Sepasang suami istri terjerat kesalahpahaman sehingga terjadi pernikahan mendadak. Perbedaan status sosial dan usia yang cukup jauh membuat keduanya harus menyesuaikan diri meski sulit. Belum lagi perbedaan status sosial yang membuat satu pihak direndahkan oleh keluarga pihak lain. Mampukah mereka membangun rumah tangga yang manis? Ikuti perjalanan cinta mereka dalam "Sweet Husband".
Lihat lebih banyak“Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas menyisir jalanan desa yang tenang. Senyumnya mengembang ketika membayangkan hal indah yang sudah lama dinantikan.
Duduk bersanding dengan pujaan hati, Qaila. Gadis dewasa pilihan hatinya. Yang ia temui saat agenda dakwah mahasiswa di Tulungagung. Dalam beberapa hari, mereka telah mantap untuk taaruf dan segera menikah. Namun karena terbatasnya waktu, ia belum sempat mengenalkan sang pujaan hati pada keluarganya. Langkahnya cukup mantap dan yakin. Hingga dengan ringan tangan mengurus berkas pernikahan yang diselenggarakan lima hari lagi. Namun, lamunan itu perlahan memudar ketika ia melihat seorang gadis yang baru beranjak dewasa. Berjalan pelan berlawanan arah dengannya. Seragam santriwati membalut tubuh sang gadis dengan anggun. Namun, ada keanehan yang Bagas tangkap. Gadis itu berderap pelan dengan kepala menunduk, wajah pucat, dan cara berjalan yang ragu. Jalanan desa memang terbiasa lengang. Kali ini, hanya beberapa kendaraan bermotor yang menampakkan diri di ujung jalan. Terkadang ada beberapa ekor ayam yang ikut menyeberang. Bagas menatap gadis itu sejenak. Hatinya tampak bimbang. Ia tak biasa, bahkan sangat membatasi interaksi dengan lawan jenis. Namun, rasa iba berkecamuk dalam benaknya. Ia memberanikan diri untuk menyapa gadis itu. “Mbak,” sapanya pelan. “Ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya lagi. Dengan nada yang lebih pelan. Gadis itu menoleh sejenak, namun tertunduk lagi. Tangannya terlihat gemetar saat memegang tas. Tatapan mereka sempat bertemu, dan Bagas nyaris membeku. Namun anehnya, ada desir asing yang tak pernah Bagas alami sebelumnya. Di sisi lain, ia juga memahami ketakutan dan rasa malu yang mencoba disembunyikan sang gadis. “A-anu, Kang ....” Gadis itu akhirnya bersuara, meski masih terbata. “Bisa carikan saya pembalut?” katanya ragu, dengan wajah yang kembali tertunduk. Mendengar itu, Bagas terdiam beberapa detik. Desau angin yang berembus perlahan mengingatkan ia saat mengaji fiqih di pondok. Bagaimanapun, ia tak menyangka bisa mendengar perkataan itu dari gadis yang beranjak dewasa. Tapi, Bagas sangat paham. Tidak ada motif tersembunyi dari perkataan polosnya. Apa lagi menggoda. Hanya permintaan tulus dari remaja yang membutuhkan bantuan darurat. Bagas menarik napas pelan. “Baik. Tunggu di mushola, ya,” tunjuknya pada bangunan di seberang jalan. “Bersihkan dulu di kamar mandi agar nyaman,” lanjutnya memberi arahan. Setelah memastikan gadis itu aman, Bagas melesat menuju warung terdekat. Ia bahkan tak menghiraukan sandal jepit yang hampir putus. Karena seakan berlomba dengan rasa hormat dan iba sebagai laki-laki. Bahkan, ia terhuyung dan hampir jatuh karena tersandung oleh batu besar di tepi jalan. Tak perlu waktu lama, Bagas kembali dengan membawa kemasan berwarna pink. “Ini,” katanya pelan. Ia menyodorkan benda itu pada sang gadis. Tanpa sungkan, gadis itu langsung menerimanya dengan cepat. Karena tergesa dan malu, ia lupa untuk mengucapkan terima kasih. Lalu, tanpa permisi berlari masuk kamar mandi. Entah mengapa, Bagas masih menunggunya keluar. Entah karena jiwa laki-laki sebagai pelindung perempuan, atau karena desir asing yang ia rasakan. Awan kelabu masih menggantung di langit siang itu. Namun, sepertinya hujan masih enggan untuk turun. Seperti Bagas yang tanpa sebab ingin memastikan gadis itu selesai mengurus masalahnya. Hingga akhirnya, senyum Bagas mengembang ketika gadis itu unjuk diri. Dengan wajah yang masih memerah menahan kikuk dan malu. Bagas nyaris berpaling. Namun, ada sesuatu yang menariknya kembali. Pandangan pria itu menyorot warna darah segar di rok sang gadis. Tanpa berpikir, Bagas spontan membuka baju koko yang membalut tubuh kekarnya. Lalu, ia lilitkan pada pinggang sang gadis. “Mohon maaf,” katanya segan. “Saya tidak sampai hati membiarkanmu seperti itu,” pungkasnya penuh iba. Ia memalingkan wajah penuh hormat. Kedua sudut bibir gadis itu terangkat. Alih-alih ingin mengucap terima kasih. Seorang warga dengan sorot mata tajam menghakimi mereka berdua. “Astaghfirullah,” katanya kaget. “Apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa sampai lepas baju begitu?” hardiknya tanpa jeda. Dada warga itu naik turun ketika memperhatikan Bagas mematung tanpa atasan, dan seorang gadis dengan kain melilit rok. “Kami tidak--" Bagas mencoba angkat bicara. Namun dengan seenaknya warga itu memotong kalimat di tenah jalan. "Halah! Sudah jelas ketangkap basah begini. Masih mau cari alasan juga? Hah?” Warga itu mendelik tajam. “Biarkan sesepuh pondok yang mengadili kalian!” Keributan itu menimbulkan suara keras yang mengundang perhatian warga lain. Jadilah segerombol masyarakat tampak mendekat dan menyaksikan kesalah pahaman itu. Ada sebagian yang mencibir, memprovokasi, dan memperkeruh suasana. Namun, ada pula segelintir orang yang menatap iba. Tapi, tak ada yang benar-benar bisa mendengar. Melihat kegaduhan itu, sang gadis menunduk dengan tubuh bergetar. Air mata pun berhasil lolos terjun tanpa bisa ditahan. “Saya hanya ... minta bantuan,” ungkap gadis itu parau dan hampir putus asa. Tapi semua orang hanya menganggap angin berlalu. Tanpa ampun, mereka mengarak Bagas dan sang gadis menuju pondok pesantren. Rasa malu, sedih, marah, dan tidak berdaya menghantam mereka. Di tengah kegentingan yang menyeruak, Bagas tanpa sengaja mencuri pandang. Pandangan asing yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Namun cukup memberi kesan yang mendalam di hati. Seorang remaja yang tak pernah ia sangka. Bahkan nama pun ia tak tahu. Namun berhasil mengguncang hidupnya."Dek, boleh malam ini, kita tidur sekamar?” Bagas kembali membuka suara, di sela waktu istirahat di malam hari.Deg.‘Apa maksud Mas Bagas?’ Nilna bertanya-tanya. Ia spontan menjeda aktivitas menelaah isi kitabnya.Malam perlahan menua, menyisakan senyap yang menyembul di antara mereka. Detak jam tua terdengar semakin jelas, menandakan aktivitas manusia berangsur usai.“Boleh, Mas.” Jawaban itu akhirnya meluncur dari mulut kecil Nilna yang terasa berat. Wanita itu menatap jemarinya yang sempat menggigil dan tidak kuasa untuk sekadar menegakkan tubuh. Namun, kehangatan itu ia dapat kembali secara perlahan.Ia bahkan belum sepenuhnya tahu apa maksud dari tidur sekamar untuk saat ini. Namun, ada sedikit keberanian yang perlahan pulih, dan mencoba untuk percaya.“Tenang, Dek. Mas cuma kangen sama Adek. Kangen tidur sekamar. Insya Allah, Mas nggak akan mengawali sebelum Adek bilang siap.” Bagas memaparkan penjelasan di antara degup jantung Nilna yang sangat cepat.Pria itu seperti bisa mem
"Dek, hari ini, Mas antar ke pondok, ya?” Bagas membuka suara saat sarapan pagi berlangsung. Denting sendok yang sedari tadi memenuhi jarak, kini mulai tersingkap.“Loh, ada apa lagi, Mas?” Nilna terperanjat. Ia lekas menelan makanan yang hampir tercekat di tenggorokan, dan meminum beberapa teguk air.“Ini, waktunya Adek ngajar anak-anak Jurumiyah lagi.” Bagas mengingatkan. Sendok yang kembali berdenting ikut terjeda. Nilna menghela napas berat. Bukan tak mau mengajar, tapi langkahnya terasa berat jika mengingat sesuatu.‘Ya Allah, semoga aku nggak ketemu Ilham lagi hari ini,’ pintanya dalam hati.“Oh, hari ini, ya?” Nilna menimpali, meski ia sudah tahu. Wanita itu meremas sudut bajunya, seolah tak ingin hari itu tiba.“Iya. Ini, kan, hari Ahad. Pas kita lagi libur kuliah dan kantor.” Bagas masih terlihat tenang. Ia menjawab tanpa menoleh, dan tetap melanjutkan kegiatan sarapan pagi ini.‘Mas Bagas kelihatan lempeng aja. Dia emang lupa, apa udah nggak peduli, ya, soal ketakutan aku t
