Tama memasuki klub malam yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu bukan klub elit yang berisi para borjuis yang selalu meluangkan waktunya untuk membuang uang.
Tempat itu begitu gelap dan lebih liar dari yang ia bayangkan.
Namun Tama tidak ada tujuan untuk bersenang-senang disana, ia ingin menemui seseorang yang sudah ia rencanakan sebelumnya.
Di sampingnya, Juan sang asisten setia berjalan menemani dirinya. Matanya yang jelalatan tampak tak pernah berkedip sejak pertama kali memasuki klub. Memandang pyudr* serta bokong bulat setiap perempuan yang dilewatinya.
Tama kemudian menaiki tangga menuju ruangan yang telah diberitahu oleh suruhannya.
Sampai disana, ia melihat sosok pria tua yang telah menunggunya, duduk sembari menikmati segelas wine di tangannya.
Suasana di dalam ruangan begitu senyap dan redup yang membuat ruangan itu terasa begitu privasi.
"Selamat malam, Tuan Utama." ucapnya setelah berdiri dan menyalami Utama, dilanjut kepada Juan.
"Maaf sudah membuatmu menunggu." sahut Utama datar. Matanya tak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali, karena disini posisinya sebagai klien.
Si pria tua hanya tersenyum tipis menanggapi dengan ramah, "Saya baru saja sampai dan ingin minum, silahkan duduk."
Utama duduk di seberang Danu, si pria tua yang memakai kacamata tipis dengan topi fedora yang menutupi rambut berubannya.
"Langsung saja pada poin utamanya." ucap Tama tak ingin berlama-lama.
"Setelah menyelidiki lebih lanjut, ternyata sebelum mengalami kecelakaan dan meninggal dunia, Erlan Hidayat tersandung kasus korupsi di tempatnya bekerja. Dan setelah kematiannya, seluruh harta peninggalannya dijual sehingga istri dan anaknya pergi dan berpindah-pindah tempat.
"Namun ada yang terlihat mencurigakan dari kejadian ini. Setelah semua akun keuangan Erlan dibekukan, saya menerima catatan laporan bahwa salah satu akun bank beliau ternyata masih aktif, dan terdapat transaksi-transaksi yang masih dilakukan."
"Selidiki siapa saja pihak yang melakukan itu." ucap Tama. Ia yakin dalang dibalik penyabotase akun bank itu tidak dilakukan oleh satu orang. Ini adalah kejahatan yang tramsparam dan sulit untuk dibongkar.
"Bagaimana dengan hubungan antar keluarga besarnya?" tanya Tama yang masih penasaran dengan sosok Erlan Hidayat.
"Mereka tinggal menyebar terpisah dan jauh, sehingga mereka tidak pernah berkomunikasi. Untuk alasan pribadinya, saya belum menyelidikinya lebih lanjut."
"Untuk lebih jelasnya, anda bisa membacanya di dalam berkas ini." Danu menyerahkan sebuah map berwarna merah ke hadapan Tama.
Tama pun menerimanya dan mulai membacanya dengan begitu cermat.
"Aku ke toilet dulu." bisik Juan disela Tama membaca lembaran berkas itu. Tama mengangguk tak acuh, membiarkan Juan pergi.
Beberapa menit Tama habiskan untuk membaca, menelaah setiap informasi yang ditulis dengan rapi ditemani Danu yang kembali menikmati wine-nya.
Hingga kemudian, ponselnya berdenting menandakan sebuah pesan yang masuk.
Tama menghentikan bacaannya dan mengambil ponselnya dari atas meja. Ia membuka pesan dari Juan seksama, sebuah foto membuat matanya melebar dengan detak jantung yang berkejaran dengan nafas yang memburu.
"Zara..." gumam Tama tak menyangka.
Juan mengirimkan sebuah foto beberapa wanita yang berjajar nampak hampir t*l*nj*ng kepada Tama dengan caption, 'Sepertinya seru jika aku memilih salah satu diantara mereka.'
