LOGINMalam kian larut, tapi kota justru terjaga oleh kegelisahan mereka.Mobil berhenti di tepi jalan yang sepi, hanya diterangi satu lampu jalan yang berkedip seperti nyawa yang ragu untuk tetap hidup. Mesin masih menyala, namun di dalam, udara sudah menggumpal menjadi sesuatu yang pekat, penuh kecurigaan, tuduhan, dan kenangan yang membusuk.Cinta tidak berbicara. Kedua tangannya gemetar di atas pangkuan, jemari putihnya mencengkeram celana bahan yang dikenakannya hingga berkerut kejam. Tatapannya lurus ke depan, tapi matanya kosong, seolah Ciara masih berdiri di sana—tersenyum, memanggilnya, lalu lenyap.Di sampingnya, Abrisam tampak seperti patung. Rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menonjol. Ada amarah di sana, tapi juga ketakutan. Bukan takut kehilangan, lebih tepatnya, takut Ciara kenapa-kenapa.“Rania…” gumamnya hampir tak terdengar.“Apa?” Cinta menoleh cepat.Nama itu... bukan nama asing. Namun sudah terlalu lama tak terucap di antara mereka, seolah dua bibir mereka punya kes
Suasana masih dipenuhi residu dari pertengkaran panjang itu. Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di antara mereka yang tak pernah selesai dijelaskan. Cinta berdiri di ambang pintu, hendak melangkah pergi, sementara Abrisam masih berdiri tak jauh darinya Hening tiba-tiba pecah oleh dering telepon. Cinta mengerutkan kening. Nomor Miss Ciara. Seketika pikirannya bekerja dengan cepat, kilasan kejadian buruk mengisi kepalanya. Cinta menetralkan degup jantungnya dan menjawab. “Halo, dengan Cinta.” Suara perempuan di seberang terdengar tergesa dan gemetar. “Ibu Cinta? Ini dari pihak sekolah. Kami… kami harus mengabarkan sesuatu…” Wajah Cinta seketika pucat pasi. “Ya? Apa—ada apa, Miss? Ciara kenapa, Miss?” Abrisam refleks mendongak. Nama itu langsung membuat tubuhnya menegang. Suara di telepon terdengar panik. “Ciara… hilang, Bu.” Darah Cinta seperti berhenti mengalir. Tubuhnya lemas. Sesuatu di dalam dirinya runtuh dalam sekejap. “A-ap
‘Yang paling menyesakkan bukan kepergianmu, tetapi fakta bahwa aku tak berani menginginkan kamu tinggal.’Nafas Cinta masih tersengal, emosinya sudah sampai pada titik puncaknya.Abrisam masih berdiri beberapa langkah darinya dengan rahang mengeras. Matanya memancarkan sesuatu yang lebih lembut dari kemarahan—sesuatu yang justru membuat hati Cinta kian panas.“Aku nggak ngerti kenapa kamu kembali lagi ke hidupku,” ucap Cinta lirih, tapi tajam. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah dia butuh pegangan agar tidak runtuh kembali ke dalam kenangan.Abrisam tidak menjawab. Matanya hanya tertuju padanya, lekat, panjang, seperti sedang membaca sesuatu yang tidak ingin Cinta biarkan terbaca.“Kenapa kamu datang lagi?” Suara Cinta bergetar. “Kenapa kamu terus muncul seolah-olah… seolah-olah kamu punya hak?”Abrisam menarik napas lambat. “Karena kita takdir satu sama lain. Aku butuh kamu. Butuh menyelesaikan sesuatu yang—”“Yang sudah kamu buang, kan?” potong Cinta tajam. “Yang sud
Langkah Cinta terhenti begitu dia memasuki lobi kantor. Bukan karena lampu kristal yang menggantung di langit-langit.Bukan karena karyawan lain yang menunduk memberi salam pagi.Tapi karena seseorang sedang duduk di sofa panjang, mengenakan kemeja hitam pekat yang membuat sorot matanya terlihat lebih tajam dari biasanya.Abrisam.Lengan kirinya terlipat santai, sementara tangan kanannya memegang segelas kopi brand favoritnya. Abrisam seolah duduk di tempat itu bukan sebagai tamu, melainkan sebagai badai yang datang dan memutuskan untuk menghancurkan ketenangan siapa pun yang menatapnya.Dada Cinta langsung mengencang. Cinta menghela nafas, berusaha setenang mungkin.“A...brisam,” suaranya tercekat.Abrisam berdiri. Gerakannya tenang, namun sorot matanya… sorot itu berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa Cinta definisikan. Cemburu? Marah? Luka yang yang sedang dia tutup rapat-rapat.Atau ketiganya sekaligus?“Pagi,” ucapnya datar. “Kita perlu bicara.”Cinta menelan ludah. “Di sini?
Cinta membuka jendela, membiarkan udara segar menguar bersama harum kopi yang baru diseduh. Alex sudah di dapur, menyalakan pemanggang roti sambil bersenandung kecil. Suara parau itu terasa asing bagi Cinta, tapi juga hangat, seperti memori lama yang tiba-tiba pulang. “Pagi,” sapanya pelan. Alex menoleh, tersenyum dengan mata yang belum sepenuhnya lepas dari lelah. “Pagi, Cinta. Mau kopi hitam atau teh manis?” “Teh. Aku lagi nggak kuat pahit. Hidup aku sudah pahit akhir-akhir ini.” Alex terkekeh kecil. “Untung bukan aku yang kamu maksud.” Cinta pura-pura mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Ada sesuatu di antara mereka yang berubah sejak semalam — tak lagi ada jarak yang dingin, tak ada tatapan yang menuduh. Hanya dua manusia yang sama-sama belajar menurunkan ego dan mengulurkan hati. Saat mereka duduk berdua di meja makan, Alex meletakkan cangkir di depan Cinta dan berkata lirih, “Cinta, aku mau minta maaf lagi. Bukan karena aku harus, tapi karena
Malam turun perlahan di atas kota, menelankan cahaya oranye terakhir di ufuk barat. Dari jendela ruang tamu, Cinta menatap kosong ke arah langit yang mulai gelap, sementara lampu-lampu jalan satu per satu mulai menyala.Hari ini terasa panjang — terlalu panjang.Sejak pagi, pikirannya masih belum benar-benar tenang setelah pertemuan tak terduga dengan Abrisam. Tatapan pria itu, kalimatnya, bahkan senyum kecilnya masih menari-nari di kepalanya, membuat hatinya resah.Dia tidak menginginkan semua itu. Cinta tidak ingin kenangan lama kembali mengusik hidup yang baru saja dia tata. Tapi yang sudah terjadi, tidak bisa dihapus begitu saja.Pintu rumah berderit pelan. Suara langkah berat masuk ke ruang tamu.Alex baru pulang.Cinta menoleh perlahan. Pria itu tampak lelah, kemejanya sedikit kusut, dan wajahnya menunjukkan ekspresi letih yang entah karena pekerjaan atau… karena dirinya.“Sudah makan?” tanya Cinta pelan, mencoba terdengar biasa.“Belum,” jawab Alex datar. Dia menaruh tas







