Lima tahun yang lalu Cinta melepaskan semuanya dan pergi. Meninggalkan luka dan membawa serta benih yang tak diinginkan Abrisam dan keluarganya. Cinta berhasil membangun hidup di atas reruntuhan cinta dan harapan yang hancur. Namun sekarang, semesta memainkan perannya. Takdir mempermainkannya kembali. Secara tak sengaja Cinta bertemu kembali dengan mantan kekasihnya saat mencari putrinya yang terpisah darinya. Abrisam yang bertemu dengan putrinya terkejut dengan kemiripan mereka. Dia pun mulai mencurigai sesuatu. Cinta yang mulai paham dengan kecurigaan Abrisam memasang tembok penghalang, dia tak begitu saja membiarkan Abrisam mendekati mereka. Lalu apa yang terjadi kemudian? Mungkinkah Abrisam mengetahui rahasia besar yang Cinta simpan selama ini?
Lihat lebih banyakSeruan lirih seorang gadis kecil menggema, bersamaan dengan tubuh mungilnya yang terhuyung dan jatuh ke tanah.
"Aduh." Abrisam, yang tengah terburu-buru, mendadak tersentak. Ia menunduk dengan cemas, mengulurkan tangan dengan penuh penyesalan. “Maaf... Aku tak sengaja. Kamu baik-baik saja?” Saat gadis kecil itu mendongak, sepasang mata mereka saling bersitatap. Abrisam terhenyak. Wajah mungil itu... begitu serupa dengannya. Terlalu mirip. Rambut hitam lurus menjuntai lembut, kulit seputih pualam, dan lesung pipi di sisi kiri, semua itu bagai refleksi dirinya dalam wujud yang lebih kecil. Gadis kecil itu berkedip beberapa kali, lalu dengan ragu menerima tangan Abrisam. “Aku tidak apa-apa, Om. Hanya sedikit kaget.” Abrisam membantunya berdiri, masih diselimuti keterkejutan yang menggumpal di dadanya. Abrisam seperti mesin pemindai, menatap gadis itu dari atas ke bawah berulang. “Siapa namamu? Apa kamu sendirian di sini?” tanya Abrisam penasaran. Abrisam menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ditemukannya sosok orang dewasa di sana. Gadis itu menggigit bibir mungilnya, sorot matanya redup. “Namaku Ciara. Aku sedang mencari Mama. Tapi... aku kehilangan jejaknya. Dan aku tidak tahu jalan pulang.” Abrisam menelan ludah. Seolah tak cukup dengan kemiripan yang mengusik pikirannya, kini ia mendengar kisah yang membuat hatinya mencelos. “Ciara... Nama yang indah. Tapi, kamu bilang kehilangan Mama? Terakhir kali kamu melihatnya di mana?” Ciara mengangkat bahu kecilnya. “Di dekat taman sana.” Jawabnya menunjuk dengan telunjuknya yang diikuti tatapan Abrisam. “Aku tadi melihat boneka kelinci lucu di etalase toko, lalu aku berhenti sebentar. Waktu menoleh, Mama sudah tidak ada. Aku berlari mencarinya, tapi malah semakin jauh tersesat.” Mata beningnya mulai menggenang. Abrisam merasa hatinya menghangat oleh empati. “Jangan takut, kita cari Mama bersama-sama, yuk? Mungkin mama masih ada di sekitar sini.” Ciara mengangguk pelan, jemarinya yang kecil meremas tangan Abrisam. Abrisam menatap tangan mungil yang kini berada dalam genggamannya. “Om, tahu.....mamaku cantik sekali,” celotehnya pada Abrisam yang disambut dengan senyuman. Mereka pun mulai menelusuri taman, harapan terpancar di setiap langkah. Namun, pikiran Abrisam tak henti-hentinya berputar. Seberapa besar kemungkinan ia bertemu seorang anak kecil yang begitu mirip dengannya? “Ciara, kamu tinggal di mana?” tanyanya lembut, berusaha menggali lebih dalam. “Aku tidak tahu alamatnya... tapi di depan rumahku ada pohon besar yang rindang dan kucing oranye