Share

Hari Kelulusan

***

Tidak masalah seberapa besar rumah kita, yang penting bahwa ada cinta di dalamnya. Karena rumah laksana surga. Apalagi di dalamnya dihiasi dengan cinta, tentu saja cinta pada sang ilahi dalam membangunnya. Sejauh kita melangkah pergi kita akan tetap singgah. Karena ....

Rumah adalah tempat kita singgah setelah pergi, sedangkan keluarga adalah tempat kita membangun cinta dan memiliki keduanya adalah berkah.

***

Hari kelulusan pun tiba. Saat ini Arni merayakan wisuda kelulusannya. Madrasah Tsanawiyah tempatnya belajar selama tiga tahun ini mengadakan haflah akhirussanah seperti tahun-tahun yang lalu. Dengan balutan kebaya ala remaja milenial ia turut berpose bersama teman-teman sebayanya. Mengabadikan moment perpisahan mereka. 

Saat ini Arni tampil cantik, remaja manis itu menggunakan kebaya putih gading. 

Setelah berfoto untuk kenang-kenangan bersama teman-temannya. Arni segera bersiap untuk pulang. Karena acara pun sudah selesai, masih banyak tugas yang harus ia kerjakan di rumah untuk membantu ibunya.

"Gimana, Ni. Apa kamu jadi lanjutin ke  pesantren?" tanya Likhah. 

"Iya, Kha. Insyaallah jadi."

"Hei, Ni. Besok ambil formulirnya bareng aku ya!" ajak Halimah. 

"Iya, Ma. Insyaallah besok aku ke rumahmu ya."

"Oke siap aku tunggu! Untuk pondoknya kamu berangkat kapan, Ni?"

"Belum tau, Ma. Mungkin nunggu bapak dan ibu aja, emang kamu berangkat kapan,  Ma?"

"Mungkin tiga hari setelah pengambilan formulir sekolah, O iya, Tutus dan Yuni juga sekolah di sana tapi mereka ngalong, Ni."

"Lho iya ta? Bagus itu kita bisa ambil formulir sekolahnya sama-sama! Lho kenapa nggak mondok sekalian, 'kan sedikit jauh kalau PP(pulang pergi) alias ngalong?" ucap Arni. 

"Oke, nanti aku kabari mereka, biar bisa sama-sama kita, nggak tau! Tapi katanya mereka sudah di sediain orang tua mereka sepeda motor untuk pergi sekolah," ucap Halimah. 

"Oke, ya sudah aku pulang dulu ya! Sampai jumpa besok," pamitnya.

Di rumah Arni sedang membantu ibunya mempersiapkan bahan-bahan pecel yang akan dijual di samping rumahnya. 

"Kakak sudah berangkat kerja, Bu?" tanyanya. 

"Sudah, Nak, ini Syahrul sudah dititipkan di sini," ucap ibunya sambil menunjuk kamar yang ada Syahrul keponakannya sedang bermain sendiri. 

"Ini kamu letakkan di meja tempat jualan ya, Ni. Dan segera buka lapaknya biar banyak pembeli!" ucap sang ibu. 

"Baik bu, O iya, besok Halimah ngajak ambil formulir pendaftaran sekolahnya, Bu, rencananya kami akan naik angkot, apa boleh, Bu?"

"Ya jelas boleh to, Nduk. Memangnya sudah harus bawa uang sekaligus? Kamu ambil formulir saja atau langsung bayar?" tanya ibunya. 

"Kata Halimah bawa uang buat ambil formulirnya saja dulu, sedangkan nanti kalau sudah ngembalikan formulirnya bersamaan daftar pondok pesantrennya, Bu. Setelahnya baru bayar semuanya."

"Ya sudah kalau begitu, nanti ibu usahakan, dan bilang bapak kamu juga."

Arni mengangguk. 

"Halimah bilang tadi berangkatnya ke pondok sekitar tiga hari lagi, Bu, kalau aku terserah ibu dan bapak saja," ucapnya. 

"Ya nunggu bapak ya, Nak. Bagaimana enaknya nanti."

"Iya, Bu. Nggak apa kok, maaf ya karena Arni minta mondok jadi kalian akan mengeluarkan biaya yang lebih banyak lagi," ucapnya sedih. 

"Nggak apa, Nak, doakan bapak dan ibu saja, kalau niat bagus apalagi untuk biaya pendidikan anak. Insyaallah akan dipermudahkan Allah rezeki kita, semoga bapak dan ibu bisa biayain kamu sampai lulus, kami juga sangat ingin mempunyai anak yang mondok, melihat pergaulan anak sekarang terkadang ibu miris melihatnya, makanya ibu sangat senang kamu memutuskan mondok, bukannya ibu membedakan kamu dengan kakak kamu, kakak kamu dulu waktu ibu dan bapak masih berjaya dengan pekerjaan kami, sehingga selalu kami turuti, minta mondok di mana saja kami turuti, tapi sayang ujung-ujungnya sudah habis biaya banyak, ee nggak kerasan minta pulang dan memutuskan sekolah biasa. Sekolahnya juga nggak di lingkungan pondok. Semoga saja kamu konsisten dengan ucapan kamu dan kamu kerasan ya, Nak," ucap sang ibu. 

"Aamiin ... Iya, Bu. Doakan supaya Arni nggak ngecewain ibu dan bapak."

Disela percakapan mereka, ada pembeli yang membeli pecel dan juga kolak yang dijual ibunya Arni. 

Arni segera menemui sang keponakan yang usianya masih empat bulan harus ditinggalkan untuk bekerja, karena suami kakaknya lepas tanggung jawab. 

Pukul tiga sore, setelah mengerjakan salat Asar, bapak Arni pulang dari bekerja. Arni menyambut bapanya dengan mencium punggung tangan keriput itu sambil menggendong sang keponakan. 

"Ni kapan kamu berangkat ke pondok,  Nak?" tanya bapak. 

"Terserah bapak dan ibu, kalau sudah ada uangnya ya berangkat, Pak."

"Iya, Nak. Bapak sudah siapkan kok, nanti biar diatur ibu ya!"

"Iya, Pak."

Arni tersenyum lega setelah sang bapak bilang seperti itu. 

***

Saat ini Arni, Halimah dan teman-teman Arni yang lain bersiap untuk pergi mengambil formulir dan sidak lokasi sekolah mereka. Mereka ke sana dengan mengendarai angkutan umum kota mereka. Jarak antara desanya dan tempatnya sekolah sekitar satu jam lebih, sedangkan kalau sedang macet parah bisa berjam-jam, apalagi jalan yang dilewati adalah jalur pantura, kendaraan besar sering berlalu lalang di jalan itu. 

Arni dan Halimah sudah mendapatkan formulir dan langsung mengisinya di tempat yang sudah di sediakan. Kecuali formulir untuk pondok pesantrennya bisa dibawa pulang dan dikumpulkan nanti saat mereka datang ke pondok. Arni dan Halimah memang bukan sahabat, mereka hanya berteman itu pun tidak terlalu dekat. 

"Besok emangnya kamu mau sekamar denganku, Ni?" tanya Halimah.

"Terserah nanti, kalau kamu mau kita sekamar ya nggak apa,  aku malah senang," ujarnya.

"Aku yang nggak senang! Jujur ya, Ni. Kamu itu saingan aku,  jadi mending kita nggak sekamar juga nggak sekelas. Kita boleh satu pondok tapi kalau bisa nggak sekamar dan sekelas lagi. Aku capek harus saingan sama kamu dan ujungnya aku yang kalah, kamu selalu mendapatkan peringkat satu," ujar Halimah sambil nyengir.

Arni tersenyum, hatinya tidak sakit meskipun Halimah bilang seperti itu. Memang sejak dulu Halimah merasa Arni adalah saingannya. Meskipun Arni tidak menganggap seperti itu. Kepintaran Arni selalu mengalahkan Halimah. Selain pintar, Arni juga cantik dan baik hati, yang kurang darinya hanyalah dia berasal dari keluarga berekonomi pas-pasan. Dulu memang orang tuanya pernah berjaya di kampungnya, mempunyai peternakan, dan sawah yang banyak, peninggalan kakeknya yang sudah dibagi dengan pamannya. Namun, semua itu terjual karena bapaknya mengalami kebangkrutan dan ditipu saudaranya sendiri yaitu paman Arni. Bapaknya selalu sabar meskipun saudaranya sering membodohinya. Ia selalu mengalah. Ia lebih suka bekerja keras, daripada harus bertengkar dengan keluarga sendiri apalagi masalah warisan.

"Ya ... Aku sih nggak apa, kamu saja yang atur. Saya sekamar dengan teman yang lain juga ndak apa, kalau kamu nggak mau sekamar denganku. Untuk pembagian kelas di sekolah lebih baik kamu bilang ke pihak sekolah juga," ujar Arni.

"Pasti aku akan bilang ke pihak sekolah. Maaf ya, Ni, tapi beneran aku nggak mau punya saingan kamu lagi," ucap Halimah. Halimah merasa tidak enak sendiri, meskipun dirinya sering berucap kasar pada Arni, tapi gadis itu tidak pernah membalasnya. Arni selalu baik padanya.

Arni tersenyum. "Nggak apa kok, Mah. Aku nggak marah, meskipun kita nggak sekelas dan sekamar, kita masih bisa berteman dan kita harus membanggakan desa kita dan almamater kita, tetap menjadi yang terbaik," ujarnya.

"Iya, pasti itu."

Dua hari berlalu. Ini adalah hari terakhir Arni di rumah. Arni sudah menyiapkan semua keperluannya dan memasukkannya ke tas besar juga ranselnya. Buku-buku dan pakaiannya selama di pondok nanti sudah ia bereskan. Arni sudah tak sabar menunggu hari esok. Namun, di sisi lain dirinya juga sedih harus meninggalkan ibu dan bapaknya. Arni juga tidak bisa membantu ibunya lagi berjualan. 

"Bu, besok Arni sudah harus ke pondok. Arni sudah nggak bisa lagi bantuin ibu berjualan, menyiapkan bahan," ucapnya pada sang ibu.

"Ndak apa, Nak. Kamu belajar yang sungguh-sungguh di pondok itu sudah cukup buat ibu. Untuk jualan kamu nggak usah mikirin, yang harus kamu pikirin ya sekolah kamu, sudah kewajiban ibu dan bapak sebagai orang tua  mencukupi kebutuhan kamu dan pendidikan kamu," ujar ibunya.

"Terima kasih ya, Bu. Semoga Arni bisa membanggakan ibu dan bapak. Semoga kelak Arni bisa membahagiakan ibu dan bapak juga," ujarnya. 

"Aamiin ... Semoga Allah mengabulkan," sahut ibunya.

"Bapak dan ibu selalu jaga kesehatan ya," ujar Arni.

"Iya, kamu di pondok juga," ucap sang ibu.

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status