Sebuah insiden di musala membuat Nilna, gadis 18 tahun, harus menikah mendadak dengan Bagas, direktur pesantren berusia 30 tahun. Semua orang menyebutnya keberuntungan. Namun bagi Nilna, cincin itu justru merenggut masa remajanya. Antara cinta, luka, dan perbedaan yang membentang, mampukah mereka menemukan makna dari sebuah pernikahan?
View MoreKrieett …!
Derit pintu berdentum lantang di telinga Nilna. Di tengah pekatnya pagi buta, gadis delapan belas tahun itu mengendap sangat pelan. Bahkan tarhim sebelum subuh masih bersemayam di balik pita suara seorang santri yang masih terbenam di tidur nyenyaknya. Pelipis dan telapak tangannya terasa basah karena genangan keringat dingin. Tanpa disadari, ia meraba dada yang mendadak berat. Sesuatu di dalamnya yang berdetak kencang terasa hampir lompat dari tempatnya. Degup jantungnya membentuk ritme gedebag-gedebuk tak karuan, karena rasa takut yang menyeruak ke permukaan. Rasa takut yang membuatnya bergidik ngeri jika ada pengurus pondok yang menangkap dirinya bulat-bulat. Nilna melongokkan kepala di balik pintu kamar pondok yang sedikit terbuka. Bola matanya lincah bergerak menyapu objek di setiap penjuru, memastikan tak ada seorang pun yang mengetahui aktivitas berbahaya yang ia lakoni saat ini. “Akhirnya, bisa juga keluar dari kamar,” gumamnya lirih. Kedua telapak tangan itu ia gesekkan dengan cepat, hingga berbunyi: pak … pak tiga kali. Berusaha mengusir debu dalam ironinya. Namun, lebih tepatnya membanggakan diri telah berhasil keluar dari pondok yang kata orang-orang sangat ketat itu! *** “Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas menyisir jalanan desa yang tenang. Senyumnya mengembang ketika membayangkan hal indah yang sudah lama dinantikan. Duduk bersanding dengan pujaan hati, Qaila. Gadis dewasa pilihan hatinya. Ia bertemu dengannya ketika acara kunjungan mahasiswa ke Tulungagung. Dalam beberapa hari, mereka telah mantap untuk taaruf dan segera menikah. Namun, karena terbatasnya waktu, pria tiga puluh tahun itu belum sempat mengenalkan sang pujaan hati pada keluarganya. Langkahnya cukup mantap dan yakin. Hingga dengan ringan tangan mengurus berkas pernikahan yang diselenggarakan lima hari lagi. Namun, lamunan itu perlahan memudar ketika ia melihat seorang gadis yang baru beranjak dewasa. Berjalan pelan berlawanan dengannya. Seragam santriwati membalut tubuh sang gadis dengan anggun. Sayangnya, ada keanehan yang Bagas tangkap. Gadis itu berderap pelan dengan kepala menunduk, wajah pucat, dan cara berjalan yang ragu. Jalanan desa memang terbiasa lengang. Kali ini, hanya beberapa kendaraan bermotor yang menampakkan diri di ujung jalan. Terkadang ada beberapa ayam yang ikut menyeberang jalan. Bagas menatap gadis itu sejenak. Hatinya tampak bimbang. Ia tak biasa, bahkan sangat membatasi interaksi dengan lawan jenis. Tetapi, rasa iba menyeruak dalam benaknya. Lelaki berkopyah hitam itu memberanikan diri untuk menyapa gadis itu. “Mbak,” sapanya pelan. “Ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya lagi. Dengan nada yang lebih pelan. Gadis itu menoleh sejenak, tapi tertunduk lagi. Tangannya terlihat gemetar saat memegang tas. Tatapan mereka sempat bertemu, dan Bagas nyaris membeku. Anehnya, ada desir asing yang tak pernah Bagas alami sebelumnya. Di sisi lain, ia juga memahami ketakutan dan rasa malu yang mencoba disembunyikan sang gadis. “A-anu, Kang ....” Gadis itu akhirnya bersuara, meski masih