Share

Semarang

Semarang, 12 Januari, 2020

Kenangan dua tahun lalu kembali berputar di kepala wanita cantik yang berpakaian rapi itu, senyum kecut terlihat di bibir tipisnya dikala ia melihat dua pasang pasturi sedang bermanja-manja di sebuah taman kota. Jika kejadian naas itu tidak terjadi mungkin sekarang ia juga seperti wanita itu, berbahagia, bercanda tawa dengan kekasih halalnya.

Melihat mereka rasanya ia kembali mengingat saat-saat terakhir bersama ... Dia. Tak perlu membuat nama mengenang saja hatinya sudah bagai ditikam sembilu.

Ada rasa menyesal dalam hatinya, jika saja dulu ia tau akan berakhir seperti itu ia tidak akan membuang waktu, ia akan dengan suka rela menghabiskan waktu bersama suaminya saat baru sampai di Bali. Tapi apa? Dia malah sibuk dengan ponselnya, malah mengajak Dia melihat pemandangan, padahal ia tau mereka baru saja sampai di hotel. Kenangan itu menjadi buah penyesalan baginya.

....

“Kau tidak ingin pulang? Ini sudah senja Nana.” Wanita itu tersentak saat mendengar temanya berucap. Ahh ia hampir saja lupa jika ada orang lain disebelah-Nya karena terlalu asyik melamun.

“Iya, aku tahu,” ucap Nana sembari menyambar tas yang sempat ia letak disamping-Nya.

Mereka beriringan kembali ke tempat mereka untuk mengistirahatkan tubuh malam ini. Nana yang dulu sangat cerewet tapi semenjak kejadian itu ia berubah seratus delapan puluh derajat, dingin dan tidak suka berbicara banyak.

“Kita makan apa malam mati, Na? Aku bosan makan mie instan terus,” ucap intan sambil melangkahkan di samping sang teman yang dari tadi mengacuhkannya.

“Terserah,”

Begitulah jawaban Nana setiap kali ditanya apa pun itu, kadang-kadang intan suka emosi berbicara dengan temannya satu ini, suka sekali menguji iman orang.

“Kalau orang bicara dijawab dengan benar! Gak semua juga kali dijawab terserah!” ucap intan menggebu-gebu mengeluarkan kesalnya. Tapi yang namanya Nana tetap saja diam, dia lebih tertarik dengan pikirannya sendiri dibandingkan mendengar perkataan intan.

Akhirnya mereka sampai!

Nana memasuki rumah yang hampir dua tahun ini ia tempati, rumah yang berlantai satu ini terlihat sederhana dan sangat nyaman bagi Nana selama ini. Ia melangkah memasuki ruang tamu, tanpa kata ia langsung menuju kamar, meninggalkan intan yang kembali berdecak kesal.

Setelah kejadian dua tahun lalu, Nana memilih untuk meninggalkan kota Jakarta. Baginya kota itu menyimpan banyak kenangan tapi juga menyimpan banyak luka yang belum bisa ia lupakan. Sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak kembali ke sana meski ada rasa rindu juga dengan keluarganya disana, tapi ia tak mempunyai banyak nyali untuk menghadapi kenyataan.

Jika Nana hampir dua tahun tinggal disini, berbeda dengan Intan yang baru beberapa bulan. Intan itu teman sekantor Nana, karena ingin mencari tempat tinggal yang murah dan nyaman akhirnya ia ditawarkan Nana untuk menjadi temannya.

Mungkin ia sudah mulai lelah hidup sendirian dengan rumah yang ia beli mendadak itu. Rumah memang sudah sah menjadi milik Nana dari awal, karena pemilik rumah tidak mengontrak tapi langsung menjualnya, merasa tertarik Nana langsung mengambilnya tanpa ragu. Saat mendengar intan sedang mencari tempat tinggal dengan menanyakan beberapa karyawan dikantornya, ia langsung tertarik untuk menawarkannya pada intan. Dan ... Berakhirlah seperti sekarang, mereka berdua malah terlihat seperti saudara yang kemana-mana selalu bersama.

******

Diam di gelapnya malam membuat diri menyadari bahwa kehidupan itu tidak harus selalu diperlihatkan, tapi ada kalanya luka itu harus disembunyikan bagaikan indahnya alam yang bersembunyi dibalik gelapnya malam.

Hitam bagaikan sebuah teman hidup wanita cantik yang sedang duduk termenung itu, hampir setiap malam ia melakukannya ini, melihat bintang-bintang di langit berharap menemukan dia diatas sana. Bukankah film-film berkata, seseorang yang telah pergi akan menjadi bintang di langit untuk menjaga orang yang disayanginya dikala kegelapan sedang menyelimuti. Nana terkekeh kecil dengan pikirannya, bagaimana bisa ia bisa samakan dengan film?

'Aku rindu' cicit Nana.

Dua kata itu selalu ia Ucapkan dikala rindu datang tanpa di undang, rindu pada seseorang yang sudah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Tapi itu bukan salahnya ... Salah pada takdir yang tidak ditakdirkan untuknya.

“Tidak ada gunanya menangisi seseorang yang sudah pergi ... Akan lebih baik jika dirimu mengirim doa terbaikmu,”

Nana tersentak saat mendengar ucapan seseorang, ternyata intan yang datang dengan membawa dua cangkir kopi.

Gadisitu meletakkannya dengan hati-hati cangkir yang mengeluarkan uapan asap dari air yang panas.

“Minumlah, biar bisa semalaman melihat bintang-bintang itu.” Untuk kali ini Nana tersenyum mendengar perkataan temannya, mungkin gadis itu merasa jengah dengan dirinya.

“Kamu tidak akan kembali ke Jakarta? Sudah hampir dua tahun, selama itu pula kamu bilang belum pernah pulang.” Ucap bercampur tanya kembali intan lontarkan

Intan tahu banyak tentang kehidupan Nana sebelumnya, karena tidak jarang mereka sering berbagi kisah-kisah hidup mereka yang lalu jika memiliki waktu luang. Padahal kisah mereka hampir sama, sama-sama ditinggalkan sang kekasih hati. Bedanya Nana ditinggalkan karena Allah berkehendak, tapi kekasih intan pergi karena pengkhianatan.

“Kamu sendiri kapan pulang ke Padang?” Intan mengerucut bibirnya, dirinya yang bertanya duluan malah dijawab dengan pertanyaan pula.

“Aku gak mau pulang! Buat apa kalau Cuma bikin sakit hati? Lebih baik disini bisa hidup bebas.” Nana mengangguk setuju.

“Kita sama. Sama-sama ditinggalkan, hanya saja caranya yang berbeda.” Intan terdiam mendengar ucapan Nana.

“Aku berpikir ... Untuk apa menyesalinya lagi? Sudah hampir satu tahun aku memendamnya, Bukankah lebih baik untuk dilupakan? Yang sudah pergi juga tidak mungkin kembali.” Nana menoleh menatap intan takjub. Tidak biasanya gadis itu berkata begitu bijak, biasanya dia lebih tertarik berbicara makanan dari pada soal patah hati.

“Kenapa?” tanya intan heran dengan tatapan Nana.

“Tidak apa-apa. Jadi setelah ini apa yang kau lakukan?”

“Mencari pengantinnya,” ucap intan sambil tersenyum yakin. “Sepertinya kau juga perlu melakukannya?”

“Tidak untuk sekarang!”

“Kenapa?”

“Karena aku belum menemukan yang terbaik seperti, dia.” Hanya itu? Tentu saja tidak. Dirinya banyak alasan untuk tidak jatuh cinta sekarang, mungkin ia belum siap untuk mencoba.

“Jika kamu mencari yang seperti, dia. Kamu tidak akan menemukannya! Karena manusia itu diciptakan berbeda, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.” Ucap intan bijak. “Lagi pula kita berdua telah dewasa, apalagi yang harus kita tunggu? Tidak mungkin juga kita hidup sendirian sampai tua,” meskipun dengan tertawa mengucapkannya, tapi Nana tahu ucapan itu memang benar dan sangat bijak.

“Tapi aku belum yakin, Tan.”

Intan tersenyum lebar, “mari kita bersamanya membuka lembaran baru. Memulai hidup baru kita dan melupakan masa yang sudah berlalu.”

Tak ada sahutan lagi membuat suasana kembali hening sejenak.

Kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Meskipun takdir sering mempermainkan seseorang belum tentu semua itu akan berakhir, hanya saja kesempatan yang tepat belum datang sempurna. Bagi Nana mencari seseorang bukan sempurna, apalagi seperti, dia.

Dirinya hanya sedang menunggu sebuah keajaiban dari Allah, benarkah jodoh itu sudah ada yang atur? Atau dirinya memang ditakdirkan untuk hidup sendiri sampai akhir hayatnya?

“Ayo tidur ... Besok kita harus kembali beremu dengan angka-angka membosankan, jadi siapkan tenaga yang banyak untuk menghadapinya,”

Nana hanya mengangguk Setuju, sebelum berlalunya ia sempatkan untuk mengucapkan selamat malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status