Sepasang suami istri terjerat kesalahpahaman sehingga terjadi pernikahan mendadak. Perbedaan status sosial dan usia yang cukup jauh membuat keduanya harus menyesuaikan diri meski sulit. Belum lagi perbedaan status sosial yang membuat satu pihak direndahkan oleh keluarga pihak lain. Mampukah mereka membangun rumah tangga yang manis? Ikuti perjalanan cinta mereka dalam "Sweet Husband".
Lihat lebih banyakPeluh keringat membasahi tubuh Bagas, tak terasa mentari pun menyibakkan hawa sejuk yang sedari pagi mengiringi aktivitas pria itu. Kini cuaca beralih menjadi panas, menyurutkan siapa saja yang masih kekeh berkutat di bawahnya. Ia harus cepat-cepat memulangkan beberapa lembar kertas yang telah ditandatangani oleh ketua RT setempat.
“Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas memacu langkah lebih cepat. Entah kenapa hari ini ia sangat semangat, membayangkan berdua dengan Qaila, sang pujaan hati, di hari pernikahan nanti. Langkah kaki pria itu berderap, menciptakan ritme yang menggugah antusiasme semesta untuk ikut bersuka ria. “Hei, Kang!" seru Wahyu, kawan Bagas. Ia terlihat sibuk menyemprot satwa di sangkar kecil yang tergantung di atap teras rumah. “Urusanmu udah selesai?” lanjutnya basa-basi. “Iya, udah plong banget.” Bagas menghentikan langkah sebentar. “ Wuih, ada yang mau dapet jodoh nih, uhuy!” godanya renyah. Bagas pun hanya tersipu malu. Wahyu mengangguk dan meneruskan kembali aktivitasnya. “Ya udah, mari,” pamit Bagas ramah. Alunan langkah kaki Bagas mulai melambat. Ia melihat ada seorang gadis yang tengah berjalan menunduk berlawanan arah dengannya. Aneh, itu kan seragam santriwati pondok. Berarti dia santri sini. Ia bergumam sendiri. Karena penasaran dan iba, ia akhirnya sampai hati untuk menghampiri gadis itu. Meski terlihat berusaha tegar, gadis itu tak bisa menyembunyikan rasa takut, cemas, dan bingung yang tercetak jelas di mimik wajahnya. “Mbak, kamu gak papa? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bagas kaku. Lidahnya tiba-tiba terasa kebas dan kelu. Bagaimanapun, ia sangat jarang berinteraksi dengan lawan jenis. Kini, ia juga tak tahu apa yang menyebabkan keberaniannya muncul sehingga mengabaikan rasa malu dan nervous itu. “Anu, emm,” jawab gadis itu terbata. Ucapannya menggantung. Ia urung melanjutkan ucapan karena malu dan grogi. Bagas menatap gadis itu sekilas, “Bilang aja nggak papa, Mbak,” bujuknya datar. Ia tak bisa dan tak mampu menatap sang gadis lebih lama. “Ini, Kang. Belikan saya pembalut wanita. Saya bocor, Kang,” ucap sang gadis sekenanya. Tidak dibuat-buat. Ia mengutarakan keinginan tanpa ditambahi atau pun dikurangi. Sejurus kemudian, pikiran Bagas sedikit berkelana, menuju momentum ketika duduk bersila dengan beberapa teman sejawat sepuluh tahun lalu. Memorinya memvisualisasikan kejadian di mana ia sedang mempelajari sesuatu. Hal yang sedikit tabu dan hanya wanita yang mengalami. Bagas mengangguk mantap. “ Baiklah, saya akan kembali secepatnya.” Ia pun pamit setelah sebelumnya menuntun sang gadis untuk membersihkan diri di kamar mandi mushola yang kebetulan tak jauh dari mereka. Terik sang surya semakin menyengat, menjadi pelengkap langkah Bagas yang sedikit terburu. Ia mengabaikan sandal jepit yang hampir putus karena tersandung batu yang teronggok di tepi jalan. Entahlah, ia sendiri lupa mengganti dengan yang baru karena memang sudah waktunya. “Ini,” ucap Bagas. Tangannya menyodorkan kemasan berwarna pink. Sang gadis langsung menyambar benda itu tanpa berucap sepatah kata. Langkah cepat pun ia jalani untuk segera memakai benda itu di kamar mandi. Setelah pintu kamar mandi terbuka, gadis itu menyembul dari balik pintu. Ia tergesa menghampiri sang pria, ingin mengucap terima kasih. Suasana sangat hening sampai Bagas tak sengaja menangkap pemandangan aneh dari rok Nilna. Rok tersebut dipenuhi oleh darah yang merembes. Tanpa aba-aba, Bagas langsung membuka baju koko yang ia kenakan dan mengikatkan pada rok sang gadis. “Maaf, Mbak. Saya