"Mas .... Kok, nggak panggil aku salat?” Suara lembut itu meluncur sempurna dari mulut Nilna, di ambang pintu. Badannya menyembul tiba-tiba dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Bagas tersentak kecil, dan buru-buru menoleh ke sumber suara. “Dek, udah di sini?” tanya lelaki itu, sedikit kaget. Buliran air wudhu masih memenuhi wajahnya. Lengan baju pun masih tergulung sampai siku. Jelas saja, ia baru bersiap untuk salat.Nilna melangkah ragu, mendekati suaminya yang berdiri canggung. “Tadi aku nunggu Mas manggil. Eh, nggak ada panggilan juga. Jadi, aku nyamperin Mas aja,” jelas Nilna, jujur. Jemari kecil itu meremas mukena putih yang membalut tubuhnya, menandakan kegugupan yang sulit disembunyikan.Bagas menghela napas lega. Pikiran tak karuan yang mengganggunya ternyata tidaklah benar. Ia terhenti sejenak. Ada sesak yang berangsur menguap dari dada bidangnya.“Mas kira, Adek masih takut.” Pandangan Bagas turun, menatap balutan mukena yang hanya memperlihatkan telapak kaki kecil istr
"Na, masih nunggu Mas Bagas?” Wajah Dafa menyembul dari arah belakang. Membuat Nilna terkesiap dan spontan mengangkat wajah.“Iya.” Nilna menjawab sekenanya. Ia kembali menunduk dan menyibukkan diri dengan menggulir layar ponsel.“Boleh aku duduk di sini?” tanya Dafa hati-hati, menunjuk kursi yang cukup berjarak.“Ini tempat umum, Kak. Nggak usah izin aku.” Suara Nilna terdengar datar, dengan wajah yang masih tenggelam di balik layar ponsel.Dafa menghela napas kasar, lalu duduk perlahan. “Pasti Mas Bagas bangga banget, Na, sama kamu. Istri remajanya udah berhasil naklukin panggung.” Lelaki 20 tahun itu tersenyum hambar, menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.Nilna meremas ponsel dalam genggaman, lalu melirik lawan bicaranya sekilas. “Itu kuasa Allah. Bahkan aku nggak nyangka bisa melewatinya.”Hening mengambil alih suasana di antara mereka. Hanya suara langkah kaki dan kendaraan dari mahasiswa yang mengisi jarak. “Bisa nggak, sih, kamu nggak ngajak aku ngobrol?” Nilna a
"Kamu lihat, kan, auditorium itu?” Pak Affan tengah berdiri di samping Nilna, tepat sebelum naik tangga, menunjuk beberapa orang yang berderet rapi. Dosen pembimbing itu memberi sokongan dari hati yang paling dalam. “Di sana, duduk orang-orang hebat, yang kadang meragukan kemampuan kita,” lanjut dosen Bahasa Arab itu, dalam. Ia berdiri tegap dengan balutan almamater kebanggaan unversitasnya.“Tapi itu bukan masalah, tugas kita sekarang adalah menunjukkan hal yang terbaik dari kita,” pungkasnya, dengan senyum mengembang. “Iya, Pak. Bismillah,” ucap Nilna, teguh. Hingga akhirnya, Nilna benar-benar berdiri sendiri di atas panggung.“Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh ....” Ucapan salam itu meluncur tanpa hambatan dari mulut kecil Nilna. Suaranya tenang, tapi menghasilkan getaran yang menarik ratusan orang mengangkat wajah dan fokus ke sumber suara. Mahasiswi itu berdiri tegak, meski ada gugup dan keraguan yang menumpu pada punggungnya.“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakaa
“Mas, kenapa, ya .... Semakin aku berusaha keras, semakin keras juga ujian yang datang.” Suara Nilna terdengar serak, dan sangat pelan. Seakan usai berlari di medan yang terjal.Netra perempuan itu memanas. Sebutir air mata masih bersembunyi di balik pelupuknya. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan menerawang. Kakinya tertekuk, dengan kabut gelap yang sejak siang enggan untuk melunak.Bagas mengangkat wajah, menjeda jemarinya yang sedari tadi lincah menari di keyboard laptop.“Mas juga merasa begitu, Dek.” Bagas menoleh, memandangi istri kecilnya yang terduduk di ujung ranjang.“Tapi, Allah selalu menyiapkan kejutan yang indah di balik itu semua.” Pria itu memilih bangkit, dan mendekati istrinya. Menggenggam tangan kecil itu tanpa ragu, lama. Sisa hujan di siang hari masih membekas di heningnya malam. Meninggalkan aroma tanah dan daun kering yang khas karena digelayuti butiran air.Nilna tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang kini tidak berjarak. “Mas nggak capek?” samb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen