"Mas," panggilku seraya mengguncang bahunya pelan, kulihat ponsel miliknya yang ada di atas nakas bergetar, mungkin dari kak Novi.
Aku bangkit dan mencondongkan tubuh melintasi Mas Arkan, tanganku menggapai benda pipih tersebut yang tak berhenti bunyi.
"Benar, dari kak Novi. Untuk apa dia nelpon lagi? Ganggu aja! Bukannya dia sudah mengabari Mas Arkan, dia gak bisa pulang sekarang," gerutuku. Kemudian membuka laci dan kumasukkan benda itu ke dalam. Agar tak mengganggu tidur Mas Arkan, yang terlihat begitu lelah kehabisan tenaga, setelah menghabiskan waktu beberapa jam bersamaku, memuaskan aku hingga terkapar.
"Mas, andaikan saja kita ini suami istri, takkan pernah ada rasa bersalah di hati ini, karena telah melakukan dosa besar, pada pasangan kita," ucapku sambil berbaring menghadapnya satu tangan dilipat di bawa
Ku tarik nafas lalu memilin bibir seraya menundukkan wajah, lalu memejamkan mata, enggan rasanya untuk mengungkapkan semuanya pada Mas Arkan tentang masa laluku. "Kenapa?" Mas Arkan merangkul pundakku, sambil menatapku dalam. Aku hanya menggeleng, "Ya sudah, kalau kamu gak mau cerita, Mas gak akan tanya, dan juga gak akan maksa!" lanjut Mas Arkan mengusap rambutku lembut. "Iya," jawabku dengan suara rendah, bukannya aku tak ingin menceritakan kehidupanku dahulu, tapi, Mas Arkan juga sedikit tahu tentang sikap Mama Sofia terhadapku. Apalagi jika ada Mas Arkan, di antara kami, Mama selalu ingin menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku di depan semua orang, bahkan memojokkan aku. Entah kenapa sebabnya, aku pun tak tahu. Masih ingat dulu, sewaktu Kak Novi baru resmi m
Berbeda dengan kak Novi, yang terus saja berada di dalam kamar, bersolek diri untuk calon suaminya. Malam Minggu di rumahku katanya ada acara makan malam dengan keluarga rekan bisnis papa dan akan mempertemukan kak Novi dengan seorang pria, bernama Arkan. Malamnya aku sudah siap untuk pergi bersama teman-teman, tak ingin ikut campur dalam acara keluarga, perjodohan kak Novi. Yang nantinya akan memicu masalah karena kehadiranku. Aku lebih memilih pergi ke acara party ulang tahun sahabatku Kania, dan akan dijemput oleh Diandra. Aku sudah berpakaian rapi dengan mini dress warna putih, rambutku yang panjang dan agak sedikit pirang, kubiarkan terurai hanya jepitan rambut warna silver kusematkan. Aku berdiri di depan cermin menatap pantulan wajahku yang memang cantik dari
"Maafkan aku kak, aku sudah mengkhianatimu. Berselingkuh dengan suamimu, tapi, sungguh aku mencintai dia. Seumur hidupku, baru kali ini merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan," ucapku seraya menyeka air mata. Aku masih berbaring di tempat tidur, kamar hotel, menunggu Mas Arkan yang sedang membersihkan badannya. Jika bukan karena kak Novi, entah bagaimana dengan diriku. Ingatan itu membuat luka lama yang membekas, kembali terasa perih. Sedari kecil aku selalu dibedakan dengan kak Novi oleh semua orang di keluarga Bramantyo. Pernah di suatu pagi saat semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan dan hendak memulai acara sarapan pagi. "Sayang, makan yang banyak ya!" ucap Mama Sofia, seraya menyendok nasi beserta lauk pauk ke piring kak Novi, lalu Mama menyodorkannya ke hadapan kak Novi, diiringi
Kak Novi menghabiskan makannya, dia dipuji dan disanjung oleh Nenek, Tante Om juga Mama dengan senyuman bahagia dari bibir mereka yang merekah. "Anak pintar," ucap Nenek memuji kak Novi sambil menatapnya penuh cinta. Sedangkan aku yang makan sendiri dan tak pernah di layani apalagi di suapi, aku mengambil nasi dan lauk pauk sendiri, makan sendiri tak pernah ada yang menyuapi, aku menghabiskan makanan banyak, di bilangnya. "DASAR. ANAK RAKUS!" Tak ada yang melirikku di tengah keluarga itu. Ditambah Papa sering pergi keluar kota untuk urusan pekerjaannya, aku merasa sendiri dan kesepian, hanya suster yang selalu menemaniku, terkadang Kak Novi menghibur kesedihanku, mencuri waktu dari pantauan Mama. Mama t
"Mah, tolong berikan kado istimewa untuk Intan, Papa yang akan membelikannya, Mama hanya perantara agar Intan tak merasa dibedakan!" mohon Papa dengan suara lirih. "Ouh ... itu tidak mungkin terjadi, daripada kamu memberikan kado istimewa untuk anakmu itu, lebih baik uangnya dipakai untukku ke salon!" cibir Mama. "Mah, Papa ingin, Mama bersikap manis, sedikit saja! sebagai kado ulang tahun Intan, yang ke tujuh belas! Jika Mama tidak sudi menyampaikan kado dari papa!" "Aku gak mau, menuruti permintaan gila Papa! aku gak sudi menyayangi Intan, dan aku tak mau menerima dia, sampai kapan pun!" Pintu pun terbuka tanpa aku sadari, Papa berdiri di belakangku. "Intan, kamu ...," panggil Papa dengan nada panik.
Tangan Mas Arkan menggapai kemana-mana, jemarinya yang lincah terus menyusuri setiap lekuk. Suhu tubuhku kini naik drastis begitu panas, itulah yang aku rasakan saat permukaan kulitku dan Mas Arkan saling bersentuhan, dan saling menyatukan. "Mas." Aku menahan nafas, seraya melengkungkan badan ke belakang. Mas Arkan mengecup leherku yang mungkin akan meninggalkan jejak merah di sana. "Mas, jangan sampai berbekas! Nanti Mas Anton akan bertanya padaku," lanjutku, kedua tanganku mencengkram rambutnya, mengangkat kepala Mas Arkan agar melepaskan leherku. Mas Arkan melepas kecupannya, "Biarkan saja!" jawabnya dengan suara rendah. "Jangan Mas! Nanti malah berbahaya untuk hubungan kita, aku gak mau sampai ada yang tahu," tolakku mendorong tubuhnya.
"Sudah selesai belum?" tanya Mas Arkan padaku yang masih bersolek di depan cermin. "Sebentar lagi, Mas," jawabku sambil mengoles lipstik warna nude. "Kamu sudah cantik, malah lebih cantik dari biasanya," puji Mas Arkan yang terus memandangku seakan tak berkedip. "Ni, dah beres," ujarku bangkit, dan duduk di atas tempat tidur. "Cantik," gumamnya dengan senyuman termanis. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu memujiku," ucapku balas tersenyum, "Yuk, Mas!" ajakku pada Mas Arkan, yang sedang melipat lengan bajunya, dia berdiri di dekat ranjang yang aku duduki. Malam ini kukenakan chif
"Intan ... gimana kabarmu?" tanya Kania ramah, perempuan bertubuh mungil dengan balutan dress tunik, dia temanku sejak SMP. Kami saling berjabat tangan dengan senyuman yang mengembang, di masing-masing bibir kami, lalu disusul cipika-cipiki. "Baik," jawabku singkat, "Lalu, kamu sendiri bagaimana?" Aku balik bertanya. "Baik dong, Tan, kamu gak nyuruh aku duduk gitu?!" ucap Kania. "Iya, silahkan duduk! aku sampai lupa, hehe, Maaf ya! Saking senengnya, aku ketemu kamu di sini," ucapku. Masih dengan sikap agak kaku karena canggung. Canggung karena khawatir, takutnya, dia sempat melihat kejadian tadi sewaktu aku dengan Mas Arkan seperti halnya sepasang kekasih yang sedang dinner.