nggak sampai hati melihat itu.” Bagas menunjuk sesuatu dengan memalingkan wajah. “Iya,” ucap Nilna malu. Ia pun ingin beranjak pergi. Ragu, ia bimbang bagaimana cara mengucap terima kasih kepada pria itu. Namun, baru selangkah ia berjalan, ada seorang warga yang memergoki mereka berdua. “Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan? Kenapa sampai melepas baju begitu? Kalian pasti ingin macam-macam, kan?” hadang sang warga dengan rentetan pertanyaan. “ Tunggu, Pak. Kami tidak melakukan apapun. Lihat, Pak, gadis itu sedang haid. Jadi saya mem-." Bagas berusaha menjelaskan sebaik mungkin, tapi .... “Ah, sudahlah,” potong sang warga. “Kalian ini ya, sudah ketahuan masih saja cari alasan pembenaran,” lanjutnya tanpa memberi ruang Bagas untuk meneruskan penjelasan yang terpotong. Dengan emosi yang menggebu, sang warga berteriak sehingga membuat beberapa orang di sekitar mushola itu penasaran dan menghampiri mereka. Jadilah sebuah kesalahpahaman yang semakin berlarut. “Ada apa ini?” tanya warga lain yang baru berkumpul. “Ya, Allah, kenapa gak pake baju begitu?” sahut warga lagi. Kali ini ia adalah seorang ibu-ibu dengan menggandeng tangan seorang balita. Semakin lama semakin ramai, hingga sekitar delapan orang yang bergerumul ingin tahu dan menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. “Cukup. Kami tidak melakukan apapun karena saya hanya meminta bantuan pada dia,” tunjuk Nilna pada Bagas. Karena sangat muak telah dihakimi dengan semena-mena, suara parau pun muncul dari lisannya. “Saya sedang datang bulan dan meminta bantuan dia untuk mencarikan pembalut,” lanjutnya dengan wajah memerah dan berlinang air mata. Ia menggigit bibir bawah yang terasa kaku. Kabut pun mulai mengepul, mendung juga turut berjejer, seolah mendukung suasana kelam yang sedang terjadi. Sunyi senyap, tak ada seorang pun yang menimpali. Begitu juga dengan burung-burung yang kini enggan berkicau. Sepertinya, mereka juga ikut bersedih menyaksikan kesalahpahaman ini. “Apapun penjelasannya, tapi kalian ini sudah ketangkap basah berduaan dan harus kami bawa ke pondok pesantren. Biarkan tokoh masyarakat itu yang mengadili kalian.” Lantang dan tegas, penjelasan dari wakil warga terasa menggembleng hati. Terdengar seperti petir menggelegar yang mematahkan harapan untuk terhindar dari kesalahpahaman. Warga pun beramai-ramai mengarak mereka menuju pondok pesantren setempat. Beberapa pasang mata memandang mereka dengan raut wajah penasaran, iba, dan heran. Di sepanjang jalan, Bagas mencuri-curi pandang, ia melihat Nilna menangis dan putus asa. Terlihat jelas dari cara berjalannya saat ini, melangkah dengan tatapan kosong dan tanpa ekspresi. Mungkin sang gadis sudah lelah karena berusaha mencurahkan tenaga untuk menjelaskan apa yang terjadi sampai selesai, namun tak mengubah nasib mereka yang tak diharapkan ini, pikir Bagas."Nilna, kok kamu sekolah lagi, sih? Bukannya hidup kamu udah terjamin, ya? Ngapain capek-capek mondok?” cerocos Zia tanpa mengerem. Ia menguncang-guncang badan Nilna saking gemasnya.“Aduh, ya nggak gitu juga dong.” Nilna menangkap kedua tangan Zia agar ia berhenti mengganggunya. “Kak Bagas ngizinin aku, kok,” jelas Nilna santai. Ia meninggalkan Zia yang masih shock menuju bangku dan terduduk lega. Zia pun mengikuti dan duduk di samping Nilna. “Terus gimana? Kamu udah nggak perawan lagi, dong?” celetuk Nara tiba-tiba. Ia tergesa menghampiri Nilna dan Zia. Tangannya membawa setumpuk buku yang ia letakkan asal di atas meja. “Nara!” sergah Nilna emosi. “Jangan ngomongin itu, bukan ranahnya di sini,” lanjutnya dengan membungkam mulut Nara. Akhirnya perdebatan mereka pun usai saat bel tanda masuk kelas berdebum. Semua siswi serentak memasuki ruang kelas masing-masing dan menyiapkan peralatan belajar yang dibutuhkan.“Assalamualaikum.” Bu Isma membimbing pelajaran dengan khidmat. Ia meng
Nilna Muna binti Ahkam Al-Hafiz, sekarang kamu sudah sah menjadi istriku.” Bagas berucap tanpa basa-basi. Memandangi langit-langit rumah meski tidak ada objek yang menarik untuk sekadar ia amati. “Iya, Kak.” Nilna terduduk lesu karena keseruannya membaca novel online harus ia jeda demi memperhatikan sang suami. Keramaian pada pesta pernikahan tadi membuatnya lelah dan ingin bermain ponsel sebentar. Sedetik kemudian, merasakan sedikit getaran pada sofa. Rupanya, Bagas telah beralih duduk di sampingnya. Keadaan menjadi hening, karena sekarang hanya mereka berdua yang ada di rumah itu. Rumah yang telah Bagas siapkan untuk Qaila, namun realitanya tidak demikian. “Di mana etikamu padaku? Saat malam pertama begini, kamu tetap sibuk dengan ponselmu?” hardik Bagas tegas. Ia hanya ingin sang istri lebih menjaga sikap. “Maaf, Kak. Aku belum bisa ngelakuin itu karena aku masih pengen nikmatin masa muda aku.” Nilna tertegun tidak percaya. Ia meneguk ludah dan takut karena baru pertama kali di
"Sebentar, kalau begitu, bisakah kamu menghadirkan calonmu dalam waktu dekat?” tanya abah dengan seksama. Ia membenarkan kaca mata yang sedikit turun dari posisi seharusnya. Bagas pun lega telah diberi kesempatan untuk mengundang sang kekasih dan segera mempertemukannya dengan abah. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah telepon seluler, lalu mulai mencoba menghubungi seseorang. “Assalamualaikum, hallo?” Bagas memberi salam setelah panggilannya terjawab. Ia pun me-loudspeaker agar semua bisa mendengar percakapannya. “Waalaikumussalam,” jawab seseorang dari seberang. “Tumben sekali, Kakak menelepon, apa ada hal penting?” lanjutnya lagi. “Begini, Kakak ingin mengundangmu ke Kediri untuk kuperkenalkan dengan Abah,” jawab Bagas sambil melirik sang abah sekilas. “Maaf, Kak. Pekerjaan di sini tidak bisa aku tinggal. Lebih menyedihkan lagi, kontrak diperpanjang satu tahun. Aku pun tidak bisa mengelak karena ini demi masa depan karierku. Kakak tidak keberatan kan menunggu?” “Lalu bagaim
Hiruk-pikuk pesantren di tengah hari menyambut kedatangan Bagas dan Nilna yang diiringi oleh beberapa warga. Beruntung, cuaca masih mendung, sehingga dapat berteman baik dengan keadaan yang menguras tenaga. Terlihat banyak santri yang berduyun-duyun menuju pondok. Sepertinya, mereka baru saja selesai melaksanakan salat duhur berjamaah di masjid. Seperti biasa, Abah Rasyid, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mannan yang baru selesai memimpin salat tengah berjalan pelan menyusuri pelataran masjid menuju ndalem. Keadaan menjadi tak biasa ketika mereka melihat arakan yang tak lazim ini. Mereka jadi enggan meneruskan langkah karena terheran-heran melihat putra Abah, Gus Bagas, sedang diarak oleh warga bersama dengan seorang gadis. “Ada apa ini?” Abah Rasyid memfokuskan penglihatan yang mulai kabur pada keramaian yang terjadi di depannya. Memastikan jika mungkin ia salah lihat bahwa pria yang berdiri di depannya bukanlah sang anak. Ketika semakin mendekat, ia sangat kecewa ternyata dugaannya be
Peluh keringat membasahi tubuh Bagas, tak terasa mentari pun menyibakkan hawa sejuk yang sedari pagi mengiringi aktivitas pria itu. Kini cuaca beralih menjadi panas, menyurutkan siapa saja yang masih kekeh berkutat di bawahnya. Ia harus cepat-cepat memulangkan beberapa lembar kertas yang telah ditandatangani oleh ketua RT setempat. “Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas memacu langkah lebih cepat. Entah kenapa hari ini ia sangat semangat, membayangkan berdua dengan Qaila, sang pujaan hati, di hari pernikahan nanti. Langkah kaki pria itu berderap, menciptakan ritme yang menggugah antusiasme semesta untuk ikut bersuka ria. “Hei, Kang!" seru Wahyu, kawan Bagas. Ia terlihat sibuk menyemprot satwa di sangkar kecil yang tergantung di atap teras rumah. “Urusanmu udah selesai?” lanjutnya basa-basi. “Iya, udah plong banget.” Bagas menghentikan langkah sebentar. “ Wuih, ada yang mau dapet jodoh nih, uhuy!” godanya renyah. Bagas pun hanya tersipu m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen