"Aku, sebenarnya." Tanganku meremas tissue yang ada di dalam genggaman, untuk menetralkan perasaanku, yang masih dengan keadaan gelisah, saat Kania mendesak.
"Apa ...?" Dia malah lebih penasaran lagi, dan menekanku, hingga aku terpaksa buka mulut.
"Tapi, jangan bilang siapa-siapa ya! Kamu harus janji!" pintaku dengan wajah memelas. Kania memang tak bisa di bohongi.
"Ok!" Dia menjentikkan jari kelingkingnya.
"Ya udah, aku jujur." Aku menyambut jari kelingking dia, dan saling mengaitkan, mengisyaratkan bahwa dia sungguh-sungguh berjanji padaku. Kami saling melepas jari, dan meletakan kedua tangan di meja.
"Ayo, ngomong!" desaknya seraya menatapku dalam.
"Aku, me
Untung saja aku tak menyebut nama Mas Arkan, jika saja aku menyebut nama itu, Mas Anton pasti akan curiga padaku. "Mas, kamu kok pulang gak bilang-bilang sih? Katanya besok malam Mas baru kembali. Emang pekerjaanmu sudah selesai?" tanyaku dengan perasaan gugup karena bibir ini nyaris, menyebut nama Mas Arkan saat tadi aku memeluknya. Ku kira yang menungguku di dalam kamar ini adalah orang yang sedang kudambakan, sengaja dia pulang duluan untuk membuat kejutan ulang tahunku. Menurut spekulasiku. Namun ternyata yang berada di dalam kamar, adalah Mas Anton suamiku. Lelaki bertubuh tinggi. Namun, tubuhnya tak se-kekar tubuh kekasihku. Dia melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, dan memutar tubuh, menghadap ke arahku.
"Eh, gak apa-apa, Mas. Aku cuma terkejut, kukira Mas gak akan pulang malam ini, di hari ulang tahunku, makanya aku pergi sama Kania, sambil merayakan hari kelahiranku," "Mas sengaja memberi kejutan untukmu, sayang." Mas Anton tersenyum genit menggodaku, aku tak tergoda dan terpesona sama sekali. Ia mengapit daguku, dan menengadahkan wajah ke arahnya, hingga wajah kami tak berjarak. "Bentar Mas!" Aku menepiskan wajah, ketika bibirnya hampir mendarat di bibirku. "Kenapa?" tanya Mas Anton dengan tatapan penuh tanya. "Lampunya, mati-kan dulu!" pintaku tanpa menatapnya. Wajah. Kutundukkan, dengan hati agak sedikit gusar, takut Mas Anton melihat tanda merah di
Pikiranku menerawang kemana-mana untuk mencari alasan yang tepat. "Ini, gatal Mas, cuma alergi," sanggahku, sembari mengusap bagian dadaku yang merah. Semoga saja Mas Anton percaya, dan tak banyak bertanya. "Eum, kayaknya sih iya. Emang kamu tadi makan apa, pas makan malam bareng temanmu itu?" tanya Mas Anton menatap bercak merah di dadaku. Di leher masih tersamarkan karena efek olesan krim. "Seafood, Mas, aku gak sengaja makan itu," jawabku berbohong. "Oh, makanya kalau punya alergi seafood, jangan di makan dong! Udah tahu alergi, masih aja di makan, jadi kaya gini kan, gatal-gatal," "Yang namanya disuguhi orang Mas, gak enak hati kalau gak di makan, n
POV Arkan. Sengaja aku meninggalkan Intan bersama temannya, dengan beralasan ada keperluan lain, padahal aku tak nyaman sama sekali dengan kedatangan perempuan bernama Kania itu. Aku tak suka dengan cara dia memandang kami, dia seperti menaruh curiga padaku, dan Intan. Meski kenyataannya aku dan Intan memiliki hubungan, tapi tak seharusnya dia, menatapku dengan tatapan mengintimidasi, seakan-akan aku ini Pria tukang selingkuh. Aku memang selingkuh dengan Intan, tapi baru kali ini aku melakukannya, karena desakan dari dalam hatiku yang sangat mencintai dan menginginkan Intan. Aku tak pernah melakukan hal ini sebelumnya dengan wanita lain. Tiga tahun aku berumah tangga bersama Novi, aku selalu setia padanya, Namun, jiwa liarku yang meronta saat berada di
