"Intan, tunggu!" seru kak Novi lagi, aku tak memperdulikannya yang terus memanggilku.
Sebelum Kak Novi mendekat ke arahku, lebih baik aku segera menghindarinya, dari pada dia melihat jelas baju yang kukenakan sekarang, adalah miliknya, yang nantinya akan menimbulkan masalah baru bagiku. Kupijakan kaki ke setiap anak tangga setengah berlari menuju kamarku yang berada di lantai dua.
Meski di kedua pangkal pahaku masih terasa sakit, akibat ulah Mas Arkan. Namun, aku tak menghiraukannya, dalam benakku hanya ingin segera sampai ke kamar dan mengganti pakaian. Baru aku menemui Kakakku.
Sampai di kamar gegas aku mengunci kembali pintu, kulepas bathrobe milik kak Novi dengan cepat, dan mengganti pakaian dengan piyama kimono warna putih motif bunga sakura. Untuk menyamarkan pakaian yang tadi melekat di tubuhku, puncak dadaku juga masih terasa perih, terutama di bagian area sensitif.
"Mas Arkan, kamu benar-benar membuatku tersiksa," gerutuku kesal, sambil
Mas Anton pun berlalu menuju kamar mandi. Kutatap ia sampai masuk dan hilang di balik pintu. "Ya Tuhan ... aku harus bagaimana ini?" gumamku menengadahkan wajah, duduk di tepian ranjang menjuntai kaki, dengan kedua tangan menumpu di sisi tubuh, lalu kuusap wajah seraya menarik nafas dalam-dalam, untuk menetralkan perasaan yang kian gusar. Tapi, apa aku masih pantas menyebut nama Tuhan, sedangkan tubuhku ini begitu kotor dan berlumuran dosa. Aku sadar bahwa aku ini wanita pendosa, penghianat, tapi kali ini aku benar-benar cemas, karena Mas Anton mengajakku melakukan hubungan suami istri. Kuacak rambutku dengan kasar. Aku takut dia merasakan ada sesuatu yang berbeda, di sana ketika menyatukan tubuhnya dengan tubuhku, karena aksi Mas Arkan begitu beringas saat tadi. Hingga meninggalkan bekas luka dan rasa perih. Ya. Aku baru ingat ponselku masih ada di meja depan sofa ruang tengah, lebih baik aku turun dan mengambil ponsel, sekalian pergi men
Beberapa pernyata'an kak Novi membuat ku jengah, duduk di sofa yang sangat empuk tak membuat ku merasa nyaman sedikit pun, ku menggeser bokong mencari posisi duduk yang enak. Kenapa kak Novi sampai membahas tentang sprei segala. Hah ... Apa dia sengaja memancingku, dan ingin tau bagaimana reaksiku, setelah mendengar ucapan kak Novi, tentang rencananya mencarikan wanita untuk jadi istri kedua Mas Arkan, agar mereka memiliki keturunan, jelas dada ku begitu nyeri. Namun, aku tak boleh terpancing, dan menunjukkan ekspresi wajah ku, meski saat ini sedang di landa kegusaran, ku remas jemari tangan untuk menghilangkan kegelisahan hati ku. Seraya menarik nafas pelan dan berusaha menetralkan perasa'an. "Mungkin saja, sprei nya di ganti sama Mas Arkan, dia ingin merasa lebih nyaman kali, makanya dia mengganti dengan yang baru," ujarku. Meski bohong tapi aku harus tetap tenang agar kak Novi percaya, dan tak menaruh curiga. "Iya k
"Gak apa-apa, sayang. Mas cuma." Mas Anton merangkulku merapatkan tubuhnya yang polos padaku. "Eum, anu Mas." Aku memalingkan wajah darinya yang hendak menciumku, dan mengambil jarak. Kugigit bibir menahan kegusaran hati. "Kenapa sayang, kok kelihatannya, gelisah gitu?" tanya Mas Anton menyunggingkan senyuman manis. "Gak, gak apa-apa Mas, aku cuma, cuma ingin ke kamar mandi," ujarku mencari alasan."Nanti saja ke kamar mandinya! Mas kangen kamu." Tangan jahilnya mencolek hidung, menggodaku. Aku tersipu balas melempar senyuman, pada Mas Anton, lalu menundukkan wajah. "Tapi, aku pengennya sekarang, gak tahan," jawabku lirih, sambil menjepit kedua telapak tangan merapatkan kaki. "Gak tahan, pengen Mas belai, kan?" ujarnya sembari menaikan alis. Mas Anton menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dan mendekapku kembali. "Bukan, itu Mas," "Tak usah sungkan sayang, kalau pengen tinggal ngomong aja!" balasnya
Mas Anton terdengar begitu gelisah, dari gerak tubuhnya, yang grasak-grusuk tak mau diam, membuat kenyamananku sedikit terganggu. Dia tidur membelakangiku, dan kembali menghadap ke arahku. Meskipun mata terpejam. Namun, aku bisa merasakannya, dari kasur yang melesak, dan suara krasak-krusuk, kubuka mataku sedikit mengintip dia, wajahnya memberengut saat menatapku, gegas aku memejamkan mata kembali pura-pura tidur. Ia melipat tangannya di bawah kepala, satu tangan kanannya menggapai bahuku, dan menarik tubuhku ke dalam dekapannya. "Mas, Mau," bisiknya pelan. Kubuka mata dan sedikit dengan terpaksa, seraya menggerakkan tubuh, wajahnya terlihat melas membuat aku tak tega. Detak jantungnya tak beraturan, yang kurasakan karena dadaku dan dada bidangnya menempel, deru nafas Mas Anton pun memburu, tatkala sedang dilanda hasrat liarnya. "Ini, sudah malam Mas, kita tidur yuk! Aku gak kuat, lelah," ujarku pada Mas Anton dengan lembut.
Aku ingin sekali mendengar percakapan Kak Novi dan Mas Anton dengan jelas, hanya terdengar samar-samar karena suara mereka begitu pelan, ku menggeser kan tubuh lebih mendekat ke arah mereka, berjalan maju dengan cara berjongkok.Dan berhenti di bawah kolong meja makan, lalu duduk menekuk lutut meleseh di lantai, untuk menguping, meski ini perbuatan tak terpuji. Namun, jiwa ingin tahuku, yang terus mendorong ku, hingga aku tak tahan ingin mendengarnya.Ku pincingkan mata untuk melihat kak Novi dan Mas Anton mereka nampak serius, dari ucapannya, walaupun tak terlihat jelas. Tapi, dari gestur tubuh mereka yang nampak tenang, berdiri berdampingan menyenderkan pinggangnya di meja kabinet dapur, ku benahi posisi duduk agar merasa nyaman dan tak menimbulkan suara, meski seribu tanya berputar di dalam benakku. Bertanya-tanya apa yang kak Novi lakukan dan Mas Anton, di jam pertengahan malam seperti ini."Iya Nov, aku juga merasakan hal yang sama?" uca
"Eum … ini kak, aku gak sengaja tersandung meja," jawabku canggung,sembari menyelipkan anak rambut di balik telinga. "Kok bisa? Ini meja gede, loh, masa maen tabrak aja." Kak Novi mengingatkan. "Aku haus kak, saking pingin minum, jadi berlari terburu-buru," sangkal ku, masih berdiri terpaku di depan kak Novi, meskipun aku mendengar semua rencana kak Novi dan Mas Anton, juga tentang kecurigaan dia, terhadap hubunganku dan Mas Arkan. Tapi, aku harus bersikap tak tahu menahu tentang percakapan mereka. "Terus. Kakak juga lagi pada ngapain di sini, sama suamiku?" tanyaku seraya menoleh ke arah Mas Anton yang berjalan ke arahku. "Membicarakan soal pekerjaan, tak lebih," kilahnya. "Iya kan, Ton." Kak Novi melirik sekilas pada Mas Anton. "Iya, sayang, yang dikatakan kakakmu itu benar. Tapi, kaki kamu gak kenapa-kenapa kan?" ucap Mas Anton mendekatiku. Tangannya terulur merengkuh pundakku. Aku pun menoleh menatap wajahnya yang tampan. Namun,
"Mas, berangkat ya sayang," ucap Mas Arkan seraya mencium lalu mengusap puncak kepala kak Novi. "Iya Mas, hati-hati." Kak Novi mendongak menatap wajahnya, "Mau, berangkat duluan Mas, kok, gak bareng Intan, sih," lanjut perempuan berkemeja biru navy lengan pendek, dipadukan dengan celana jeans. "Mas, tunggu Intan di mobil, sekalian manasin mesin," jawabnya datar. Pria tampan berpenampilan formal, berwajah kharismatik. Wajah yang selalu memenuhi ruang kepalaku, senyumnya yang manis selalu menghiasi wajah tampannya yang sempurna. Namun, hari ini aku tak melihat senyum itu. Kugigit bibir seraya menarik nafas pelan, untuk menahan rasa perih di batin ini, dinginnya sikap Mas Arkan bagaikan sebongkah es, membekukan hatiku. Mulai hari ini aku takkan pernah mengingatnya kembali, aku akan melupakan dan menghapus semua ingatan saat bersamanya. Memang, terlalu sulit untuk dilupakan, terlalu indah kenangan itu, dan terasa amat sulit untuk menyingkirkan semua tenta
"Sekarang, ikut Mas!" pintanya, memaksaku untuk berangkat kerja bareng dia. "Mas lepaskan tanganku! Nanti ada kak Novi," sergahku menginginkan. Aku memutar tangan yang ada dalam cekalannya. "Novi di dalam rumah, dia takkan melihat kita," ujarnya pelan dengan nada menekan. "Nanti di lihat tetangga Mas! gak enak," "Ya sudah, sekarang juga kita masuk ke dalam mobil!" "Gak! Aku mau naik ojek," jawabku ketus, seraya menyilangkan tangan di dada. Mas Arkan mendesah kesal, atas penolakanku. Dia menyisirkan jari ke rambutnya yang hitam. Namun, satu tangannya tak mau melepaskanku. "Mas, itu siapa?" Aku mengalihkan perhatiannya, Mas Arkan lengah menoleh ke arah yang aku tunjuk, padahal tak ada apapun di sana. Gegas aku menarik tanganku dari genggamannya. Aku pun berlari menjauhinya. "Intan, tunggu!" Mas Arkan mengejarku. "Bye." Aku melambaikan tangan, sambil tersenyum mengejek. Dari arah kanan ada seorang pen