terbata. “Bisa carikan saya pembalut?” katanya ragu, dengan wajah tenggelam di balik kepala yang semakin menunduk. Mendengar itu, Bagas terdiam beberapa detik. Desau angin yang berembus perlahan mengingatkan ia saat mengaji fiqih di pondok. Bagaimanapun, ia tak menyangka bisa mendengar perkataan itu dari gadis yang beranjak dewasa. Beruntung, Bagas sangat paham. Tidak ada motif tersembunyi dari perkataan polosnya, apa lagi menggoda. Hanya permintaan tulus dari remaja yang membutuhkan bantuan darurat. Bagas menarik napas pelan. “Baik. Tunggu di mushola, ya,” tunjuknya pada bangunan di seberang jalan. “Bersihkan dulu di kamar mandi biar nyaman,” lanjutnya memberi arahan. Setelah memastikan gadis itu aman, Bagas melesat menuju warung terdekat. Ia bahkan tak menghiraukan sandal jepit yang hampir putus. Karena seakan berlomba dengan rasa hormat dan iba sebagai laki-laki. Bahkan, ia terhuyung dan hampir terjatuh karena tersandung oleh batu besar yang teronggok di tepi jalan. Tak perlu waktu lama, Bagas kembali dengan membawa kemasan berwarna pink. “Ini,” katanya pelan. Ia menyodorkan benda itu pada sang gadis. Tanpa sungkan, gadis itu langsung menerimanya dengan cepat. Karena tergesa dan malu, ia lupa untuk mengucapkan terima kasih. Lalu, tanpa permisi berlari masuk kamar mandi. Entah mengapa, Bagas masih menunggunya keluar. Entah karena jiwa laki-laki sebagai pelindung perempuan, atau karena desir asing yang ia rasakan. Awan kelabu masih menggantung di langit siang itu. Namun, sepertinya hujan masih enggan untuk turun. Seperti Bagas yang tanpa sebab ingin memastikan gadis itu selesai mengurus masalahnya. Hingga akhirnya, senyum Bagas mengembang ketika gadis itu unjuk diri. Dengan wajah yang masih memerah menahan kikuk dan malu. Bagas nyaris berpaling. Akan tetapi, ada sesuatu yang menariknya kembali. Pandangan pria itu menyorot ada warna darah segar di rok sang gadis. Tanpa berpikir, Bagas spontan membuka baju koko yang membalut tubuh kekarnya. Lalu, ia lilitkan pada pinggang sang gadis. “Maaf,” katanya segan. “Saya tidak sampai hati melihat kamu seperti itu,” pungkasnya penuh iba. Ia memalingkan wajah penuh hormat. Kedua sudut bibir gadis itu terangkat. Alih-alih ingin mengucap terima kasih, seorang warga dengan sorot mata tajam malah menghakimi mereka berdua. “Astaghfirullah,” hadangnya kaget. “Apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa sampai lepas baju begitu?” hardiknya tanpa jeda. Dada warga itu naik turun ketika memperhatikan Bagas mematung tanpa atasan, dan seorang gadis dengan kain melilit rok. “Kami tidak--" Bagas mencoba angkat bicara. Naas, dengan seenaknya warga itu memotong kalimat di tengah jalan. “Halah! Sudah jelas ketangkap basah begini. Masih mau cari alasan juga? Hah?” Warga itu mendelik tajam. “Biarkan sesepuh pondok yang mengadili kalian!” Keributan itu menimbulkan suara keras yang mengundang perhatian warga lain. Jadilah segerombol masyarakat tampak mendekat dan menyaksikan kesalah pahaman itu. Suara sandal yang bergesek dengan tanah terdengar semakin banyak dan nyaring. Bisik-bisik samar tetapi tajam mulai menyebar ke seluruh penjuru lingkungan. Ada sebagian yang mencibir, memprovokasi, dan memperkeruh suasana. Di antara kisruh yang membuncah, ada pula segelintir orang yang menatap iba. Sangat disayangkan, tak ada yang benar-benar bisa mendengar. Melihat kegaduhan itu, sang gadis menunduk dengan tubuh bergetar. Air mata pun berhasil lolos terjun tanpa bisa ditahan. “Saya hanya ... minta bantuan,” ungkap gadis itu parau, dan hampir putus asa. Tangannya mengepal di udara, tapi tubuhnya terasa gemetar. Ia ingin berteriak lagi, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan yang terasa tercekat. Semua orang hanya menganggap angin berlalu, dengan tatapan mata yang menusuk. Tanpa ampun, mereka mengarak Bagas dan sang gadis menuju pondok pesantren. Rasa malu, sedih, marah, dan tidak berdaya menghantam mereka. Di tengah kegentingan yang menyeruak, Bagas tanpa sengaja mencuri pandang. Sekilas, tapi ia tak tahu. Justru sekilas itu mampu meninggalkan bekas mendalam yang tak terlihat. Seorang remaja yang bahkan tak pernah ia sangka. Bahkan nama pun ia tak tahu, tapi berhasil mengguncang hidupnya.“Hari ini, ikut Mas ke kantor kan, Dek, jadwalnya?” Suara Bagas terdengar santai, tapi Nilna tahu situasi yang sebenarnya tak sesantai itu. Semua ini hanyalah usaha yang dilakukan Bagas agar semua tak larut dalam kegugupan.Nilna mendengar kalimat itu ketika menikmati suasana pagi yang berbalut damai, dengan sisa hangat tadi malam yang masih membekas. Ia sempat bangun dengan sedikit malas dan sebagian kantuk yang masih membumbung.Namun tetap saja, ada gugup, penasaran, dan rasa bangga yang berkecamuk. Karena ia tak tahu hal apa yang menunggunya di sana.Sementara Bagas telah lebih dulu menyemangati diri. Lelaki muda itu telah rapi dengan kemeja abu tua dan jam tangan hitam. Nilna mengangguk. “Iya, Mas.” Dirinya sudah mengetahui hari ini akan ke kantor sejak musyawarah di rumah sang mertua kemarin. Serangkaian persiapan mental telah ia persiapkan dengan hati yang berat. Hasilnya, hari ini datang, tapi tetap dengan siap yang dipaksakan. Karena sampai kapan pun, ia tak akan pernah s
Nilna merasa jawaban yang sesungguhnya tak pernah benar-benar terucap! Sejak Nilna mengutarakan isi hatinya, mereka masih terdiam di tempat. Kemudian, Bagas kembali menatap Nilna, dengan tatapan yang masih sulit ditebak. Di antara mereka, sunyi memekat dengan cepat. Jarak yang terasa kini hanya dipenuhi detik jam bulat yang terus berulang layaknya palu godam. Dengan suara yang dalam tapi pelan, Bagas akhirnya menyingkap sunyi saat berujar, “Dek, kalau kamu bilang belum mau punya anak, mungkin perasaan kita adalah sama!”Tubuh Bagas yang tegang berangsur mengendur. Ekspresi wajahnya tak lagi kosong seperti yang Nilna takutkan. Mendengar ucapan dari suaminya yang tak pernah disangka, Nilna seketika terperanjat. Air matanya terhenti, dan melebarkan kedua mata karena belum bisa percaya apa yang baru saja ia dengar.“Maksud Mas?” tanyanya, dengan suara kecil yang bergetar.Keduanya sama-sama mengangkat kaki ke permukaan ranjang, duduk bersila dan saling menghadap. Bagas menegakkan pun
“Mas, sebenarnya … aku senang, loh, kalau hasilnya masih negatif!” Nilna duduk sedikit tegang dengan kedua paha yang mengapit dua tangannya. Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa ia duga. Wanita belia itu berkata demikian saat Bagas sudah terlihat tenang. Nilna melirik Bagas sekilas tanpa menggerakkan kepala. Dari posisi itu, dirinya dapat menangkap raut heran dari sang suami. Bagas menoleh pelan, memandang istrinya bulat-bulat dengan ekspresi tak percaya. ‘Senang? Hasil negatif?’ Hatinya kini sangat berisik, dadanya berdesir aneh. Ada rasa tersayat, tapi ia langsung menampiknya. ‘Apa ini artinya dia masih belum mau punya anak? Dia masih belum siap?’ batinnya lagi. Kamar menjelma menjadi ruang sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar keras dan lamban. Seolah memperpanjang jarak di antara mereka. “Apa? Maksud Adek?” tanya Bagas akhirnya. Suaranya masih bisa tetap terdengar tenang, meski hatinya tengah bergolak dengan liar. Ia belum benar-benar mengerti apa yang Nilna m
“Adek, coba pakai tespeknya, ya!” Suara Bagas memotong konsentrasi Nilna saat sedang belajar. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan dahi yang mengerut, lalu melanjutkan, “Sudah dua bulan kita rutin melakukannya!” Saat mengucapkan kalimat itu, nada suaranya nyaris menyerupai seorang balita yang meminta mainan. Nilna sedikit mendengus saat mengangkat wajah dari buku tebal di hadapan. Bibirnya tampak mengerucut, dengan raut muka yang sedikit tak bersahabat, tapi juga sedikit geli. Saat ini, suaminya telah berjalan mendekatinya dengan langkah lebar. Tanpa sengaja, Nilna membatin, “Mas Bagas kayak anak kecil yang nggak sabar mau main sama temannya!” Nilna memutar bola mata dengan malas. Tangannya menutup buku dengan suara yang agak keras. “Aduh, aku masih belajar, Mas!” seru Nilna seraya mengangkat buku dari dasar meja. “Sebentar aja, Dek. Ambil tespek yang pernah aku kasih, ya!” Bagas masih belum mau menyerah. Kini, ia telah duduk sedikit menindih dan menggeser tempat duduk Nil
Malam ini, keheningan kamar semakin memekat. Lampu tidur masih bersinar tanpa lelah, seolah menjadi saksi berlalunya malam yang sempat tertunda. Sinar itu redup, membungkus kedua insan dengan kehangatan di atas ranjang. Nilna menyambut tatapan Bagas yang terasa mendalam. Ada gugup yang merambat, tetapi tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri ilusi takut yang tak berujung itu. Wanita berpiyama longgar dan polos itu mengangkat wajah saat Bagas memanggil, “Adek … yakin?” Nilna mendengar secara langsung. Suara yang sedikit serak itu membuat bulu kuduknya meremang. Namun, ia tak lagi gentar. Tangan di pangkuan terkepal erat, sebagai usaha dalam mengalihkan keinginan untuk menghindar dan berlari. Nilna sempat menggigit bibir bawah agak keras, tapi akhirnya segera menjawab, “Iya, Mas. Aku yakin. Kalau terus mundur, kita nggak akan pernah maju.” Mata perempuan dua puluh tahun itu seketika berkaca-kaca, tapi tidak goyah. Kini, giliran Bagas yang menarik napas panjang. Tangan hangat itu teru
“Iya, Bah. Benar apa kata Mas Zidni.” Pandangan Bagas beredar, dan menetap sejenak ke sorot mata Zidni. Lalu melanjutkan, “Tentunya, kami sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik.” Kalimat itu meluncur dengan tenang, meski ada gugup yang tersembunyi. Namun, hanya Nilna yang dapat merasakan gugupnya Bagas. Hati Nilna berdenyut ngilu. Ia mengerti, jawaban dari sang suami tak pernah menyinggung dirinya yang belum mampu menjadi istri seutuhnya. Diam-diam, wanita muda itu ingin mengutuk diri sendiri.“Ayo, Nilna! Sudah nggak ada waktu lagi buat kamu! Kamu harus bisa jadi istri selayaknya mulai sekarang!” serunya dalam hati.Di hadapan mereka, Abah Rasyid mengangguk samar. Jemari keriputnya mengetuk pelan permukaan meja. Sekali, dua kali. Tidak ada raut amarah yang menetap, hanya sorot penuh pertimbangan. “Hm,” ucapnya pendek. Seolah benar-benar menangkap gestur kejujuran dari putra bungsunya.Salwa hampir kehilangan kendali. Wajahnya mengetat dengan raut wajah sewot dan tak suka. Hati
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments