telah memperlakukannya seperti itu, aku tidak tahu jika jadinya akan seperti ini.” Nicha kembali terisak, tak mampu menahan air matanya dan juga penyesalannya.

Seakan dosanya terekam di otaknya. Ia tiba-tiba saja mengingat hal besar maupun kecil yang pernah ia lalui dengan Adnan. Ia sungguh menyesal apalagi semua ingatannya hanyalah ingatan pahit.

Semua orang terdiam. Mereka membiarkan Nicha menangis. Gadis itu menutup wajahnya. Mungkin benar, penyesalan itu datang terakhir. Apa yang telah ia buat selama ini membuatnya merasa bersalah. Ya, mungkin ini adalah akhir dari sosok Nicha yang arogan itu.

"Maaf Adnan, sungguh aku minta maaf," gumam Nicha sambil menangis.

Itu adalah kata percuma, tidak ada gunanya Nicha meminta maaf ketika Adnan sudah tak ada di dunia ini lagi.

Gilang mencoba menyabarkan Nicha dengan cara mengelus punggungnya. Ia tahu bagaimana penyesalan gadis itu. Gilang menyadari sesuatu, Nicha sudah tak seperti tadi ketika ia ingin melarikan diri, Nicha kini sudah tulus kepada Adnan.

Nicha tidak ingin lari dari masalah ini lagi.

"Maafkan aku, Adnan."

***

Nicha melihat keluar jendela mobil. Banyak sekali orang termasuk teman-temannya yang menghadiri pemakaman Adnan, Nicha masih duduk di mobil, ia masih takut untuk menampakkan dirinya di depan orang-orang.

Setelah kejadian itu, Nicha memutuskan izin beberapa hari dari sekolah. Ia juga tidak pernah bertemu dengan Gilang lagi.

Matanya masih memperhatikan Gilang yang sedang berdiri di sana, laki-laki itu seperti sedang mencari seseorang.

"Nicha?"

"Iya ayah?" Gadis dengan kemeja hitam itu tampak agak kaget.

"Ayo keluar, ayah tidak punya banyak waktu." Ayahnya langsung keluar dari mobilnya dan membukakan anaknya pintu. "Keluarlah, ayah harus ke kantor segera."

Nicha memutar bola matanya kesal, terpaksa ia juga harus segera turun dari mobil. Ayahnya langsung meninggalkannya di sana setelah itu.

Gilang kini melihat Nicha. Laki-laki itu hanya diam terpaku melihat gadis tersebut. Seharusnya ia tak perlu datang di pemakaman Adnan karena ia baru mendengar sesuatu yang pastinya akan menyakiti hati gadis itu.

Itulah mengapa Gilang sibuk mencarinya. Ia tidak ingin Nicha berada di tempat itu.

Gilang mempercepat langkahnya ketika ia melihat segerombolan gadis datang menghampiri Nicha.

Nicha mengerutkan alisnya ketika melihat Gilang yang menghampirinya. Namun, sayangnya belum juga ia menyapa Gilang, tubuhnya sudah jatuh ke tanah.

Bukan hanya itu, Nicha juga basah karena disiram oleh sesuatu. Nicha tidak tahu apa itu, namun itu sungguh busuk. Gadis itu melihat Gilang yang berhenti di hadapannya.

“Rasakan itu pembunuh!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status