Mataku mengerjap, dan perlahan membukanya, entah ada di mana aku ini sekarang. Saat menatap ke sekeliling hanya ruangan sunyi didominasi warna putih.
"Apa aku sudah berada di alam lain, menyusul Mama dan papa?" gumamku, seraya mengedarkan pandangan. Aku bergeming, dan meraba alas tidur dengan tangan kiri. Namun, seperti ada yang menancap di pembuluh darah.
"Di mana, aku?" gumamku lagi, pada diri sendiri, dan sesaat ada sebuah tangan menyentuh punggung tanganku, 'Hangat,' tangan siapa ini?
"Mah," panggilku seraya menoleh ke arah samping. Sentuhan tangan ini, mengingatkan aku pada seseorang, lembut dan begitu hangat.
"Dasar. Bodoh!" umpatnya, membuatku terkejut, dan menoleh seketika.
"Kakak, kamu sedang apa di sini?" tanyaku heran, kenapa aku bisa berada bersamanya dalam satu ruangan. Aku ingin bangun, tapi, rasanya kepala ini masih sedikit berdenyut.
"Bukannya, kita sudah beda alam, kak? Kok kita bisa bertemu?" tanyaku seperti ora
"Mas Arkan, Mila. Kania, untuk apa mereka datang ke sini?" gunamku sambil menarik tubuh dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Kedua tanganku tertaut memeluk bantal, yang kuambil dari belakang punggung, seraya mengalihkan tatapan ke arah jendela, enggan untuk melihat kedua orang itu. Kutarik napas pelan, melihat wajah Mas Arkan, semakin sakit hati ini, dan semakin dalam luka ini. 'Sudah Intan, lupakan dia!' Batinku terus bermonolog menguatkan hati. Tapi, untuk apa Kania membawa Mas Arkan kesini. Bukannya orang itu mau menikah dengan wanita lain, Dan bukannya dia juga sudah tak mau berurusan lagi denganku, atau kak Novi. Kania berjalan ke arahku dengan menyunggingkan senyuman manis, "Intan, kau sudah pulih rupanya? Kupikir kau sudah tewas," celetuk Kania, membuat wajahku memberengut, hatiku yang kacau semakin kesal. "Untuk apa kamu datang ke sini? Jika ingin mengejekku?" seruku ketus. Kania tak menjawab ia hanya tersenyum. Kedatangan Kani
POV Novi. Sepulang kerja aku langsung duduk di sofa ruang tengah, termenung duduk sendiri, seraya mengistirahatkan badan yang terasa begitu lelah, setelah seharian bekerja. Sepi, sunyi, tak ada suara seseorang pun di rumah ini, hanya suara denting jam dinding mengarah ke jam enam petang. Entah kenapa dari siang aku kepikiran tentang Intan, ada apa sebenarnya dengan dia? Semalam aku juga bermimpi bertemu dengan papa. Beliau berpesan agar aku menjaganya. Untuk apa aku menjaga dia? Sedangkan dia sudah merusak kepercayaan, dan mengkhianati aku dengan kejam. Menghancurkan kebahagiaanku, merebut cinta Mas Arkan dariku. Aku tak tahu kabar tentang dia lagi, sudah hampir dua bulan lamanya, kami tidak pernah bertemu, bahkan hilang kontak. Semenjak terakhir kali ia kesini dan kami bertengkar kembali. Sepanjang hari aku kepikiran tentang mimpiku semalam bertemu papa, yang menyuruhku menjaga Intan. Hingga merusak konsentrasi saat aku bekerja, ada apakah de
POV Novi "Kania, kira-kira ... apa ya? Yang membuat Intan, melakukan hal bodoh seperti ini?" tanyaku masih dengan hati penasaran. Mencoba mengubur rasa sakit hati sejenak, karena orang yang sudah menyakiti hatiku pun sedang lemah dan tak berdaya. "Gak tahu, Mbak. Pas aku sampai di kontrakannya, dia sudah tergeletak di dapur, dengan mulut penuh busa, terus pas aku lihat, di atas meja dekat dispenser, ada gelas kosong. Sepertinya bekas dia minum racun, di campur dengan air. Aku menemukan bungkus kosong di atas meja, samping gelas, tapi aku gak tahu, itu racun apa? Karena kemasannya sudah di buang sama Intan." Ucapan Kania membuat kepalaku berdenyut. Ya Tuhan, kenapa Intan bisa senekat itu? Aku tak habis pikir, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Kuusap kasar wajah serta rambut ini, ingin sekali memaki Intan, rasanya aku ingin menampar dia saat ini juga. Dia begitu lemah dan bodoh, menghadapi hidup. "I
Pukul sembilan pagi, Kania berpamitan pulang sebentar, untuk mengganti pakaiannya, setelah kami menghabiskan sarapan bubur ayam yang dibelikannya tadi.Sepeninggalnya Kania aku duduk di kursi samping tempat tidur Intan, kutatap wajahnya yang tadi pucat seakan tak ada darah yang mengalir di tubuhnya. Tapi, kini kondisinya sudah agak membaik dan bibirnya tak sepucat tadi. Tak kupungkiri rasa cemas sempat menggelayuti pikiranku, karena bagaimanapun juga aku masih sayang pada Intan, meskipun dia sudah berbuat kesalahan yang fatal. "Tan, andai kamu tahu, bagaimana perasaan kakak? Hati kakak begitu terluka, melihat keadaanmu. Sebenarnya apa sih yang bikin kamu begini? Meskipun kamu sudah menyakiti kakak, tapi, kakak gak tega melihatmu tak berdaya dengan kondisi yang memprihatinkan seperti ini," ucapku seraya menggenggam tangannya, menatap khawatir. Air mataku meleleh melihat ia masih terbaring lemas di atas brankar, hingga jam setengah sepuluh pa
POV Intan."Oh, jadi Mas hanya ingin memastikan bahwa aku ini belum mati?!" ucapku dengan tatapan kesal."Hm, ya ... bisa dikatakan begitu." Mas Arkan tersenyum tipis seraya melirikku dengan sudut matanya.Aku begitu jijik melihat wajahnya, wajah yang dulu selalu menyejukkan hati ini, senyum yang dulu selalu ia berikan dengan ketulusan, tapi, kini Mas Arkan sudah berubah drastis, ia berbeda dengan Mas Arkan yang aku kenal dulu.Kania mengusap punggung tanganku agar aku tak terbawa emosi, "Sabar, Tan" lirih Kania menatap mataku dan mengangguk."Gak! Bisa Kan." Ku genggam tangan Kania seraya menunduk. Hati ini sudah terlanjur sakit dengan cara Mas Arkan, aku menegakkan tubuh sekuat tenaga, menatap ia yang berjalan ke arahku."Mas, pergi kamu dari sini! Aku gak mau lihat pria pecundang seperti kamu!" teriakku seraya menahan amarah diiringi isak tangis."Maafkan, Mas ya, Mas sudah menyakitimu." Mas Arkan duduk di tepi ra
POV Novi.Mas Arkan masuk ke ruang rawat Intan. Tak lama Kania pun keluar, wajahnya merengut bibirnya komat Kamit, sepertinya dia sedang menggerutu."Kan, kok keluar? Terus Intan ditinggal berdua sama Mas Arkan?" tanyaku seraya bangkit dari duduk dan menghampiri dia yang juga berjalan ke arahku."Tuh, mantanmu Mbak, ngusir aku seenaknya saja. Gak tau mau ngomong apa kali, sama Intan?" jawab Kania dengan nada kesal."Jangan ngomel-ngomel, kita bicaranya sambil duduk, yuk!" seruku padanya, kami berdua duduk di kursi depan ruangan rawat inap.Ada rasa cemas di hati ini meninggalkan Intan dengan Mas Arkan, bukan karena aku cemburu, tapi, Mas Arkan yang sekarang sangat jauh berbeda, sikapnya padaku dan Intan seperti melihat sampah tak berguna, 'menyepelekan'."Mbak, kok Mas Arkan gak seperti dulu ya,""Maksud kamu?" tanyaku mengernyitkan dahi."Ya, gitu deh. Beda aja, aku khawatir terjadi sesuatu pada Intan, Mas Arkan begitu angkuh,
POV Novi."Kamu kenapa, Intan? Apa yang terjadi sebenarnya, Mas Arkan bicara apa sama kamu?" tanyaku seraya mendekapnya, tanganku terus mengusap punggungnya agar dia sedikit lebih tenang.Ia menangis terisak menyembunyikan wajahnya ke dalam pelukanku, "Kakak, Mas Arkan jahat!" ucapnya lirih.Aku mengangguk, "Iya, dia jahat. Kamu lupakan dia, ya! Kita bersama-sama lalui hidup ini, dengan membuka lembaran baru, kamu mau, kan?" rajukku sambil mengangkat wajahnya dari dekapan, dan menangkup kedua rahang pipinya, menatap ke dalam matanya yang di penuhi genangan bening di sana. Sebagai seorang kakak hatiku ikut terluka melihat dia seperti ini."Kakak, maafkan aku! Aku terlalu bodoh dan egois, sehingga membuat kehidupan keluarga kita hancur berantakan, aku telah mengesampingkan kesetiaan pada suami, dan sudah menabur racun dalam rumah tangga kakak, dan aku sekarang." Intan menjeda ucapannya menyeka air mata seraya menarik napas berat, "Sekarang aku hancur
Setelah aku mengetuk pintu, dan di bukakan oleh seorang wanita paruh baya mengenakan blouse warna putih tulang motif bunga sepatu, di padukan dengan celana legging jeans warna hitam. Rambut hitamnya diGelung simpul, senyumnya merekah saat melihat aku berdiri di depan pintu berhadapan dengannya."Novi … ibu kangen Nak. Ayo masuk!" ucapnya ramah, ia memeluk serta mengusap punggungku."Iya Bu, aku juga kangen sama ibu, makanya aku kesini." Kami saling melepas pelukan, dan berdiri berhadapan dengan tangan saling bertautan."Ibu senang, ternyata kamu mau datang ke rumah ini, dan ibu sangat bahagia bertemu denganmu lagi." Ia merengkuh pundakku mengiringku ke dalam rumah."Bagaimana kabarmu, Nak?" tanyanya lembut."Aku baik-baik saja, Bu. Lalu, ibu sendiri?""Seperti yang kamu lihat. Kemarin sih, ibu sempat masuk rumah sakit, lah ... gara-gara Arkan," ucapnya mendesah pelan, "Yuk, kita ngobrolnya sambil duduk!" lanjutnya saat kami suda