Namun bukan itu fokus utamanya. Ia mengenali dengan jelas salah satu dari gadis itu, meskipun ia menggunakan topeng wajah dengan kualitas foto yang nampak buram.
Wajah yang beberapa hari ini selalu muncul di dalam benak dan pikirannya.
Segera Tama menghubungi Juan dan memintanya untuk melakukan perintahnya. "Pilih gadis yang bertopeng warna hitam. Bawakan kepadaku sekarang!" balasnya penuh tekanan.
Tama memejamkan mata sesaat, menenangkannya dari gejolak api yang siap membara. Kemudian matanya terbuka, menatap nyalang dengan pikiran penuh kenekatan.
"Kau sudah melanggar janjimu, gadis kecil!" geramnya marah. Benar-benar marah, sekaligus kecewa.
Zara dibawa ke lantai dua, sebuah ruangan yang nampak sunyi dengan cahaya yang redup. Namun Zara merasakan sesuatu yang lebih gelap dari tempat itu.
Ia berdiri tak nyaman diapit dua pria kekar, menghadap seorang lelaki yang terlihat duduk membelakanginya.
Aura lelaki itu nampak tak biasa. Keterdiamannya terasa mencekam.
Hingga seorang lelaki lain datang, bersama wanita paruh baya yang tadi ditemuinya. Sang mucikari yang telah membuatnya berada dalam posisi saat ini.
Mereka nampak berbicara, berunding membicarakan harga, seolah dirinya sebuah barang yang hendak diperjual belikan.
Zara semakin menangis dalam diamnya. Tidak ada lagi harapan untuknya keluar dari kubangan nista ini. Dunia benar-benar tidak berpuhak padanya kali ini.
Lalu, laki-laki yang belum menampakkan wajahnya berbicara kuat, lantang, dengan ancaman yang begitu nyata.
"Kalian ingat baik-baik, gadis ini tidak ada hubungan utang piutang apapun lagi dengan kalian. Jika saja kalian mengganggunya lagi, saya tidak segan untuk menghancurkan bisnis kalian ini, mengerti?!"
Ucapan itu bagai palu godam yang menghantam keras dirinya. Menghancurkannya hingga melebur tak terbentuk.
Kini seorang Zara hanyalah gadis tertawan yang telah dibeli kebebasannya.
Isakan yang sedari tadi ditahannya kini terdengar begitu nyesakkan dada.
Sang lelaki yang membelakanginya kini berdiri, berjalan mendekati Zara yang tergugu akan tangisannya.
"Perlihatkan wajahmu! Ingat, sekarang kamu milikku!!"
Zara mendongak dengan air mata yang membasahi wajah. Isakannya semakin kuat kala sosok yang dikenalinya nampak berdiri menatapnya lembut, berbanding terbalik akan suaranya yang terdengar tajam dan menusuk.
"Om..." gumam Zara sebelum menghambur ke dalam pelukan Tama.
Zara tak bisa menahan kelegaan di dalam hatinya mengetahui Tama yang berada di hadapannya.
Benak Tama begitu sakit merasakan pelukan erat yang menyergapnya. Isak tangisnya terasa menusuk setiap telinga yang mendengarnya.
Orang-orang tadi telah keluar, meninggalkan Tama bersama Zara yang belum melepaskan pelukannya.
Juan yang sedari tadi duduk menjadi penonton hanya mendesah keras, melihat adegan penuh dramatis itu. Iabtak menyangka Utama rela mengeluarkan uang banyak hanya demi seorang wanita lelangan.
"Kenapa tidak langsung menghubungiku?" bisik Tama tanpa mau mencoba melepaskan pelukan Zara. Entah kenapa, rasa lega memenuhi benaknya kala pada akhirnya Zara kembali jatuh ke dalam genggamannya. Meskipun rasa amarah masih memenuhi sebagian hatinya.
"Bukannya sudah kubilang, kalau butuh sesuatu kamu harus menghubungiku?!" Tak ada lagi kata formal. Kata-kata yang diucapkan terdengar begitu posesif menunjukkan kedekatan hubungan mereka.
"M-mereka terus mendesakku, mereka mengancamku." Zara melihat pergelangan tangannya yang memar. Terasa perih hingga ke tulang-tulangnya.
Perlahan, Tama melepaskan pelukan mereka, menatap kondisi wajah Zara lebih jelas. Wajah yang masih mengenakan topeng itu perlahan Tama lepas. Menunjukkan wajah cantik yang dipenuhi air mata dan derita.
Tama menatap ke bawah, memeriksa kondisi tubuh Zara setelah mendengar penuturan Zara tadi. Mengabaikan fakta bahwa penampilan gadis itu hampir tidak berpakaian.
Tama melihat memar itu. Pergelangan tangannya terlihat kontras diantara kulit putih mulusnya.
"Mereka tidak akan menyakitimu lagi." gumamnya seraya mengecup seluruh memar disana. Membuat Zara terdiam tak berkutik.
Tama melepaskan genggamannya, lalu melepas jaket yang membungkus tubuhnya, membalut tubuh rapuh Zara dengan jaketnya.
Tama membawa Zara untuk duduk di sofa. Membawakannya segelas air putih yang segera diterima Zara. Ia meneguk air itu sampai habis yang terasa bagai surga yang menyejukkan setelah dilanda ketakutan yang amat besar.
Juan menatap keseluruhan tubuh wanita yang duduk di hadapannya. Rasa kesal dan penyesalan menghampiri benaknya. 'Jika tahu akan semenarik itu, aku tidak akan memberikannya kepada Tama tadi!'
"Tenangkan dirimu." ucap Tama begitu perhatian.
Zara mengangguk patuh, "Terima kasih om." ucap Zara tulus. Ia tak menyangka Tama kembali menolongnya.
"Apa... Om akan melepaskanku lagi?" tanya Zara ragu, karena sebelumnya ia mendengar proses transaksi tadi yang menyebutkan nominal yang tak sedikit.
Tama terdiam dengan sorot matanya yang Tajam, "Sayangnya tidak, Zara. Setelah semua yang aku berikan untukmu. Aku tidak akan melepaskanmu lagi." jawab Tama tegas. Matanya terus memandang tajam membuat Zara terdiam tak berkutik. Kepalanya masih panas oleh kobaran amarah dan sepercik gairah yang mulai menyelimuti.
Ia sadar, kini Zara hanyalah wanita yang telah dijual dan dibeli dengan harga yang fantastis. Dan Tama sudah membeli tubuh dan semua kebebasan yang dimilikinya, seutuhnya.
Tak lama, pintu kembali terbuka. Menghadirkan dua wanita yang membawa beberapa botol minuman alkohol.
"Sekarang kamu temani aku minum." ucap Tama melihat suasana semakin panas melihat Juan telah sibuk dengan kedua wanita itu.
Tama meraih gelas koktail itu, kristal es beradu lembut dengan dinding kaca yang dingin. Cahaya redup memantul pada permukaan cairan amber kecoklatan, aroma manis dan pahit bercampur, sedikit harum rempah-rempah samar tercium. Ia memutar gelas perlahan, menikmati pusaran warna dan aroma yang menggoda.
Tekanan yang menumpuk bagai batu di dadanya, kini terasa sedikit mereda seiring aroma minuman yang menusuk indra penciumannya.
Dengan gerakan terukur, Tama meneguk isi gelas itu dalam sekali tegukan. Sensasi dingin yang menyegarkan langsung menyapu kerongkongan yang terasa kering dan panas. Kemudian, ledakan rasa, manisnya gula yang lembut, bercampur dengan pahit tajam yang menusuk lidah. Sebuah sentuhan rempah-rempah hangat melingkupi rasa pahit itu, seperti pelukan yang menenangkan. Akhirnya, sebuah rasa asam yang ringan menyeruak, menyeimbangkan keseluruhan komposisi rasa yang kompleks.
Bukan hanya tenggorokannya yang terasa segar, tetapi juga pikirannya. Alkohol mengalir deras, membawa serta euforia yang menenangkan. Ketegangan yang sebelumnya mencekamnya mulai mereda, digantikan oleh ketenangan yang menyelimuti. Namun, bukan ketenangan yang pasif, sebuah kejernihan baru muncul, membawa serta kesadaran akan dirinya sendiri dan lingkungan sekelilingnya.
"O-om gak akan kasar kepadaku, kan?" cicit Zara, menatap syok dua wanita yang tengah memberikan pelayanannya pada lelaki di seberangnya. Ia takut akan perubahan suasana hati Tama yang selalu berubah-ubah.
"Beri aku minuman lagi." ujar Tama kepada Zara, mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan gadis itu.
"Om, jangan mabuk." ucap Zara takut. Ia melihat penampilannya yang sayu seperti orang mabuk setelah menghabiskan beberapa gelas minuman beralkohol.
"Aku tidak akan mabuk." ucapnya tegas, sorot matanya mengkilat, meyakinkan Zara bahwa kesadarannya belum hilang hanya karena beberapa gelas martini.
Tama menyenderkan kepalanya ke bahu Zara yang menegang, ia mengusap lengan itu lembut, seraya berkata, "Enjoy, Zara."
"Aku gak nyaman, om."
Tama menatap Zara tanpa mengangkat kepalanya dari bahu kecil itu. Matanya berkilat geli dengan sebuah senyum terpatri di bibirnya. "Kenapa? Lihat mereka? Bahkan mereka tidak malu menggesekkan pyranya ke lengan temanku."
"Aku bukan mereka, om!" elak Zara yang tak ingin disamakan dengan kedua wanita itu.
"Ya, kamu harus seperti mereka!"
"Tapi hanya kepadaku! Ingat itu!" ucapnya penuh peringatan. Suaranya begitu dalam dengan makna penuh kepemilikan.
Lalu tak lama kemudian, Tama mencondongkan tubuhnya, mengecup manisnya bibir Zara yang menggodanya sejak pertama kali melihatnya.
Tama seketika kehilangan kesadarannya. Pupilnya mengecil dengan sorot sayu dan mendamba.
Zara semakin menciut kala tubuh besar Tama menghimpitnya. Ia tak siap, apalagi disaat Tama mendesaknya dan membungkam mulutnya dengan sebuah cian panas.
"Ehmm, s-sesakhh..." ucap Zara tertaha. Air matanya kembali meluncur. Ia ingin berontak, namun Tama mencengkramnya begitu kuat, memberikan setuhan bibir yang panas, melemaskan seluruh saraf Zara seketika.
Setelah Zara hampir kehabisan nafas, Tama melepaskannya dan menatap Zara dengan tatapan tajam dan sarat akan hasrat yang ditahannya. "Zara... Aku terbakar... Kamu membuatku terbakar, sialan!" ucapnya sebelum kembali membawa Zara ke dalam cium*n panasnya.
"Om, jangan... Om mabuk..." cicit Zara saat Tama melepaskan mulutnya dan berangsur ke bawah, menyentuhnya semakin berani.
Tama menatap Zara yang terengah. Menatap tulang selangka yang terlihat begitu sexy dan seolah mengundangnya untuk memberi tanda. "Ya, aku mabuk karenamu." ujar Tama dengan nafas memburu sebelum kembali melanjutkan kegiatannya.
Juan yang sedari tadi memperhatikan, menatap Tama dengan pandangan yang sulit diartikan. Temannya sekaligus atasannya itu nampak berbeda malam ini. Tidak ada Utama yang tenang, dingin, kaku, dan terkendali. Tama malam ini terlihat lebih panas dan liar dari yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Cepat cari kamar, dude." ujarnya memberi saran yang terdengar samar oleh Tama yang dilanda hasrat.