bernama Milo,” jawabnya polos. Abrisam tersenyum tipis. Jawaban khas anak-anak. “Kamu tinggal bersama siapa di rumah?" “Mama. Aku anak satu-satunya,” jawab Ciara polos, menatap Abrisam dengan mata bulatnya yang penuh kejujuran. Abrisam berhenti melangkah. Jantungnya berdegup tak beraturan. “Berapa usiamu, Ciara?” “Lima tahun, Om. Lebih tepatnya mau enam tahun, tapi masih tahun depan. Beberapa bulan lagi,” ocehannya membuat Abrisam tertawa kecil. Dunia seakan berputar. Abrisam merasakan sesuatu yang begitu asing menyelusup ke dalam dirinya. Sejenak, napasnya tercekat. Lima tahun... Sebelum dia bisa berkata lebih jauh, suara nyaring seorang wanita memecah keheningan. “Ciara! Nak, di mana kamu?” Ciara menoleh cepat, matanya berbinar melihat sosok yang dikenalinya. “Om, itu Mama!” Abrisam mengangkat wajah, melihat sosok seorang wanita berlari ke arah mereka. Wajahnya cemas, namun seketika berubah lega saat melihat Ciara. Begitu mendekat, wanita itu langsung merengkuh putrinya ke dalam pelukan erat. “Mama! Aku takut sekali tadi,” lirih Ciara di antara isak tangis kecilnya. “Maafkan Mama, Sayang. Mama sudah mencari ke mana-mana.” Suara wanita itu bergetar penuh emosi, tangannya mengusap rambut gadis kecil itu dengan kelembutan seorang ibu. Abrisam terpaku. Kini, dengan jarak yang lebih dekat, dia bisa melihat wajah wanita itu dengan begitu jelas. Dan hatinya berdegup semakin kencang. Ya, Abrisam mengenali wanita itu. Wajah yang tak pernah benar-benar dia ia lupakan. Mata yang dulu pernah menatapnya penuh cinta dan kasih sayang. Senyum yang tersimpan di sudut kenangan lamanya. Wanita itu mendongak, dan saat mata mereka bertemu, seluruh tubuhnya menegang. Sejenak, ia membeku, tatapan matanya penuh ketidakpercayaan dan kemarahan. “Abrisam?” suara wanita itu lirih, tetapi nada tajam dalam suaranya terasa jelas. Dunia Abrisam seakan berhenti. Napasnya tercekat. “Cinta...?” Cinta menggenggam tangan Ciara lebih erat, seolah melindunginya. Matanya menatap Abrisam dengan penuh kebencian. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” Abrisam mengerutkan kening, bingung dengan reaksi Cinta. “Aku... Aku kebetulan bertemu Ciara. Dia tersesat. Aku hanya ingin membantu.” “Terima kasih. Tapi sekarang Ciara tak butuh bantuanmu,” potong Cinta cepat. Dia menarik Ciara mendekat, seakan menjaga jarak dari Abrisam. Abrisam merasa dadanya semakin sesak. “Cinta... Aku tak menyangka bertemu denganmu di sini. Dan Ciara... Dia...” “Dia bukan urusanmu,” sela Cinta tajam. “Kamu sudah pergi dari hidupku, Abrisam. Pergi tanpa menoleh. Jangan berpikir terlalu jauh dan bertanya-tanya tentang putriku.” Putriku. Kata itu menampar Abrisam begitu keras. Dia menatap Ciara sekali lagi, menyadari kebenaran yang selama ini tersembunyi darinya. “Ciara... dia anakku, bukan?” tanyanya dengan suara bergetar. Cinta mengangkat dagunya, ekspresi wajahnya dingin. “Tidak. Ciara anakku dan suamiku.” Abrisam merasa tubuhnya melemas. “Kamu berbohong padaku? Aku berhak tahu!” Ciara tertawa sinis. “Hak? Kau bicara tentang hak setelah kamu meninggalkanku tanpa sepatah kata pun? Setelah kamu memilih mimpimu dan mengabaikan perasaanku? Aku tidak membutuhkanmu, Abrisam. Dan anakmu, bukankah kamu sudah membuangnya? Kamu lupa bagaimana orang tuamu memintaku membunuhnya?” Abrisam terdiam. Semua kata-kata yang terlontar dari