“Flo! Dari mana aja, lo? Jam segini baru nyampe?” Tanya Karin sambil menunjukkan layar gawainya, terlihat sudah jam sembilan malam. “Lama banget, lo!” Tukas Karin dengan tatapan sebal. Flo hanya mendengus kasar. “Rin, ya lo tahu gue, kan? Gue tinggal sama nenek gue, dan ya, gue tadi sempat ditanya-tanyain dulu sama nenek gue, mau ke mana, dan pulang jam berapa.” Jelas Flo dengan nada malas. Suara mereka hampir tidak terdengar karena DJ memainkan musin dengan bunyi yang cukup kuat. Ditambah dengan teriakan orang-orang yang sedang merasakan euphoria kehidupan malam di bar. Riuh rendah. Nada-nada yang tidak terkontrol. Mereka berdua sedang berada di depan pintu masuk bar.
“Ck. Kapan matinya sih, nenek lo itu, Flo?” Ketus Karin yang langsung mendapatkan sambutan berupa tatapan mata elang dari Flo.
“Ngomong apa lo barusan?” Tatapan Flo semakin tajam, dan ada penekanan di tiap kata. “Coba ulangin, kalau lo mau, gue patahin leher lo.” Ancam Flo.
“Eh! Nggak-nggak gitu maksud gue, Flo. M-maksud gue, tuh, kapan sih nenek lo itu t-ti-tidur? Gi-gituh, Flo.” Jelas Karin terbata-bata. Ia berusaha mati-matian untuk menelan salivanya. Kedua netra mereka saling menatap.
“Awas aja kalau lo, ngulangin kata-kata itu lagi,” Ancam Flo sekali lagi.
Karin mengangguk, penuh ketakutan. “Iy-iyaudah, deh, gue minta maaf, Flo.”
“Hmmm,”
“Oh, ya,” ekspresi Karin seketika berubah. Ya, secepat itu. Barangkali, Karin tidak mau terlalu lama membuat suasana, semakin tidak nyaman. Yang jelas, ia tidak ingin Flo marah kepadanya. Meski, ia tahu, itu adalah kesalahannya. “Lo, udah ditungguin sama liang duit lo, Flo,”
“Liang duit?” Flo menatap Karin penuh tanda tanya. “Maksud lo?”
“Hadeeeh, dasar punya otak lemot banget, sih, pahamnya!” Ketus Karin, sambil menepuk pelan dahinya.
Flo semakin mengerutkan keningnya. Berusaha untuk memahami ucapan Karin tentang “Liang Duit.”
“Yaiyalah, mikirnya lama banget lagi! Siapa lagi kalau bukan sugar daddy, lo, Flo!” Jelas Karin dengan nada bicaranya yang semakin meninggi.
“Oh ... oh, kirain apaan. Lagian, lo kalau ngomong nggak jelas, sih.” Flo langsung melenggang begitu saja, melewati Karin.
“WHAT? Nggak jelas?” Karin mengangkat kedua bahunya. “Eh, eh, Flo! Tungguin, lah!” Seru Karin, sambil berjalan, mengekor langkah kaki Flo. Sementara Flo, tidak menghiraukan sama sekali seruan Karin. Ia terus berjalan membelah lautan manusia yang sedang meliuk-liukkan badan, mengikuti alunan musik. Ia menuju ruang ganti dan rias untuk para wanita malam yang hendak menjajakan diri.
Di ruang ganti dan rias.
“Hai, Flo.” Sapa Wendi. Seorang wanita yang kelihatan lebih tua dari Flo. Ia juga seorang single parent, akibat perceraian. Wendi, memiliki seorang anak laki-laki yang masih kecil. Baru berusia dua tahun. Tiap malam, ia harus menitipkan anaknya kepada kedua orang tuanya. Entah apa alasannya ia bergabung di dunia malam, yang tidak mengenal arti cinta yang sesungguhnya. Namun, sudah dapat dipastikan jika ada wanita malam di bar, alasannya tidak lain dan tidak bukan, membutuhkan uang.
“Hai, Wen.” Flo membalas sapaan Wendi, sambil terus merias dirinya di depan cermin.
“Tumben, datangnya lama. Ada apa?” Tanya Wendi ingin tahu.
“Biasalah, gue punya rumah, dan masih punya nenek.” Jelas Flo acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak menatap lawan bicaranya, Wendi. Sedang sibuk mengaplikasikan maskara di kedua matanya.
“Oh, baguslah.” Respon Wendi, sambil menyalakan pemantik, untuk membakar sebatang rokok yang sudah bertengger di mulutnya.
“Kok, bagus?” Tanya Flo, yang kini, sedang mematut dirinya di depan cermin. Sekedar memastikan apakah dirinya sudah cantik dan layak untuk keluar menuju para pria hidung belang di luar sana. Kali ini, ia menatap Wendi yang sedang menikmati sebatang rokoknya. Mengisap dengan penuh kenikmatan, lalu mengeluarkan asap dari mulutnya secara perlahan.
“Ya bagus, Flo.” Jawab Wendi sekenanya. Flo masih tidak mengerti. Sudah ada dua orang yang membuatnya bertingkah dan merasa seperti orang bodoh, atau bisa dikatakan IQ rendah. Yang pertama Karin, dan yang kedua adalah Wendi. Entah selanjutnya siapa lagi yang akan membuat dirinya merasa orang paling tidak punya otak di dunia.
“Hehe,” Wendi tertawa kecil, dengan sebatang rokok yang masih bertengger di mulutnya. Kemudian, ia melepaskan sejenak rokoknya. “Itu tandanya, hidup lo beruntung, Flo. Masih ada orang yang berada di rumah lo. Dan, yang pastinya sayang banget sama lo.” Flo berusaha mencerna kata-kata yang meluncur dari mulut Wendi.
“Lo, juga sayang, kan, sama nenek lo?” Kali ini Wendi bertanya.
Flo hanya mengangguk. “Terus, kalau gue sayang sama nenek gue, kenapa?”
“Haha, itu tandanya, lo harus temuin si Agung.” Jawab Wendi yang memang terdengar tidak nyambung.
“Oh, ya!” Flo menepuk dahinya, lalu bergegas menuju pintu. “Ah, gara-gara ngobrol sama lo, sih, Wen, gue jadi lupa punya janji sama Agung.” Gerutu Flo kesal, sambil membuka pintu.
Wendi hanya mengangkat ibu jarinya ke atas, lalu kembali mengisap rokoknya yang sudah setengah batang. Tidak utuh lagi.
‘Duh, semoga aja si Agung, nggak kecewa sama gue. Bisa-bisa, gue nggak punya duit lagi, dong.’ Gumam Flo, dan cemas. Kedua matanya melirik ke sana dan ke mari. Mencari sosok Agung yang ia takutkan. ‘Duh, mana sih, tuh kakek-kakek?!’ Gerutu Flo kesal. Wajahnya terlihat ketakutan. Bukan takut Agung akan marah padanya, tapi, yang ia takutkan adalah Agung tidak akan lagi memberikannya uang yang sangat Flo butuhkan.
“Nah! Itu dia!” Serunya seorang diri. Tatapan matanya langsung berbinar-binar, dan mulai merapih-rapihkan rambutnya, yang sejatinya tidak berantakan.
“Ehem-ehem … hem.” Flo berdehem berkal-kali, memastikan suaranya tidak serak, dan tentunya agar tidak terdengar seperti suara bebek. Mana mungkin, ia akan menggoda Agung, dengan suara bebek.
“Hai, Sayang!” Sapa Flo, dengan lambaian ia buat setinggi mungkin. Terlihat sungguh semangat, dan senyum semringah yang tidak luntur sama sekali.
Agung menoleh menatap wanita malamnya. Flo. Ia juga turut tersenyum. Sebenarnya, wajah Agung tidak kelihatan keriput ataupun tua, layaknya laki-laki yang sudah berusia lima puluh tahun. Agung lebih terlihat seperti laki-laki yang berusia empat puluh tahun. Mungkin juga perawatan wajah yang Agung lakukan, membantu wajahnya agar terlihat awet muda. Kemeja, celana panjang berwarna hitam, sepatu yang terlihat sangat necis dengan celananya, serta gaya rambut Agung yang terlihat keren dan semakin menampilkan kesan maskulin, membuat Agung semakin terlihat lebih tampan diusianya yang sudah setengah abad.
“Kamu udah nunggu lama, ya, sayang?” Tanya Flo dengan manjanya. Ia langsung menyenderkan kepalanya di lengan Agung yang berotot. Flo memonyongkan bibirnya. Memasang wajah melas. “Maaf ya, sayang, kalau udah bikin kamu nunggu lama banget,” Flo mulai mengiba. ‘Enek banget sumpah gue! Tapi, yang penting duit.’ Gumam Flo dalam hati, seraya memutar kedua bola matanya. malas.
“Hahahaha, nggak kok sayangkuh yang semakin hari semakin manis aja.” Tangan Agung langsung menempel di paha Flo yang terekspos dengan sempurna. Menampilkan paha Flo yang putih mulus, dan jenjang.
‘Gila! Si Tua Bangka Agung pegang paha gue lagi! Sial!’ Gerutunya kesal dalam hati. Flo menghelas napas panjang. Kembali memusatkan pikirannya. Berusaha untuk fokus pada tujuan utamanya. ‘Ingat, Flo! Si Tua Bangka Agung ini, duitnya milyaran, dan tentu saja dia bodoh.’ Gumam Flo, sambil tersenyum tipis-tipis. Kedua matanya, sedikit melirik ke atas, diam-diam menatap wajah Agung yang kelihatan masih tampan.
“Kamu kenapa lihatin aku kayak gitu sayang?” Tanya Agung, yang kini sudah membelai rambut Flo yang panjang dan halus. “Kenapa sih?” Tanya Agung sekali lagi.
Flo mengubah posisi duduknya, menjadi tegap, dan menatap kedua netra Agung.
“Kamu cantik banget sih, sayang.” Agung menarik pelan dagu Flo.
“Hehehe, ya aku kan, emang cantik, sayang.” Sahut Flo dengan nada manja yang dibuat-buat.
“Sayang, aku lagi pengen nih,” ucap Agung, dengan tangan kanannya yang sudah melingkar sempurna di pinggang Flo. Tatapan Flo langsung turun, menatap pinggangnya yang sudah dilingkari oleh tangan kanan Agung yang nakal. ‘Udah gue tebak! Dia pasti mau m***n lagi, sama gue,’ Gumam Flo kesal. Cepat-cepat Flo mengubah ekspresinya, agar terlihat lebih manis. Ia pamerkan senyuman manis yang ia buat dengan terpaksa.
“Kamu mau main di mana sih, sayangkuh?” Tanya Flo, seraya mengusap lembut pipi Agung yang ditumbuhi oleh jenggot tipis-tipis. Agak kasar.
“Di hotel. Kamu mau?” Tanya Agung dengan tatapan genit.
“Boleh. Tapi, aku mau___”
“Udah kamu tenang aja sayang, kamu mau belanja apa nanti langsung aku transfer aja uang aku ke kamu.” Ucap Agung tanpa keraguan sedikitpun.
‘Mantap! Akhirnya, gue bisa bayar UKT semester lalu!’ Seru Flo dalam hati. Tatapannya semakin berbinar-binar. Agung pasti mengira kalau wanita malamnya pasti senang karena akan berbelanja ala wanita kota pada umumnya. Menghambur-hamburkan uang demi kenikmatan sesaat.
“Makasih sayang, MUAH!” Flo langsung mengecup bibir Agung.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan, dan Flo masih tidur bersama dengan Agung. Mereka kelelahan, dan menginap di hotel. Flo dan Agung tidur tanpa mengenakan busana, serta hanya ditutupi oleh selimut berukuran besar, yang sanggup untuk menutupi dua orang dewasa.“DRT-DRT.” Gawai Flo yang berada di atas nakas berdering. Ada telepon yang masuk. Perlahan, Flo mulai tersadar dari alam bawah sadarnya. Ia mulai membuka kedua matanya pelan-pelan.“Hoaaammm, siapa sih, yang telepon gue?” Flo mengucek-kucek kedua matanya. Dengan rasa malas, Flo mengambil gawainya yang masih berdering dengan nyaringnya. Tapi, Agung tidak tergannggu sama sekali. Ia kelihatan sangat lelap.“Halo, hooaaamm.” Flo menguap, dan masih tidak sadar, dengan siapa yang menelpon.“FLO! LO BARU BANGUN?!” Suara lelaki dari ujung telepon, sukses membuat Flo kesal. Apalagi, dengan suara keras yang membuat telinga Flo kesakitan.“
“Flo! Dari mana aja, lo? Jam segini baru nyampe?” Tanya Karin sambil menunjukkan layar gawainya, terlihat sudah jam sembilan malam. “Lama banget, lo!” Tukas Karin dengan tatapan sebal. Flo hanya mendengus kasar. “Rin, ya lo tahu gue, kan? Gue tinggal sama nenek gue, dan ya, gue tadi sempat ditanya-tanyain dulu sama nenek gue, mau ke mana, dan pulang jam berapa.” Jelas Flo dengan nada malas. Suara mereka hampir tidak terdengar karena DJ memainkan musin dengan bunyi yang cukup kuat. Ditambah dengan teriakan orang-orang yang sedang merasakan euphoria kehidupan malam di bar. Riuh rendah. Nada-nada yang tidak terkontrol. Mereka berdua sedang berada di depan pintu masuk bar.“Ck. Kapan matinya sih, nenek lo itu, Flo?” Ketus Karin yang langsung mendapatkan sambutan berupa tatapan mata elang dari Flo.“Ngomong apa lo barusan?” Tatapan Flo semakin tajam, dan ada penekanan di tiap kata. “Coba ulangin, kalau
‘Akhirnya, ada yang ambil coklat Beng-Beng gue.’ Gumam Flo. Inilah dunia Flo yang sesungguhnya. Dunianya yang sesungguhnya baru akan dimulai ketika Sang Bagaskara mulai masuk, beristirahat di ufuk barat, serta langit mulai berubah warna dari jingga ke hitam gelap. Flo sudah siap untuk melancarkan aksinya demi memenuhi dunianya. Seperti biasa, ketika jam kuliah sudah selesai, Flo langsung membeli coklat Beng-Beng di kantin, dan mulai menempelkan sebuah kertas berisi tulisan “Just call me”, dengan tak lupa mencantumkan nomor ponselnya di kertas putih tersebut. Lalu, ia akan menaruhnya di saku belakang celana jeansnya. Dan, jika ada laki-laki yang mengambil coklat Beng-Bengnya, sudah dipastikan laki-laki tersebut “sedang menginginkannya”. Dan, sudah pasti akan menelponnya. Flo sudah lama melakukan hal semacam ini, di kampusnya, dan hanya segelintir warga kampus yang paham apa maksud dan tujuan Flo menyelipkan coklat Beng-Beng di saku belakang celananya. Namun, ada juga ya
“Halo, iya, ada apa sayang?” Ucap Flo dengan berbisik. Kedua matanya melirik ke sana ke mari. Seolah ia sedang menelpon seorang penjahat yang bekerja sama dengannya.“Apa? Malam ini?” Tanyanya dengan nada meninggi, namun ia masih tahan, agar tidak terlalu terdengar. Ia buru-buru membekap mulutnya.“Oh, oke-oke, deh, sayang. Nanti sore, aku langsung ke hotel, ya.”“Bye,” Flo langsung menutup teleponnya, dan menghela napas lega.“Sayang? Siapa, Flo?”Suara Rasya membuat Flo terkejut setengah mati. Hampir saja, ia melempar gawainya ke udara. “Eh!” Jantung Flo langsung berdebar-debar tak karuan.“Lo, lagi telponan sama siapa, Flo?” Rasya menatap Flo dengan intens. Membuat Flo semakin salah tingkah.‘Mampus gue, kalau si kepo ini dengar apa yang barusan gue omongin sama om-om penghasil duit, gue.’ Flora menggumam, dan tatapan penuh ketakutan, se
“APA?! BAPAK MAU APA, HAH?!” Bentak Flo yang tidak kalah hebatnya. Suaranya juga ikut bergema. Tidak kalah dengan suara Beni. Suara Flo bergema, memenuhi seluruh sudut koridor kampus. Bahkan, seluruh mahasiswa keluar dari kelas mereka masing-masing. Hanya demi menonton apa yang sedang terjadi di luar kelas mereka.“Yah, ini mah nggak bakalan kelar-kelar, dah.” Ucap salah satu mahasiswi yang keluar dari ruang kelas yang terdapat di sebelah ruang kelas Flo. Ia melipat kedua tangannya, menikmati sinetron dadakan yang sedang dimainkan oleh Flo dan dosen barunya.“GILA, WOY! Si Flo udah nggak sehat, otaknya! Dia berantem sama dosen yang gantengnya melebihi Antares and the genk!” Timpal mahasiswi yang satunya lagi.“Ah, udahlah! Kalau udah urusan sama Flo, gue jamin itu dosen bakalan resign. Nggak kuat ngeladenin mahasiswi koplak kayak Flo.” Tukas mahasiswa yang lainnya lagi.“Fix!
Hari ini, para mahasiswa semester lima jurusan komunikasi kedatangan seorang dosen baru yang konon katanya tampan, usianya sekitar tiga puluh tahun, dan masih melajang. Para mahasiswi semester lima mulai saling berbisik-bisik dan sesekali menatap dosen tampan yang baru saja datang dan sedang duduk dengan posisi tegap, dan tatapannya yang tajam. Kemeja berwarna abu-abu, celana hitam yang terlihat sangat licin, dan sepatu pantofel yang hitam mengkilap, benar-benar telah membuat dosen baru itu, semakin terlihat sempurna di mata para mahasiswi, dan semakin buruk di mata para mahasiswa. Pasalnya, sebagian besar mahasiswa laki-laki menatap garang dan berdecak sebal, ketika para mahasiswi berbisik-bisik rusuh tentang ketampanan dosen baru mereka.“Oke, selamat siang semuanya.” Sapa dosen baru itu, kemudian bangkit dari posisi duduknya, kemudian berjalan ke tengah ruangan.“Selamat siang juga, Pak.” Sahut para mahasiswa bersamaan.Rasya yang seda