POV Intan. "Matikan, lampunya Mas!" bisikku, mendongak menatap wajah Mas Arkan, yang juga tegang. "Iya," lirihnya, seraya mematikan lampu yang tak jauh dari pintu kamar ini. Suara derap langkah kaki semakin mendekat ke arah pintu kamar pembantu tempat di mana aku dan Mas Arkan berada, dia mendekap erat tubuhku yang gemetar, perasaanku kian kacau, saat handle diputar. Dadaku bergemuruh karena khawatir, jika perbuatan kami ketahuan oleh kak Novi, ataupun Mas Anton. "Mas ...," ucapku, aku benar-benar gusar kali ini, kuremas genggaman Mas Arkan. "Tenang sayang! Gak apa-apa," bisiknya. Dia mencoba menenangkanku, agar aku tidak ketakutan. Ketukan pintu dari lu
Ia menoleh, dan memandangku dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah mencari sesuatu yang kusembunyikan darinya. Tuhan … bagaimana ini, aku takut kak Novi mencurigaiku, tolong aku! Aku memang tak pantas menyebut nama Tuhan, tapi hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati, saat ini. Kutarik napas dalam-dalam, seraya meremas tali kimono yang kupakai, untuk menetralkan debar jantungku. Kak Novi bangkit dan berjalan mengitariku yang berdiri mematung, sorot matanya tajam membuat tubuhku serasa menciut dengan tatapannya yang seperti itu. Meskipun gelap ia masih bisa melihatku, dari temaram cahaya lampu teras dapur. "A-aku cari makan Kak, hehe," jawabku seraya tersenyum kaku. Aku masih berdiri mematung, kaki ini seakan terkunci di tempat, tak bisa di gerakan karena gugup.
Hatiku menggelenyar perih, saat Mas Arkan dan Kak Novi begitu dekat, bermesraan di hadapanku, kupincingkan mata, seraya mengatur nafas, menahan sesak di dalam dada, aku tak tahan melihat pemandangan yang menyakitkan ini. Padahal beberapa saat yang lalu, Mas Arkan dan aku saling menyatukan hati dan jiwa, dengan penuh cinta. Tapi, kini aku melihat dia mencium istrinya, bertapa sakitnya hatiku, sakit, perih bukan kepalang. Ya Tuhan ... begini rasanya melihat Pria yang kucintai dekat dengan wanita lain, meskipun dia istrinya, hati ini begitu remuk, dan benar-benar terasa hancur, melihat pemandangan yang membuat pedih mata. "Mas, lain kali, kalau mau pergi tuh, ngomong! Biar aku gak nyari'in kamu!" ucap Kak Novi menatap wajah Mas Arkan, kedua tangan mereka sa
Aku bergeming sambil menggigit bibir, kedua bola mataku bergulir mencari alasan yang masuk akal. "Eung ... iya, aku ingat Mas, tadi aku nemu parfum, di meja ruang tengah. Eh, pas aku cium wanginya enak banget, ya ... aku coba sedikit. Terus aku ketemu Mas Arkan, katanya itu punya dia, ketinggalan," ucapku setenang mungkin. Moga saja Mas Anton percaya apa yang aku ucapkan. "Oh ... Kamu suka?" Mas Anton merengkuh pundakku, sembari mengusap-ngusap bahuku. "Suka Mas, wanginya maskulin banget, nanti, aku belikan buat kamu ya, Mas. Untuk membangkitkan gairah," ujarku sambil bersikap manja, aku melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. "Kamu." Mas Anton terkekeh seraya menatapku. "Sayang. Mas masih kangen sama kamu, apa kamu mau, melanjutkan yang tadi, melepas kerinduan yan