Beranda / Romansa / Cinta Untuk Sang Pendosa / BAB 6 Pertemuan Tak Disangka

Share

BAB 6 Pertemuan Tak Disangka

Penulis: Nurmelyaa_
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-25 15:48:43

12 Tahun kemudian.

Seorang wanita masih terduduk di bangku dengan kepala yang sengaja ia sandarkan di meja. Matanya terus memerhatikan kalender yang tergantung di dinding, pikirannya berfokus pada tahun di kalender tersebut.

“2021 tidak terasa begitu cepatnya ya.”

Di bulan Oktober nanti, umurnya akan bertambah lagi. Namun, pencapaian di hidupnya belum ada sama sekali.

Sudah 4 tahun ia menganggur karena takut bertemu dengan banyak orang di luaran sana.

Suara ketukan pintu tiba-tiba saja mengagetkannya. Ia dengan cepat berlari ke kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut sebelum ibunya membuka pintu dengan seenaknya.

“Nicha?” panggil wanita tua itu setelah membuka pintu.

Ibunya memerhatikan Nicha di balik selimut tersebut. “Kau tidur lagi ya?”

“Bagaimana caranya kau punya masa depan jika tidur terus Nicha! Bahkan ayah ragu menikahkanmu kalau sikapmu seperti itu,” ketus ayahnya yang ternyata ikut masuk kedalam kamar Nicha.

Akhirnya setelah merantau, keluarga itu pulang ke kota asal mereka yaitu Yogyakarta. Masih banyak barang yang perlu dibereskan termasuk kamar Nicha yang sungguh berantakan.

“Bangunkan anak itu dan suruh bereskan kamarnya,” suruh ayahnya sebelum keluar dari kamar pengap itu.

“Sayang, kau jangan terlalu keras padanya, bagaimana anak kita bisa sembuh jika kau terus menekannya,” kata ibu Nicha yang tidak dihiraukan.

Wanita tua tersebut hanya bisa mengelus dada melihat kerasnya suaminya. 

Sedangkan Nicha terus berpura-pura untuk tidur. Selama kasus kematian Adnan, Nicha berubah secara drastis.

Setelah mereka pindah ke Bandung, Nicha tidak bergaul dengan siapapun lagi, Nicha menjadi anak yang pendiam dan tertutup bahkan sampai kuliah pun Nicha tetap mengurung dirinya.

Tahun ini resmi 4 tahun ia lulus kuliah dan wanita itu tidak kerja sama sekali.  Ia hanya tinggal di rumah dan sering sekali mengurung diri di kamarnya.

Sepertinya penyakitnya makin parah saja setelah ia dewasa. Siapa sangka Nicha harus terus ke psikiater setelah kematian Adnan.

Nicha mengalami gangguan kecemasan yang sangat parah. Wanita itu sering sekali cemas, merasa takut, khawatir dan juga cepat sekali emosi jika dia bertemu dengan orang lain.

Bahkan Nicha juga tidak percaya diri seperti dulu lagi dan juga tidak pernah membully seperti hari itu. Mungkin ini cara Tuhan untuk menyadarkan Nicha.

Setelah memastikan ibunya sudah pergi. Nicha membuka kembali selimut yang menutup tubuh rampingnya.

“Menikah! Aku saja sudah yakin kalau tidak akan ada yang mau menikahi pembunuh seperti diriku ini,” gerutu Nicha.

Nicha memerhatikan kamarnya lalu ia bergerak membersihkannya sendiri. Selama membersihkan itu ia terus saja mengoceh dan berbicara sendiri seperti orang gila. Ia mulai lelah dengan semua ini.

***

“Pokoknya aku tidak ingin ke psikiater lagi, aku lelah bu!” kesal Nicha setelah mendengar ibunya ternyata baru saja menelepon seorang psikiater yang ada di Kota Yogyakarta ini.

“Aku lelah minum obat! Aku lelah dikira gila!” teriak Nicha hingga menggema di ruang tamu tersebut.

“Ibu tidak pernah menganggapmu gila. Ibu hanya ingin kau sembuh dan bisa seperti gadis-gadis di luar sana. Ibu ingin kau normal Nicha!” Ibunya juga tak ingin kalah.

“Normal?” Nicha menatap ibunya tidak habis pikir.

“Kau tahu Nicha, apa yang membuatmu tidak sembuh? Itu semua karena niatmu untuk sembuh tidak ada! Kau hanya meminum obat tapi kau tidak pernah mencoba untuk bangkit dalam keterpurukanmu!” 

Nicha terdiam. Selama bertahun-tahun ia hanya sendiri dan bergantung pada orang tuanya. Ia terlalu takut pada orang lain kecuali psikiaternya yang dulu di Bandung. Sekarang ia harus bertemu dengan psikiater baru di Yogyakarta dan itu membuatnya sangat terbebani dan cemas.

“Pokoknya aku tidak ingin lagi ke psikiater!” katanya penuh tekanan setelah perkelahiannya dengan ibunya. Nicha ingin kembali masuk kamar, namun perkataan ayahnya membuatnya berhenti.

“Ayah akan menikahkanmu jika kau tidak mau ke psikiater.”

Nicha mengepalkan tangannya. Ia muak dengan ancaman ayahnya. “Memangnya siapa yang mau dengan orang sepertiku?” tanyanya.

Pria tua itu menyimpan sepatunya lalu memberikan tas kepada istrinya. Ia baru saja pulang dari kantor tapi sudah mendapati istri dan anaknya bertengkar seperti ini. Ia tertawa miring. “Kau itu anak ayah. Banyak sekali yang mengantri untuk mendapatkanmu,” jawabnya penuh percaya diri.

“Jika menikahiku untuk harta ayah, tentu banyak sekali yang mau. Namun, saat mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau, pasti mereka akan pergi jauh dengan harta itu. Ayah mau itu semua terjadi?” tanya Nicha yang kini berani menatap ayahnya.

Ayahnya terdiam. “Mana mungkin, ada yang mau menerima keadaanku,” lanjut Nicha.

“Kau tidak kekurangan anggota badan apapun Nicha, kenapa kau sering mengatakan hal seperti itu?” Wanita tua itu tampak frustasi ketika anaknya terus saja mengatakan hal seperti itu.

“Pokoknya aku tidak ingin menikah dan juga tidak ingin ke psikiater lagi. TITIK!” Nicha berlari dan menutup pintu kamarnya dengan cukup keras membuat kedua orang tuanya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Ayah Nicha mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.

***

Gilang menutup telepon. Ia segera berdiri dan mengambil jas putihnya, bergegas menuju rumah seseorang yang tadi menelepon dirinya.

Seorang wanita berambut ikal panjang masih memperhatikan dirinya. “Kak Gilang sepertinya buru-buru, mau ke mana?” tanyanya lembut.

“Ada urusan pekerjaan,” jawab Gilang seadanya.

Wanita bernama lengkap Freezia itu hanya menghela napasnya panjang. Setiap ia ke rumah pria itu pasti Gilang selalu saja menghilang dengan alasan ada urusan pekerjaan. Ternyata mengejar laki-laki sedingin es sangat tidak mudah dan sungguh melelahkan.

“Kenapa diam saja? Kau ingin tinggal di sini?” tanya Gilang.

Zia terpaksa berdiri dan mengambil tasnya. “Tapi antar aku pulang ya?” Wanita cantik itu pun berjalan dan menggandeng tangan Gilang.

Gilang mengerutkan alisnya setelah apa yang dilakukan Zia padanya. Pria itu mencoba menjauhkan tangannya kembali dari Zia. “Baiklah.” Gilang pikir mungkin tidak apa mengantar wanita itu ke rumahnya. Toh, rumah Zia dan rumah kliennya satu arah. Ia pun berjalan mendahului Zia.

Sedangkan Zia, memutar bola matanya karena lagi-lagi gagal hanya untuk menyentuh tangan pria kutub utara itu.

***

Nicha kembali menyendiri di kamarnya setelah pertengkaran dengan kedua orang tuanya. Malam ini ia tidak ingin bertemu dengan siapapun, termasuk kedua orang tuanya yang menyebalkan itu.

Ia bingung harus bagaimana. Disisi lain ia sangat ingin kerja dan di sisi lain ia sangat takut. Tidak ada orang yang mengerti keadaannya, bahkan beberapa keluarganya menganggap dirinya berlebihan.

Tidak akan ada orang yang paham sebelum orang tersebut juga ada di posisi Nicha sekarang. Semua orang hanya meremehkan dirinya.

Bahkan ia tidak punya satupun teman di dunia ini. Tidak seperti hari itu, saat semua masih baik-baik saja.

“Nicha keluarlah!” Suara besar ayahnya terdengar kembali entah sudah beberapa kali.

“Kalau kau tidak ingin keluar! Ayah dobrak pintu ini!” 

“Nicha! Ada yang ingin bertemu denganmu, cepat keluar!”

Nicha spontan menutup telinganya setelah pintu kamarnya didobrak oleh ayahnya. Gadis itu melihat pintu tersebut rusak bersamaan dengan itu ayah dan ibunya masuk ke dalam kamarnya.

Nicha takut. Ia segera menutup dirinya dengan selimut.

“Ada baiknya Anda tidak usah terlalu keras padanya pak.” Mendengar suara asing itu, Nicha jadi tahu jika ayahnya atau ibunya ingin mempertemukan dirinya dengan calon suami atau mungkin psikiater baru untuknya.

“Kalau tidak begitu, dia tidak akan buka pintu,” jawab ayahnya.

Nicha menutup matanya setelah menyadari selimutnya akan dibuka. Tapi sepertinya hari ini tidak berpihak kepadanya ketika selimut tersebut berhasil dibuka.

“Sekarang sudah tidak apa-apa, ayo buka matamu.”

Hanya satu orang mungkin tidak apa-apa. Tapi Nicha sebenarnya malu karena perlakuan ayahnya.

“Aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji.”

Setelah mendengar hal itu Nicha membuka mata. Di depannya berdiri pria berjas putih dan Nicha tahu siapa pria itu. Tapi mengapa dia ada di sini? Apakah dia calon suaminya ataukah dia seorang psikiater.

“Gilang?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 100 Terima Kasih

    “Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 99 Seseorang Yang Menyatukan

    Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 98 Restu Orang Tua

    Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 97 Aku Hanya Mau Dengannya

    Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 96 Kamar

    “Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 95 Cinta Yang Tak Bisa Diungkap

    “Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status