"Intan, aku tak habis pikir, kukira kau sudah berubah dengan kejadian kemarin. Tapi, nyatanya tidak. Tidak sama sekali," ucap kak Novi lirih seraya memejamkan matanya, ia terduduk meleseh di lantai. Bahkan sekarang kak Novi enggan menyebutkan kata kakak, untuk kusebut, melainkan 'Aku, Kamu,' yang terucap dari bibirnya, tak seperti hari-hari yang lalu.
"Kak, maafkan aku, tadi aku hanya asal bicara, tak bermaksud menyakiti perasaanmu lagi. Aku sayang sama kamu, kak," ungkapku seraya mendekatinya.
"Sudah cukup Intan, sekarang juga kamu pergi dari hadapanku! Aku sudah muak dengan semua sandiwaramu, selama ini kau dan suamiku pura-pura baik, di hadapanku, padahal nyatanya. Kau main belakang.
Apalagi sekarang setelah semuanya terungkap, dan kalian sudah terbebas dari kami, pasti kalian lebih leluasa lagi untuk saling memuaskan. Kuakui aku ini banyak kekurangannya, dari segi kecantikan, aku jauh lebih dibawah kamu, aku perempuan jelek. Dan tak sempurna, tidak sepert
Mas Anton tak menggubris panggilan dari Mas Arkan, dia keluar gerbang dan melajukan kendaraannya menuju rumah sakit. "Mas, aku ikut," pintaku sembari mengejar mobil Mas Anton. "Tidak usah! Kau. Perempuan tak punya hati!" umpat Mas Anton sambil melaju. Aku menghentikan langkahku setelah mendengar penolakan darinya, dan berdiri di jalan konblok menuju pintu gerbang, hanya bisa memandangi kepergian Mas Anton, karena dia melarangku untuk ikut menemani kakakku sendiri. Mungkin dia menyangka bahwa akulah, yang sudah membuat kakakku seperti itu. Sungguh tak pernah terbesit sama sekali di dalam benakku untuk menyakiti kak Novi, aku hanya bisa menarik napas panjang mengingat Mas Anton yang begitu benci padaku, dan menyalahkanku. "Maafkan aku, Kak. Aku tak bisa menemanimu," gumamku menatap mobil Mas Anton yang hilang di balik gerbang. Mas Arkan menggelengkan kepalanya melihat sikap Mas Anton yang tak sama sekali mempedulikan aku, dan malah menga
"Mas, sebenarnya aku mau di bawa kemana, sih?" tanyaku cepat, seraya mengguncang tangannya. Pria berpakaian formal ini malah tersenyum tanpa menatapku dan terus fokus mengemudi. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini? yang pastinya aku khawatir dan takut padanya, dari gerak geriknya yang sangat mencurigakan. "Sudah Mas katakan sejak tadi, kita istirahat sebentar, nanti baru menjenguk Novi," ujarnya santai. Aku yang merasa dibohongi olehnya, dengan cepat membuka sabuk pengaman, dan menarik tuas pintu mobil, "Sial!" umpatku, sambil memukul kaca jendela mobil yang terkunci. "Kamu kenapa sih, Tan, takut amat sama kekasihmu ini? Mas gak bakalan nyakitin kamu, apalagi sampai berbuat sesuatu yang tidak kamu inginkan," ujarnya masih dengan sikapnya yang tak dapat ku tebak. "Mas, turunkan aku sekarang juga! Aku mau ke rumah sakit," pintaku sedikit emosi. "Hm." Dia hanya mengangkat kedua bahunya menanggapi ucapanku. Rasanya aku
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul dua belas tepat waktu setempat. Lima belas menit aku duduk di ruangan berdua dengan Mas Arkan, tanpa bicara apapun, hanya diam membisu, dia malah tidur pulas di ranjang kamar hotel ini. Aku pun menyisir rambut dengan sisir kecil yang selalu tersedia di dalam tas selempang, dan mengikatnya dengan tali warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan, suasana di kamar ini membuatku merasa gerah meski dengan pendingin ruangan, karena tak jelas rasanya duduk sambil menunggui orang tidur. Aku pun bangkit seraya merapikan penampilanku yang agak kusut hendak meninggalkan Mas Arkan. "Kamu mau kemana, Intan?" Suara Mas Arkan mengagetkanku. Kukira dia benar-benar tertidur, ternyata hanya merem saja. Aku terkesiap dan menoleh ke arahnya, "Ya aku mau pulang," jawabku datar. Ia bangkit dan berjalan menuju aku yang berdiri di dekat sofa, "Untuk apa, pulang? Makan dulu! Nanti Mas akan mengantarmu, jangan terburu-buru kit
"Mas, kamu tega! Di saat istrimu sedang dalam keadaan sakit, dan aku juga belum sepenuhnya pulih, kamu melakukan itu di saat aku sedang tak sadarkan diri," gurutuku kesal pada Mas Arkan. Ia menarik napas seraya mengacak rambutnya kasar, "Mas terpaksa Intan, tak kuat menahan gejolak di hati ini, menahan rasa rindu ini padamu membuat batin Mas tersiksa. Lagi pula, Novi sudah bukan istri Mas, lagi," ujar Mas Arkan, kedua tangannya terulur hendak menggapai bahuku. Dengan segera aku menghindarinya, tak ingin lagi disentuh olehnya. "Tidak bisa begitu, Mas! Kak Novi masih berstatus istrimu, secara negara. Meskipun secara agama kalian sudah bercerai, dan kau juga masih punya tanggung jawab terhadapnya. Jika memang Mas Arkan sudah tak kuat, dan ingin menyalurkan hasrat gilamu. Cari saja perempuan lain! Perempuan bayaran, Mas bisa memilih perempuan manapun yang cantik, yang kau suka!" ucapku menahan rasa sesak di dada, aku melangkah mundur kebelakang, ada r
"Arkan, kamu kemana saja? Dari tadi ibu menelponmu, ponsel kamu juga malah tidak aktif seharian. Tidak kah kamu mengkhawatirkan, Novi?" tanya Bu Aini menatap kami dengan tatapan menyelidik. Hatiku benar-benar merasa tidak enak pada Bu Aini karena aku datang terlambat dia yang lebih dahulu menunggui kak Novi. Sementara aku malah pergi dengan Mas Arkan hingga petang. "Umm." Mas Arkan menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Itu Bu, aku ada urusan penting," jawab Mas Arkan gugup. "Iya Bu, kami ada kerjasama lagi, makanya datang terlambat," kilahku memberikan penuturan palsu pada ibunya Mas Arkan. Semoga saja Bu Aini dan Kak Novi tak mencurigai kami. "Iya Bu, betul kata Intan," ujar Mas Arkan membenarkan ucapanku, kak Novi yang melihat keterangan Mas Arkan dia mencebik bibirnya. "Sudah Bu! Aku juga tak peduli pada mereka, mau pergi kemana pun, mungkin saja mereka mampir dulu ke hotel, saling mencurahkan kerinduannya," timpal kak Novi ketus, aku yang m
"Kak, aku paham bagaimana perasaanmu, dan bagaimana sakitnya hati kakak karena aku. Tapi setidaknya berikan sedikit kesempatan padaku! Untuk merubah diri menjadi manusia yang lebih baik, dan sedikit berguna untukmu, kak," ucapku memelas, kedua tanganku terulur dan menggapai tangan kak Novi meskipun dengan perasaan ragu. Lagi-lagi kak Novi menolak kupegang, ia gegas menarik tangannya dan meletakkannya di bawah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. "Sudahlah, Intan. Anggap aku ini sudah mati! Tak usah kau pedulikan, aku lagi," sahut kak Novi seraya membuang mukanya dari tatapanku. "Kak ... jangan bicara seperti itu! Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Kakak, di dunia ini. Jika kau sudah tak mau menganggapku sebagai adik lagi, tapi aku mohon ampuni aku, jangan bersikap seperti ini!" "Aku sudah memaafkan, dan sudah mengampunimu. Lagipula tidak baik menyimpan dendam dan amarah terlalu lama, itu akan menimbulkan penyakit di hati ini. Asal kau tahu, aku
Setelah keluar dari gedung kantor urusan agama, dan akhirnya selesai sudah sidang perceraianku dengan Mas Anton, dan kini aku sudah resmi menjadi janda. Ku Berdiri di tepi jalan sambil menunggu taksi. Dari arah belakang terdengar suara deru mobil mendekat, tak kuhiraukan kendaraan itu melintas di sampingku, tak ingin tahu juga siapa pemiliknya. "Mbak, lagi ngapain?" sapaan itu sepertinya untukku. Dengan malas aku menoleh ke arah sumber suara yang memanggilku barusan. Ah, ternyata Linda. Dia tersenyum simpul kepadaku dari dalam mobil Mas Anton, yang berhenti di hadapanku. "Ya, gak lagi ngapa-ngapain, aku lagi nunggu taksi," jawabku dengan enggan untuk membalas senyumannya. "Ikut, bareng kami aja, Mbak! Biar sekalian," tawar perempuan berbusana blus warna pink pastel, seraya membuka pintu mobil dan ia pun keluar. Berbeda dengan raut wajah Mas Anton yang terlihat tak suka padaku, saat Linda menawarkan tumpangan untukku. "Tak usah
"Mas, Arkan ...," ucapku lirih saat aku melihat tangan lelaki itu menggenggam tangan perempuan yang duduk di hadapannya. Tatapan Mas Arkan begitu intens memandang wajah gadis yang sedang bersamanya kini. Dadaku terasa bergemuruh, disertai kedua tangan gemetar, tak percaya dengan apa yang sudah kulihat. "Mas, apa dia kekasihmu?" ucapku bergumam, bibir ini seakan berat untuk bicara. Mas Arkan mengusap pipi perempuan itu dengan jemarinya begitu lembut. "Mas, kamu tega sekali sama aku!" Batinku terus berkata, aku menepis pikiran buruk terhadap Mas Arkan, mungkin saja perempuan yang kini bersama dia adalah saudaranya. Aku tak boleh berprasangka dulu terlalu jauh, sebelum semuanya jelas. Meski pikiranku terus menguatkan hati. Namun, perasaan ini tak bisa dibohongi, semakin ku tepis semakin sakit pula batinku, melihat kedekatan dan kemesraan Mas Arkan dengan perempuan yang tak ku kenal itu. Hati ini seakan tertancap seri