mulut Cinta menusuknya lebih dalam dari yang dia bayangkan. Namun di balik kemarahan dan kepedihan itu, ada penyesalan yang tak bisa ia sangkal. “Aku tahu aku salah,” ucapnya menyesali diri. “Tapi benarkah dia bukan anakku? Bertahun-tahun aku mencarimu. Aku ingin menebus kesalahanku. .” Abrisam masih belum yakin dengan jawaban Cinta. Sisi hatinya yang lain tak mau menerima bahwa Cinta kini menjadi milik orang lain. Cinta menggeleng tegas. “Bukan... dia bukan anakmu. Semua sudah terlambat, Abrisam. Aku sudah berjuang sendiri selama ini, dan aku tidak akan membiarkanmu datang dan merusak apa yang sudah kubangun. Ciara bukan anakmu.” Abrisam ingin membantah, ingin berdebat. Namun, tatapan tajam Cinta seakan menjadi tembok kokoh yang tak bisa dia runtuhkan. Lagi pula Abrisam tak mau Ciara ketakutan padanya hanya karena emosi sesaatnya. “Ayo, Sayang. Kita pulang,” ucap Cinta lembut pada Ciara. Gadis itu mengangguk, menuruti ajakan ibunya. Ciara menatap Abrisam sebentar sebelum menggenggam tangan ibunya dan berjalan pergi. Ciara bisa merasakan kemarahan pada ibunya sehingga dia tak berani melambaikan tangan tanda perpisahan pada lelaki yang sudah menolongnya. Abrisam hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Perasaannya merasa begitu terikat dengan Ciara. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan perasaan kehilangan. “Aneh!”Abrisam senang, secara tak sengaja kalimat yang diucapkan Cinta mengisyaratkan bahwa wanita itu masih memiliki cinta untuknya. Abrisam menatap Cinta dengan sorot mata yang tak mampu dia sembunyikan lagi. Hangat, rindu, dan menyesal. Sementara Cinta, walau diam dan mencoba mengalihkan pandang, tak mampu menyembunyikan getaran di ujung bibirnya. Ada satu helaan napas panjang dari bibirnya yang membuat bahu Abrisam mengendur sedikit, seolah dia tahu, sesuatu dalam diri Cinta akhirnya menyerah pada perasaan itu juga.“Kamu nggak bisa bohong padaku, walaupun mulutmu membenciku bahkan mengutukku, tapi tatapan matamu dan tubuhmu tak mampu membohongi ku, Cinta.”Cinta mengernyit lembut. “Omong kosong!”“Aku sudah berhenti mencintaimu,” jawab Cinta lantang, berusaha melawan perasaannya.Ucapan itu membuat Abrisam membeku sejenak. Matanya berkaca. Jemarinya yang tadinya hanya bersandar di sisi sofa kini perlahan bergerak, menyentuh tangan Cinta yang sejak tadi gemetar di atas lututnya.
Abrisam, lelaki itu berlutut di depan Ciara. Mata pria itu, tajam seperti biasanya, tapi dengan Ciara tatapannya lembut dan hangat. Walaupun begitu dia tidak kehilangan tekad yang membara di baliknya. “Kalau kamu mau, Om bisa kasih semuanya ke kamu. Apa pun yang kamu suka. Boneka, taman bermain, rumah dengan anjing peliharaan, bahkan tas sekolah yang paling bagus.” Ciara hanya menatapnya. Datar. Diam. Tidak seperti biasanya. “...asal kamu mau dekat sama Om. Asal kamu percaya.” Cinta menahan napas. Kata-kata itu menusuk, tidak hanya karena maknanya, tetapi karena Abrisam mengatakannya seperti pria yang punya kuasa penuh—padahal kenyataannya, dia baru muncul setelah lima tahun membuang mereka. Ciara mengernyit. “Tapi aku bukan anak kecil yang bisa dibeli, Om.” Abrisam terdiam. Kaget, lalu tertawa pelan. “Kamu benar, Cia.” Ciara menunduk. “Kalau kamu benar-benar peduli dengan Ciara, Om tak akan menawarkan uang pada Ciara. Mama juga punya banyak uang. Iya, kan , Ma?
Cinta berdiri terpaku di samping mobilnya, tangan gemetar menggenggam tali tas kecil putrinya yang berwarna ungu. Wajahnya muram, pikirannya berantakan.Semuanya terjadi terlalu cepat. Cinta menoleh dan tersenyum begitu melihat Ciara berlari ke arahnya. Namun, senyuman itu cepat pudar ketika Ciara berbelok dan melihat Ciara justru berlari ke arah Abrisam, yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah dengan jaket gelap dan tatapan tajam yang sulit ditebak.Tanpa ragu, Ciara menggenggam tangan Abrisam. Matanya berbinar. "Om Abi, ayo kita pulang bareng! Aku udah janji sama temanku loh, kita mau makan di tempat yang enak. Om ikut, kan?"Cinta menahan napas. Hatinya terasa seperti diremas. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar. Dia tahu saat-saat seperti ini akan datang, namun dia tak siap menghadapinya, melihat bagaimana Ciara memilih pria itu tanpa ragu.Abrisam menatap Cinta, lalu menunduk pada Ciara. "Kalau Bunda kamu mengizinkan, Ayah akan ikut.""Ayah." Kata itu keluar begitu saj
Hujan tak berhenti sejak sore, langit kelabu menggantung di atas Jakarta seakan ikut menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama tertutup rapat. Abrisam menyetir perlahan di jalanan yang cukup licin, wajahnya kaku, matanya tajam menyusuri lalu lintas yang padat.Di jok sebelah, sebuah foto kecil tergeletak—bukan miliknya, bukan pula milik Cinta, tapi milik anak kecil yang mendadak menjadi poros kegelisahannya, Ciara.Bukan karena nama gadis kecil itu seperti nama yang pernah dia dan Cinta inginkan. Bukan karena sikapnya terlalu dewasa untuk usianya. Bukan juga karena mereka dekat akhir-akhir ini.Namun, karena setiap kali menatap mata Ciara, Abrisam merasa seperti sedang menatap bayangannya sendiri dari masa kecil. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—kejernihan yang penuh tanya. Dan setiap senyuman Ciara, menggerogoti batas logika yang selama ini Abrisam jaga.Dia bukan pria yang percaya firasat.Tapi setiap kali dia bersama Ciara sesuatu di dalam dirinya berontak. Menolak diam.Ciara b
Cinta melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul 11.20, waktu seolah lebih cepat dari biasanya. Hari ini sekolah Ciara memang pulang lebih awal karena miss ada rapat internal. Cinta sempat ragu bisa menjemput, mengingat pekerjaan cukup padat. Tapi rasa bersalah karena semalam dia tak sempat menemani putrinya tidur, membuatnya buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan meluncur ke sekolah.Mobil SUV miliknya berhenti di parkiran luas depan gerbang sekolah. Dia bergegas turun dan berdiri di bawah pohon flamboyan, tempat biasa orang tua menunggu anak-anak mereka keluar.Tak lama, gerombolan anak-anak mulai berhamburan keluar. Suara riuh rendah mereka bercampur tawa dan panggilan miss mereka.Cinta menatap dengan saksama hingga matanya menangkap sosok kecil yang dia tunggu kepulangannya.“Mamaaaaaa!” Ciara melambaikan tangan sambil berlari kecil. Tas ungu bergambar karakter kartun kesayangannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di punggung mungilnya.Cinta terseny
Suara langkah kaki menggema pelan di lantai marmer kantor tempat Cinta bekerja. Dia baru saja selesai meeting dan tengah menatap layar laptop ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.Cinta mengangkat wajah.Deg.Tubuhnya seketika menegang.Abrisam berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja abu tua yang digulung di lengan, rambut sedikit acak-acakan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah ada badai yang sengaja dia bawa masuk bersamanya. Dingin, tapi menyimpan banyak hal di balik tatapan.“Apa kamu selalu menyuruh resepsionis membiarkan siapa pun masuk ke ruang kamu tanpa izin?” tanya Abrisam dingin.Cinta langsung berdiri. “Dan kamu selalu masuk tanpa izin juga?”Abrisam menutup pintu. “Kita harus bicara.”“Aku nggak mau bicara sama orang yang menculik anakku!”“Aku tidak menculiknya. Aku hanya mengajaknya jalan-jalan. Lagi pula aku memulangkannya, bukan membawanya ke rumahku.”Suara Abrisam dalam, tenang, tapi menusuk.Cinta mengepalkan tangan di sisi tu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen