Share

Tak berubah

Matahari sudah menampakkan dirinya begitu tinggi, tapi sama sekali tak mengusik tidur nyenyak seorang wanita yang masih meringkuk manja didalam selimut tebal yang membukus tubuh mungilnya. Sepertinya tidurnya sangat nyenyak sampai ia tak menyadari jika ini sudah lewat dari kebiasaannya.

Nana mulai menggeliat saat merasa tubuhnya terguncang oleh seseorang. Intan menggeleng-geleng melihat Nana yang menguap dengan lebar, seolah mengatakan wanita itu masih mengantuk, tapi matanya malah tidak terbuka sedikit pun.

“Nana, bangun!” Panggil intan sedikit keras.

“Ehmm ... Apa, Tan?” Ucapnya serak, khas seorang baru bangun tidur.

“Ih ... Ini sudah jam sembilan, Na. Kamu gak mau serapan?” Emang masih bisa dikatakan serapan ya? Pikir Intan, ya sudahlah, terserah dirinya mau ngucapin apa.

“Nanti aja,” balasnya malas.

“Kebo banget sih, kalo tidur.” Sekali lagi intan Mencoba menarik tangan Nana supaya bangun. Tapi bukannya berhasil tangannya malah ditepis dengan kuat.

“Huh, pergi sana, Tan! Aku masih mengantuk,”

Intan mendengus kesal sembari meninggalkan kamar Nana. Mendengar derap langkah menjauh dari kamarnya, Nana langsung membuka matanya dengan berlahan. Efek bergadang sampai jam sebelas malam, ia menjadi bangun kesiangan sekarang, tapi biasanya ia tidak seperti ini. Merasa masih lemas tak puas tidur, ia memilih untuk duduk di ranjang dengan bersandar di kepala ranjangnya agar kepalanya tak sakit saat bangun tidur.

Setelah merasa cukup, Nana dengan langkah malas bangkit dan turun dari ranjang, ia menyambar handuk yang tergantung, melangkah masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dahulu sebelum beraktivitas. 

Tak butuh waktu lama ia sudah selesai dengan rutinitasnya, Nana keluar dengan wajah segar. Setelah memakai pakaian, ia keluar untuk mencari keberadaan Intan yang tidak terlihat dari saat ia mengusirnya tadi.

“Kemana itu anak?” tanya Nana pada dirinya sendiri.

Setelah berkeliling rumah, ia tetap tidak menemukan intan dimanapun. Nana menghembus nafas lelah, ia tahu pasti gadis itu pergi bergosip lagi. Itu sering terjadi saat dia menghilang tiba-tiba.

Dirinya tidak akan peduli apapun yang dilakukan intan, lebih baik sekarang dirinya mengisi perutnya dulu, tenaganya sudah terkuras habis rasanya. Saat Sampai di dapur ia tidak mendapati apapun, apa intan tidak meninggalkan sarapan untuknya? Sial!!

Tak ingin menahan lapar lebih lama lagi Nana berniat untuk keluar mencari sesuatu yang bisa dimakan. Saat ingin kembali ke kamar mengambil dompet dan ponselnya, suara ketukan pintu terdengar membuat ia kembali memutar langkahnya.

“Assalamualaikum, mbak Nana.” Nana sedikit terkejut melihat pembatu tetangganya datang ke rumahnya.

“Eh, Bu Dewi. Ada apa Bu?” tanya pada waktu setengah baya itu.

Ada apa gerangan, sampai asisten rumah tangga sebelah datang ke rumahnya? Meskipun penasaran ia tak akan berani bertanya, ia rasa itu sangat tak sopan.

“Ini, ibu bawa makanan untuk Nak Nana, dimakan ya ... Anggap aja sebagai salam perkenalan kita,” Ucapnya sambil menyodorkan sebuah mangkuk berisi ... Entah lah, Nana sendiri tidak tahu apa nama makanannya. Tapi sepertinya enak, membuat perut laparnya bergejolak untuk diisikan sekarang juga. Nana meringis malu, rasanya sedikit sungkan menerimanya.

“Tak perlu repot-repot, Bu.” Jawab Nana sungkan. 

“Tidak apa-apa nak, saling berbagi itu lebih baik.” Ucapannya meyakinkan Nana bahwa itu tidak merepotkan.

“Makasih Bu, pasti Nana makan.” Jawab Nana. “Bu Dewi gak mau masuk dulu?” ucap Nana basa-basi.

Wanita itu menggeleng, “ masih banyak pekerjaan, ibu kembali dulu ya. Jangan lupa dimakan.” Nana mengangguk sambil tersenyum yakin.

Rencananya untuk mencari makanan keluar tak jadi, sekarang ia sudah mendapatkan makanan gratis, lebih baik ia makan dari pada dibuang kan? 

Tapi ... Jika makanan ini dari rumah sebelah, berarti dirinya sedang memakan makanannya pria yang selalu membuatnya malu. Oh, astaga!! Dirinya sekali lagi harus bingung memilih, mau dimakan atau dibuang? Tapi jika dibuang perutnya sangat lapar sekarang, itu juga tidak baik. Tapi kalau dimakan dirinya tak mau berhutang Budi dengan mereka. 

Benar-benar membingungkan!

Pada akhirnya ia tetap memakannya. Tak ingin menyia-nyiakan makanan, dirinya juga sudah sangat lapar kalau harus mencari makanan diluar. Untuk kali ini gengsinya harus dibuang dulu, cacing-cacing diperutnya lebih penting ia selamatkan sekarang.

Rasa gurih langsung terasa saat lidahnya menyentuh makanannya. Wah, beruntung sekali Adri mendapat asisten rumah tangga sehebat ini, masakan Bu Dewi bisa mengalahkan restoran bintang lima. Benar-benar cocok di lidahnya.

Ia terus menyantap makanan itu sampai piring yang tadi penuh terkikis tak tersisa.

“Kenyataannya ... Alhamdulillah,” 

****

Intan kembali entah dari mana, memasuki rumah dengan bersenandung kecil, dirinya tak tahu saja jika macan betina sedang menunggu dirinya siap mengamuk kapan saja. Dengan gaya bak model ia menuju ruang tengah sambil menenteng tas belanja yang ia dapatkan entah dari mana, tapi yang pasti tas itu berlogo merek mahal.

“Kau dari mana!” 

Intan yang ingin duduk terlonjak kaget, ia bahkan menjatuhkan barang-barang belanjanya. Dengan cepat ia memungutnya, bisa rugi nanti barang mahalnya rusak.

“Astaga, Nana. Kamu bikin orang kaget aja,” ucapnya. Ia bahkan tidak menggubris pertanyaan yang Nana lontarkan.

“Aku bertanya Intan! Kamu kemana? Kok pagi-pagi ngilang? Dan apa itu ... Oh good, kau baru saja berbelanja tanpa mengajak ku?!” teriak Nana heboh.

 Intan berdecak kesal. Sejak kapan pula temanya ini begitu cerewet? Apa ia sekarang seperti seorang anak yang dimarahi karena pergi tanpa pamit sama orang tuanya. 

“Hay, nona. Apa kau lupa? Aku sudah mencoba mengajakmu tadi pagi,”

“Aku rasa tidak! Kamu Cuma membangunkan ku, aku yakin itu!” balas Nana tak mau disalahkan.

Tak mau berdebat lagi, Intan memilih meninggalkan Nana yang masih mengomel. Padahal kemarin-kemarin tidak seperti itu, ada apa gerangan dengan temannya? Tapi sepertinya intan lebih suka dia dengan yang sekarang, lebih terlihat ceria. 

Apa iya, Nana bisa berubah begitu cepat? 

Sedangkan Nana ia terdiam mematung setelah Sadar apa yang dilakukannya. Dirinya merasa malu sendiri, apa hak nya memarahi Intan? Toh, dirinya juga yang salah bangun kesiangan. Dan apa tadi ... Kenapa ia begitu banyak bicara akhir-akhir ini? Ada yang aneh pada dirinya.

Nana menarik selembar foto dari bawah bantalnya, ia tersenyum kecut melihat senyum manis pria disana.

“Aku hampir berhasil, mas. Kamu menginginkan aku bahagia kan? Sekarang aku mencoba untuk ikhlas, dengan begini ini aku bisa kembali bahagia.” Ia mengusap lembut foto ditangannya, ada gemercik rindu yang datang tiba-tiba. “Bagaimana kabar mu disana? Pasti lebih baik tanpa ku, seharusnya kamu membawaku, mas. Seharusnya kamu tidak perlu melindungi ku dulu, biar kita bisa selalu bersama-sama tanpa ada rasa penyesalan pada akhirnya,” ucap Nana sendu.

Air menetes dari matanya tanpa dapat dihentikan, dirinya rindu serindu rindunya pada sang kekasih, tapi apa boleh buat, Allah lebih sayang padanya. Jika waktu bisa diputar ia ingin kembali dimasa itu, masa dimana ia memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke Bali, mungkin sang suami masih hidup sekarang, pikirnya.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status