Share

Tak akan pernah melupakan

Suara memercik air mulai terdengar disambut dengan Suara senandung kecil dari sang pemilik tubuh yang sedang berada didalam kamar mandi kecil itu. Tak berapa lama Nana keluar dengan wajah yang terlihat lebih segar. Rasa lelahnya bekerja seharian rasanya sudah hilang saat melihat kasur yang begitu empuk dimatanya sekarang.

“Capeknya ... Mending aku tidur lebih awal sekarang,” ucap gadis itu pada dirinya sendiri.

Saat dirinya baru saja merebahkan tubuhnya, suara ketukan pintu terdengar membuat ia kembali mengumpat kesal. Ia melangkah dengan malas membukakan pintu, rasa ingin marah-marah saja dirinya hari ini, mungkin efek dari datang bulan, Pikirnya.

“Ada apa lagi?” tanya Nana dengan tampang malasnya. Sedangkan intan sudah berdiri diluar kamar dengan wajah tak bersalah.

“Cari makan yuk, Na? Bosan di rumah terus,” ajaknya.

“lagi malas, Tan. Besok aja ya, kan libur.” 

Intan menggeleng cepat, “laparnya sekarang, Na. Mana bisa tunggu besok!” Nana memutar mata malas, gadis didepannya ini suka sekali mendramatiskan keadaan.

“Ya udah, tapi kamu yang bayar.”

Intan yang sudah bahagia langsung kembali lesu. Mana mau dia, sedangkan uangnya saja tidak seberapa, seharusnya Nana yang traktir makan, kan uang sewa rumah cukup banyak untuk menambah keuangan perempuan itu.

“Mana bisa! Kan besok waktu bayar sewa rumah, kamu mau aku gak bayar?” tanya intan penuh harap, tapi Nana malah menatap tajam balik.

“Enak aja! Kalo gak bayar aku usir,” ucap Nana tanpa perasaan. “Udah, ayo pergi. Udah terlanjur lapar juga aku bicara sama kamu, Tan.”

Intan bersorak gembira, akhirnya ia tidak jadi mentraktir Nana. Bukanya dia pelit, tapi memang hidup dirantau itu tidak enak, harus pandai-pandai membagi pengeluaran jika tidak ingin menjadi gelandangan. Tinggal di rumah Nana yang cukup bagus membuat ia bersyukur, apalagi bayarannya tak terlalu mahal seperti kontrakan yang lain, jadi dirinya tidak akan pernah mau diusir. Hidup nyaman dengan uang sewa yang murah, suatu keberuntungan baginya yang tidak boleh dilewatkan.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju penjual makanan pinggir jalan yang tidak jauh dari kompleks mereka, hanya butuh beberapa menit untuk berjalan kaki akhirnya mereka sampai. Intan langsung berteriak menyebut pesanan mereka berdua. Tempat ini sudah menjadi langganan mereka berdua karena itu ia tidak terlalu sungkan. 

“Bang, pesan satenya satu ya.”  Si Abang tukang sate mengangguk siap. Untung tempatnya tidak terlalu ramai, membuat mereka mudah mencari tempat duduk yang lebih nyaman.

“Ini Mbak, satenya,” ucap sang tukang sate yang langsung disambut kedua perempuan itu dengan semangat.

Rasa sate yang lezat, ditambah dengan perut yang lapar membuat mereka makan dengan lahap. Hampir setengah jam mereka habiskan untuk nongkrong disana, setelah membayar sate yang mereka makan, mereka memilih untuk kembali ke rumah.

“Eh, bukankah itu tetangga baru kita?” Intan berucap sambil menunjuk-nunjuk seorang pria yang berjalan santai didepan mereka.

“Sepertinya,” balas Nana. “Apa kau berniat untuk menyapanya?” tanya Nana tak yakin.

“Ide yang bagus. Kita bisa berjalan bersama menuju rumah.” Nana berdecak kesal, seharusnya ia tidak mengucapkan itu tadi, dan sekarang apa? Ia bahkan belum berani bertatap muka langsung, bahkan kejadian pagi tadi saja sudah membuatnya sangat terhina. Dan sekarang bertemu lagi, dirinya yakin sekali pasti ujung-ujungnya dirinya akan di permalukan lagi.

Intan sudah melesat cepat mengejar sang tetangga, meninggalkan Nana yang bersungut-sungut ditinggalkan di jalan yang remang-remang cahaya ini, membuat ia merinding saja.

“Intan! Tunggu!” teriak Nana tapi tidak digubris oleh si empunya. Sekarang ia harus memilih, antara malu bertemu dengan tetangganya atau jalan sendiri dengan membayangkan wajah setan yang selalu berhasil menakuti nya.

'nasib punya teman ganjen, ya beginilah.’ Nana mengumpat pelan.

Pada akhirnya ia tetap mengejar intan, meskipun ia tetap memilih untuk tidak terlalu dekat dengan tetangganya, tapi cukup dekat untuk mendengar obrolan mereka berdua.

“Hay, mas Adri,” sapa intan saat berhasil menyusul.

Pria itu sempat terlonjak kaget, setelah itu ia dengan cepat menguasai dirinya agar tidak terlihat memalukan. Sedangkan si pelaku malah menyengir tak bersalah, benar-benar membuat Nana merasa malu melihat kelakuan intan.

“Hay juga,” balasnya terkesan cuek.

“Dari mana, Mas?” tanya intan Mencoba memulai obrolan saat merasa tetangganya itu tidak peka.

“Ada urusan,” lagi-lagi hanya jawaban singkat.

“Oh, ya. Kita belum berkenalan dengan baik kemarin, sekali lagi salam kenal ya, mas.” Nana memutar matanya malas, jelas sekali ia tahu temannya sedang mencoba akrab dengan si pria.

“Ya,”

Nana yang berada di belakang mereka berdua, sekuat tenaga menahan tawanya. Kasihan sekali nasib sahabatku, sudah capek-capek, eh malah diacuhkan.

“Kamu kalau mau ketawa, ya ketawa aja. Gak usah ditahan-tahan,” 

Ehh ... Nana tergagap tak percaya. Bagaimana pria didepannya ini bisa tahu? Ais, jadi malu kan. Nana memanyunkan bibirnya kesal, kenapa harus selalu memalukan untuk pertemuan mereka.

Sekarang giliran Intan yang tertawa, gadis itu tertawa kencang melihat Nana menjadi malu setelah terpergok curi-curi dengar obrolan mereka.

“Kalian ngeselin!” Bentak Nana kesal, ia berlalu lebih dulu meninggalkan dua sejoli itu dengan penuh kekesalan. Untung rumah sudah dekat, jadi dirinya sudah tak perlu takut lagi.

Intan menatap kepergian Nana dengan geli, terlihat sekali jika sahabatnya itu sedang salah tingkah saat terpergok Adri. Apa Nana mulai menyukai pria lain? Intan tersenyum lebar mendapati kabar gembira ini.

“Ada apa?” tanya Adri, bingung saat melihat gadis disampingnya tersenyum.

“Apa aku boleh bertanya sesuatu?” 

“Apa?” balas Adri yang terkesan dingin.

“Bagaimana menurutmu teman ku tadi? Sebagai seorang pria,” tanya Intan langsung tanpa sungkan.

Adrian mengakta alisnya, seolah berkata 'mengapa bertanya seperti itu?'

“Kau jangan salah paham, mas. Aku hanya iseng,” jelasnya buru-buru agar tak membuat kesalahpahaman.

“Biasa saja!”

Adrian berlalu pergi menuju rumahnya, meninggalkan intan yang terdiam mendengar perkataannya. Harapannya untuk comblang mereka tak jadi, karena ternyata si pria tak menyukai sahabatnya.

Intan melangkahkan kakinya menuju rumah. Entah kenapa ia malah merasa nyaman saat berbincang dengan Adri? Apa iya dirimu mulai menyukai tetangganya sendiri?  Intan menggeleng cepat dengan pikiran bodohnya, tidak mungkin ia begitu cepat menyukai seseorang.

.......

Malam semakin larut, rasa dingin sudah mulai menusuk tulangnya yang membuat ia merasa kedinginan. Intan memilih masuk ke dalam kamar. Ia baru saja dari teras, seperti biasanya ia melihat bintang-bintang yang bersinar terang disana dengan harapan yang sama. 

'Jika suatu hari nanti aku melupakan mu, maafkan aku. Tapi percayalah namamu dan cinta mu sudah ku simpan disudut hati yang terdalam. Kau akan selalu menjadi kenangan yang indah.’ rasanya perih saat ia menyadari bahwa dirinya mulai lupa dengan, dia. Batin Nana berteriak untuk melarang mencari pengganti dirinya, tapi hati? Tak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Ia merebahkan diri di atas tempat tidur. Ingin memejamkan mata tapi entah kenapa rasanya begitu sulit. Sekarang ia harus istirahat yang cukup, agar bisa menghadapi hari-hari yang melelahkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status