Langit mendung menggantung rendah ketika Cinta memarkir mobilnya di depan gerbang sekolah Ciara. Dia turun tergesa, pandangan matanya menyapu area drop-off yang mulai lengang. Sebagian besar murid sudah dijemput orang tua mereka hanya tinggal beberapa anak yang masih menunggu di ruang tunggu khusus.Cinta berjalan cepat ke dalam lobi utama.“Permisi, maaf… saya ibunya Ciara dari kelas mentari,” katanya kepada resepsionis.“Oh… Ciara?” petugas itu mengernyit. “Sepertinya tadi sudah dijemput, Bu.”Cinta mengerutkan kening. “Dijemput? Oleh siapa?”“Saya tidak terlalu melihat, tapi sepertinya ada pria tinggi, kira-kira umur tiga puluhan, rapi. Anak ibu memang biasa dijemput oleh ayahnya, kan?”Darah Cinta langsung naik ke kepala. Dia yakin itu bukan Alex. Namun demi menepis ketakutannya dia segera menelepon Alex. Sayangnya panggilan darinya tak dijawab Alex. Artinya Alex sedang sibuk dan tidak sedang bersama Ciara. Cinta menegakkan tubuhnya. “Tidak. Putri saya hanya dijemput oleh
Gedung sekolah bertaraf internasional itu menjulang megah di kawasan elit kota. Jendela kaca besar dan taman yang rapi menambah kesan modern. Sore itu, satu per satu siswa keluar dari pintu utama, dituntun oleh guru atau nanny mereka. Mereka tampak rapi, dengan seragam formal dan name tag bilingual di dada.Di antara kerumunan itu, seorang gadis kecil berambut panjang dengan dua kepang rapi berjalan santai sambil menenteng tas warna merah muda. Gantungan berbentuk kelinci bergoyang di ritsleting tasnya. Hari ini, seperti biasa, Ciara menunggu mamanya di bangku taman kecil dekat lobi.Namun sore ini, sosok yang muncul bukan Mamanya maupun Ayah Alex.Seorang pria tinggi mengenakan kemeja biru dan celana panjang berdiri di samping gerbang utama. Senyumnya kaku, gugup. Tapi matanya berbinar saat melihat Ciara muncul dari balik pintu.“Ciara,” sapa pria itu sambil melambaikan tangan pelan.Ciara menoleh, lalu tersenyum. “Om Abi!”Dia berlari kecil menghampirinya.Abrisam langsung jo
Cinta tak menyangka dunianya begitu sempit sehingga dia harus bertemu dengan lelaki yang berperan penting dalam menghancurkan hidupnya. Lelaki itu berdiri hanya beberapa langkah darinya, membawa aura yang sama seperti dulu, dingin, berwibawa, dan penuh kekuasaan. Papa Abrisam. Bapak dari lelaki yang dulu hendak menikahinya. Sekaligus orang yang memintanya menggugurkan Ciara, darah dagingnya sendiri.Bertahun-tahun Cinta berusaha melupakan semua, menyusun ulang hidupnya dari serpihan kehancuran. Dan kini, lelaki itu berdiri di depannya, menatapnya seolah tak ada yang pernah terjadi. Cinta refleks memeluk Ciara lebih erat. Alex yang menyadari keanehan pada Cinta mulai waspada. “Apa kita harus pergi?” tanya Alex kemudian. Cinta mengangguk, dengan cepat dia bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh tanpa sepatah kata pun. Dia tidak akan memberi lelaki itu ruang untuk menyentuh hidupnya lagi.Sebab hidupnya kini bukan miliknya sendiri. Ada Ciara, gadis kecil yang tumbuh dengan mata
Cinta tak melanjutkan ucapannya. Alex tahu apa yang ingin dia katakan.“Tapi aku belum bisa memenangkan hatimu, kan?”“Maaf.”Alex menggenggam tangan Cinta, jemarinya hangat, menyalurkan energi pada Cinta. Tatapannya teduh menatap perempuan di depannya, seolah ingin menyampaikan bahwa ia memahami, tanpa perlu banyak kata.“Aku baik-baik saja, Cinta,” ujarnya lembut. “Aku tahu kamu belum bisa menerima perasaanku, kamu belum siap membuka hati buat aku. Tapi aku nggak akan memaksa. Aku cuma pengen kamu tahu, kalau bisa ada di samping kamu, nemenin kamu, itu udah cukup buat aku.”Cinta menunduk, matanya berkaca-kaca,tapi Alex tetap tersenyum, senyum yang tulus tanpa tuntutan.“Aku nggak nyari jawaban sekarang. Aku nggak butuh kamu buat buru-buru sembuh atau langsung ganti arah. Aku cuma pengen kamu tahu, aku di sini. Kalau kamu capek, aku di sini. Kalau kamu butuh diam, aku juga di sini. Nggak apa-apa kalau kamu belum bisa membuka hati. Cukup izinin aku buat tetap ada bersama kamu d
Hujan baru saja reda saat mobil SUV hitam milik Alex berhenti di depan Hotel Ramah, hotel bintang lima yang terletak megah tak jauh dari garis pantai. Gedung tinggi berlapis kaca itu masih berkilau meski langit mendung menyelimuti kawasan pesisir. Udara sore hari membawa aroma laut yang segar bercampur dengan tanah basah, seperti percampuran antara tenang dan sendu.Dari balik kemudi, Alex menatap lobi hotel yang temaram. Matanya menyusuri tiap tamu yang keluar-masuk, hingga akhirnya dia melihat sosok yang ditunggunya.Cinta muncul dari pintu putar dengan langkah pelan, menyeret koper kecil berwarna krem. Wajahnya tampak letih, tak ada senyum. Tak ada sapaan untuk Alex. Hanya sorot mata kosong yang sekilas bertemu dengannya.Alex buru-buru keluar dari mobil dan menghampirinya. “Are you ok?”Cinta hanya mengangguk pelan, tanpa suara. Alex langsung membukakan pintu penumpang.“Makasih, untungnya kamu datang,” gumam Cinta nyaris tak terdengar saat masuk ke dalam mobil.Alex hanya m
Cinta menghempas tangan Abrisam dengan kasar. Dia tak mau moodnya hancur gara-gara ulah sepasang suami istri yang tak tahu diri. “Nggak ada yang perlu kita bicarakan. Saya sibuk.” “Aku nggak nyuruh Rania menemuimu. Aku juga nggak ada janji dengannya di sini.” “Aku tak peduli,” ucap Cinta acuh tak acuh. Dia melanjutkan langkahnya, berdiri di depan lift, menekan tombol panik berkali-kali. Seolah semakin sering ditekan, semakin cepat pintu lift akan terbuka. Abrisam menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengikutinya. “Cinta!” teriaknya, suara menggema. Cinta menoleh, sekilas. Tatapannya kosong dan tampak dingin. Lalu dia kembali menghadap lift, seolah Abrisam hanya angin lalu. “Cinta, tunggu dulu!” seru Abrisam tepat di belakangnya. Pintu lift berbunyi ding dan mulai terbuka. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Rania,” katanya cepat, nyaris terbata. “Kamu salah paham.” Cinta masuk ke dalam lift. Tak satu kata pun keluar dari bibirnya. “Cinta, please... denga