Share

Honeymoon

Sudah lima hari dirinya menikmati menjadi seorang istri dari Affan Saputra, bagi Nana sungguh bahagia karena setiap membuka matanya di pagi  ia akan melihat orang yang dicintainya begitu pun saat ingin tidur ia akan memejam mata dalam pelukan hangat sang suami. 

Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, hari ini keberangkatan Nana bersama Affan ke Bali untuk honeymoon. Terlihat wajah bahagia wanita itu saat ingin melangkah masuk pesawat yang akan mengantar mereka ke tujuan. Senyumnya bahkan tak luntur dari pagi tadi sampai sekarang, entah apa yang membuat ia begitu antusias?

Sedangkan Affan hanya bisa saja, ia malah terkesan berat hati untuk melangkah ke kota impian istrinya itu.

Tapi bagaimana lagi? Acara ini sudah disusun jauh-jauh hari, tidak mungkin dirinya mengecewakan impian sang istri. Bagaimana ia bisa membuka hati wanita yang dicintainya terluka? Lagi pula ia tidak punya alasan yang logis untuk menolak, tidak mungkin ia berkata tak mau pergi karena firasat buruknya.

“Ayo, mas. Pesawatnya sudah mau  lepas landas,” ucap Nana sambil menarik kopernya yang tidak begitu berat.

“Iya, sabar. Kita gak akan ketinggalan kok,” balas Affan sambil berjalan santai di belakang Nana.

Setelah banyak pemeriksaan akhirnya mereka sampai di dalam pesawat, gadis itu semakin tersenyum cerah membayangkan kota Bali yang begitu ia impikan dari dulu, akhirnya sekarang ke sapai juga dirinya mengunjungi tempat indah itu. Apalagi momen yang seperti sekarang, sangat tepat rasanya jika ia memadu kasih disana, menciptakan kisah mereka untuk diceritakan anak-anaknya nanti. Ahhh ... Kenapa pikirannya terlalu jauh? 

Asyik dengan lamunan sendiri membuat ia tersenyum-senyum sendiri tanpa sadar.

“Bahagia banget, dek?” Affan terkekeh geli.

“Sudah gak sabar aku mas, pasti tempat itu sangat indah. Oh ya, nanti kita disana harus berfoto ya mas, gak boleh nolak!” 

“Kamu itu ya ... Kita datang ke sana kan untuk honeymoon, sayang. Kok kamu malah mikirin Selfi sih?” goda Affan seolah tak terima dengan ide istrinya.

“Ya, sekalian. Lagi pula gak mungkin loh kita seminggu Cuma di kamar hotel?” 

“Kenapa tidak? Padahal rencana mas seperti itu tadi.” Ucapnya santai. Tapi Nana tidak bisa santai mendengar ucapan suaminya, bahkan wajahnya sudah berubah memerah karena membayangkan Ucapan Affan, memang otaknya mesum sekali.

“Terserah! Kalau mas gak mau, aku pergi sendiri!” ucap Nana ketus yang disambut tawa membahana sang suami.

Nana memilih untuk memejamkan matanya untuk tidak melihat wajah ngeselin suaminya yang masih saja tertawa.

“Diam lah! Kamu menyebalkan, mas!”  Affan tak ingin mengganggu nya lagi, ia dekap wanita yang sedang dalam mode galak itu ke pelukannya.

Pesawat sudah lepas landas dari tadi. Mungkin karena merasa sepi Nana tertidur nyenyak di bahu sang suami. Begitupun dengan Affan ia juga ikut terlelap dalam mimpinya. Ia mendekap erat tubuh kecil itu agar tidak merasa kedinginan.

Setelah melewati waktu yang cukup lama, akhirnya mereka sampai di kota yang sangat ingin dikunjungi Nana, Bali.

Wanita itu sudah bersorak gembira saat sampai di hotel tempat mereka menginap, karena tempatnya yang dekat dari pantai membuat pemandangan dari balkon itu terlihat sangat indah. Dari baru datang tanpa merasa lelah gadis itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk berselfi ria, menimbulkan decak kesal dari mulut suaminya.

“Kamu mau bulan madu sama mas atau ponselnya? Kok dari tadi Cuma benda itu yang kamu pegang!” Kekesalan Affan hanya dijawab dengan dengusan sang istri.

“Sama ponsel aja cemburu ... Namanya juga wanita, mana bisa kalau gak berfoto melihat pemandangan indah begini?”

“Terserah!”  ucap Affan sambil berlalu ke kamar mandi. Tidak mau membuat honeymoon mereka malah berubah menjadi perang dingin nanti, bisa gawat dengan masa depannya yang tidak bisa berbuka puasa.

****

Ternyata acara berbuka puasa Afgan lagi-lagi terganggu dengan rengek Nana, sekarang wanita itu malah meminta untuk berkeliling dulu sebelum mangrip, biar bisa lihat mata hati terbenam. Dan disini lah sekarang, dipinggir pantai yang agak jauh dari hotel. Nana yang sibuk berselfi ria, sedangkan sang suami yang dari tadinya hanya berdecak kesal sambil menjadi fotografer dadakan.

“Sudah mau malam, kita makan dulu yuk mas?” ajak Nana sambil menarik tangan Affan menuju penjual jajanan dipinggir jalan.

“Kamu bungkus saja, Dek. Kita makan di kamar hotel nanti.” Nana mengangguk setuju.

Setelah semua makanan yang mereka pesan datang, mereka langsung menuju mobil sewaan mereka terparkir. Affan mulai melaju mobilnya meninggalkan tempat indah itu. Asik saling menggoda sang istri dan begitu pula dengan Nana, membuat dua sejoli itu tidak begitu fokus dengan laju mobil mereka.

Mungkin karena masih pengantin baru dimana-mana ingin selalu bermesraan, membuat Affan dari tadi tak melepaskan tangan sang istri dari genggaman.

“Kamu harus selalu bahagia ya, seperti ini ... Meskipun tanpa aku nanti,”

Deg

Nana mengerjap tak mengerti, kenapa suaminya  berkata seperti itu?

Alih-alih bertanya, wanita itu memilih mengangguk saja, mungkin dirinya tidak ingin terlalu memikirkannya, ia memilih menepiskan semua pikiran buruk itu.

“Jika kamu bahagia Pasti aku juga akan bahagia, nanti. Meskipun aku tak disisi mu tapi aku akan selalu menjagamu dengan caraku sendiri,” ucapan Affan semakin mengawur membuat Nana tidak bisa Tinggal diam lagi.

“Maksud kamu gimana sih, Mas? Kok jadi aneh,” ucap Nana tak suka. Wanita itu mencoba melepaskan tautan tangan mereka, tapi Affan malah semakin mengeratkannya.

“Aku tidak tahu, tapi perasaan ku mengatakan aku akan membuatmu sedih suatu saat nanti. Entah lah, jangan bertanya kenapa? Karena aku sendiri tidak tahu.” Kembali ia mengecup tangan istrinya dengan mesra.

Tidak ada lagi yang bersuara, larut dengan pikiran sendiri membuat Affan kehilangan fokus pada kumudinya membuat ia hampir saja menabrak sebuah sepeda motor.

“Mas! Awas!”

Terlambat, sangat terlambat. Niat hati untuk menghindari motor dirinya malah bertabrakan dengan sebuah bus wisata yang datang dari persimpangan. Setelahnya hanya kesunyian, dan pandangan gelap, itu yang dirasakan Nana saat merasa mobil sudah berhenti merengsek tertarik bus besar itu. Setelah itu kesadaran wanita itu hilang bersamaan dengan suara orang yang beberapa datang dengan berteriak, terdengar seperti meminta untuk menolong dirinya.

Mangkinkah ini yang kamu maksud, mas? Apa secepat ini kita berpisah? Jika Allah tidak mengizinkan kita bersama, aku rela. Tapi aku mohon jangan secepat ini.... Kisah kami belum dimulai, tapi kenapa malah berakhir secepat ini?

Dihari ini mungkin kisahnya bersama sang suami akan berakhir, tapi mungkin dengan begini pula Kisah baru akan terlukis. Karena rencana Allah itu tidak ada yang bisa menentukan, takdir akan ditentukan olehnya, maka dia pula yang bisa mengakhirinya.

Ingin rasanya ia menjerit keras atas takdir yang tidak perpihak ini, kenapa kebahagiaannya begitu cepat terenggut?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status