Semua yang ada di dalam ruangan terkejut saat melihat Debi menampar Maya. Ini pertama kalinya mereka melihat Debi yang sangat pendiam dan tertutup berani menampar Maya.
"Beraninya kamu menamparku," kata Maya dengan amarahnya.
"Iya, kamu memang pantas untuk di tampar."
"Kamu," kata Maya yang sudah siap melayangkan tangannya dan hendak menampar Debi, namun dengan cepat Debi menahannya.
"Jangan panggil aku seperti tadi," kata Debi penuh penekanan.
"Lalu, aku harus memanggilmu apa? Bukankah benar, jika anak yang tidak tahu asal usulnya dinamakan anak haram?"
"Kenapa kamu selalu menggangguku? Apa salahku kepada kamu?"
"Kamu salah karena kamu anak haram yang tidak diinginkan kehadirannya oleh kedua orang tua kamu."
Deg
Cairan bening mulai menggantung di sudut mata Debi. Ucapan Maya memang selalu berhasil membuat hati Debi remuk redam. Debi memang tidak pernah tahu keberadaan kedua orang tuanya, atau mungkin dia memang anak buangan yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Tapi, salahkah Debi hingga dia selalu mendapatkan perlakuan seperti ini.
Yah, bagi Debi sudah hal yang biasa untuknya mendapatkan penghinaan dari Maya seperti ini. Karena memang Maya selalu mengganggu Debi di tempat kerja, ataupun di kampus, namun tetap saja. Hati Debi selalu sakit ketika mendengar setiap kata yang dilontarkan Maya kepadanya.
"Apakah aku salah jika aku menjadi anak haram yang tidak tahu asal usul orang tuaku? Jika pun aku bisa memilih, aku juga tidak akan mungkin memilih menjadi anak buangan seperti ini," kata Debi dengan suaranya yang bergetar.
Semua mata yang melihat pertengkaran Debi dan juga Maya terdiam mendengar ucapan Debi yang terdengar penuh luka.
"Kamu ditakdirkan bukan untuk memilih anak haram, tapi untuk dibuang," balas Maya dengan senyuman penuh penghinaan.
"Iya, kamu benar. Aku memang ditakdirkan untuk dibuang, tapi orang sepertiku juga pantas untuk bahagia."
"Bahagia? Jangan mimpi kamu anak haram, orang seperti kamu tidak pantas untuk bahagia, tapi hanya pantas untuk dihina."
Deg
Selalu saja ada perkataan menyakitkan yang bisa Maya lontarkan kepadanya. Debi sudah tidak tahan lagi. Rasanya Debi ingin merobek mulut beracunnya. Debi melayangkan tangannya dan siap mencabik-cabik mulut Maya.
"Debi, sudah jangan dengarkan ucapan Maya," kata Lisa yang berusaha menenangkan Debi.
"Tidak Lisa, Maya harus diberikan pelajaran agar mulut beracunnya tidak sembarang berbicara."
"Tapi Debi, jika diteruskan, nanti kamu akan mendapatkan masalah dari Pak Lukman."
Mendengar nama managernya disebut. Debi langsung menurunkan tangannya. Yah, Debi tidak ingin membuat masalah di tempat kerja hingga akhirnya ia dipecat. Debi ingat betul, mencari pekerjaan zaman sekarang sungguh tidak mudah.
Maya menatap Debi sinis dengan senyum penuh penghinaan. Tidak lama kemudian, Maya berjalan meninggalkan mereka.
"Lebih baik kamu istirahat, biar aku yang mengantarkan pesanan ini," kata Lisa sembari mengambil nampan dari tanganku.
"Terima kasih, Lisa."
"Untuk apa kamu berterima kasih, itulah tandanya teman."
Lisa tersenyum yang Debi balas juga dengan senyuman. Lisa melangkahkan kakinya keluar dari dapur. Sementara kembali duduk di kursinya.
Debi merasa sangat beruntung bisa memiliki teman sebaik Lisa. Lisa tidak pernah memandang status Debi sama sekali. Debi kembali tersenyum sembari melihat Lisa yang sudah keluar dari dalam dapur.
Sang surya telah kembali ke peraduannya yang digantikan bintang memenuhi samudra langit. Pekerjaan yang melelahkan dan penuh perjuangan akhirnya selesai juga. Debi dan juga Lisa dan diikuti yang lainnya berjalan keluar dari caffe.
"Kamu yakin tidak mau aku antar, Debi?" kata Lisa yang menghentikan langkah mereka di parkiran.
"Iya Lisa, kamu tidak usah mengantarkan aku. Kos-kosanku dekat kok, jadi aku pulang sendiri saja."
"Tapi Debi, aku tidak akan mungkin membiarkan kamu pulang sendirian dengan keadaan kamu yang seperti ini."
"Tidak apa-apa Lisa. Kamu tenang saja, aku akan baik-baik saja kok."
Lisa menghela nafas berat. Sepertinya dengan usaha apapun Lisa membujuk Debi. Debi tetap akan kekeh dengan pendiriannya.
"Baiklah, tapi kamu janji ya! Harus pulang dengan selamat."
Debi mengangguk sembari tersenyum. Dengan berat hati. Lisa meninggalkan Debi seorang diri dengan sepada motornya.
Dretttt dretttt dretttt
Debi mengalihkan pandangannya saat mendengar suara ponselnya berbunyi. Debi mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Saat itu Debi melihat nama Marko yang tengah menghubunginya. Ternyata Marko sudah puluhan kali menghubunginya.
"Pasti Marko sangat marah denganku. Daripada aku mendapatkan omelan darinya, lebih baik aku biarkan saja," kata Debi yang menaruh ponselnya kembali ke dalam tas.
Debi melihat sekelilingnya yang sudah sepi. Semua rekan kerja Debi sudah pulang tanpa Debi sadari. Debi juga melaksanakan kakinya meninggalkan tempat itu.
Langkah Debi terhentikan saat di sampai di depan kos-kosannya. Debi melihat sepasang mata yang menatap tajam kearahnya. Dari tatapannya saja, Debi sudah bisa menebak betapa marahnya Marko kepadanya.
Debi tidak berani memulai percakapan. Yah, Debi hanya diam sembari melihat Marko yang tidak berhenti menatap kearahnya.
"Marko, sedang apa kamu di sini?" tanya Debi untuk memecah keheningan.
"Masih tanya sedang apa aku di sini?" balas Marko dengan nada tinggi.
Debi terkejut. Sebelumnya Debi tidak pernah melihat Marko semarah ini. Debi menjadi takut dibuatnya.
"Kamu tahu, aku sangat menghawatirkan kamu. Kenapa tadi kamu pergi dari rumah sakit? Bukannya tadi kamu sudah tidak akan pergi kemana-mana?" sambung Marko yang kali ini dengan nada kecewanya.
Seperti itulah Marko. Dia akan selalu khawatir dengan keadaan Debi sekecil apapun itu. Marko adalah sahabat dekat Debi yang sangat baik kepadanya. Terkadang Debi merasa beruntung bisa memiliki sahabat sebaik dia, namun terkadang pula Debi merasa jengkel dibuatnya. Seperti halnya saat ini. Terkadang Marko terlalu ikut campur dalam urusannya, dan juga terlalu mengatur. Meski sebenarnya Debi tahu Marko seperti itu karena ia sangat perhatian kepadanya.
"Maaf, aku berbohong sama kamu, Marko. Aku terpaksa melakukan itu kalau tidak kamu tidak akan mengizinkan aku pergi kerja," balas Debi dengan perasaan bersalah.
"Aku melarang kamu, karena kamu harus istirahat Debi. Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Besok kamu izin kerja dulu agar kamu bisa istirahat."
"Iya, besok aku sudah izin kerja kok. Tapi tidak janji bisa istirahat, karena besok aku mau bimbingan skripsi."
"Aku tidak mengizinkan kamu, besok kamu tetap harus istirahat. Masalah bimbingan skripsi bisa kamu lakukan setelah kamu benar-benar sehat."
"Memangnya kamu siapa seenaknya mengatur hidupku?" balas Debi yang mulai tersulut emosi. Yah, Debi sudah berusaha bersabar dengan sikap Marko, tapi Marko malah semakin membuat Debi marah.
"Aku seperti ini karena aku sayang sama kamu, Debi."
Deg
Ucapan Marko membuat Debi termenung seketika. Debi takut jika hal yang selama ini Debi takutkan terjadi juga.
"Sa...... sayang? Maksud kamu apa Marko?" tanya Debi terbata-bata. "Mungkin sudah waktunya aku mengungkapkan perasaanku kepada kamu, Debi. Semua perhatian yang aku berikan kepada kamu selama ini, itu karena aku mencintai kamu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sahabat. Apakah kamu mau Debi?" Deg Debi benar-benar terkejut mendengar pernyataan cinta dari Marko. Hal seperti inilah yang Debi takutkan selama ini. Tumbuh rasa cinta yang akan membuat persahabatan mereka menjadi berantakan. Sementara Debi belum siap dengan kata cinta yang datang di kehidupannya. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" bisik Debi dalam hati. Marko menggenggam kedua tangan Debi. Marko menatap Debi penuh harap. Tergambar jelas di wajah Marko jika dia tulis mencintai Debi. "Ya Tuhan, aku harus menjawab apa? Aku tidak mungkin menerima cinta Marko, karena aku
Pagi ini matahari sedang sembunyi di balik awan. Sepertinya dia juga tersipu malu melihat wajah Debi yang selalu menyimpulkan senyuman bahagia. Setelah Debi bertemu dengan dosen pembimbingnya. Rasanya Debi tidak ingin berhenti tersenyum. Bagaimana tidak, skripsi Debi di ACC dosen pembimbingnya dan tidak lama lagi Debi akan sidang skripsi. Ketegangan saat berhadapan dengan dosen pembimbingnya, membuat Debi merasa lapar. Saat Debi hendak berjalan ke kantin. Debi berpas-pasan dengan Marko. Debi tersenyum kepada Marko, namun Debi dibuat kecewa saat Marko tidak membalas senyumannya. Marko melangkahkan kakinya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya. "Sepertinya Marko sangat marah kepadaku. Ya Tuhan, kenapa rasanya sakit saat melihat sikpa Marko kepadaku? Aku harus kuat, aku tidak mau keadaan ini membuat aku terpuruk," bisik Debi dalam hati. Debi mengabaikan perasaan sedihnya, dan kembali me
Setelah puas menumpahkan kesedihannya. Debi berdiri dari duduknya. Debi melihat bayangannya di cermin. Berantakan dan penuh linangan air mata. Debi membasuh wajahnya dengan air dan berusaha menghilangkan bekas air matanya. Setelah dirasa bersih. Debi memperbaiki penampilannya dan langsung berjalan keluar dari dalam toilet dengan membawa tas dan tumpukan skripsinya. Cklek Sepasang mata Debi menangkap sosok laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu toilet wanita. Laki-laki itu terkejut saat tiba-tiba Debi membuka pintu. "Marko?" tanya Debi. "Aku ingin pergi ke toilet laki-laki, tapi aku ternyata salah toilet," balasnya tanpa memalingkan wajah dan langsung melangkahkan kaki. "Marko," panggil Debi yang membuat Marko menghentikan langkahnya, namun tetap tidak mengalihkan pandangannya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu?" sambung
Maya masih menunggu, namun Marko tak kunjung juga memberikan jawaban."Aku apa Marko?""A-aku tidak sedang bercanda. Aku serius dengan ucapanku.""Benarkah?" Maya kegirangan mendengar jawaban Marko, namun tidak dengan Marko yang hanya tersenyum kecut. "Ini demi Debi, Marko. Lakukan sandiwara ini agar Maya percaya," bisiknya.Maya tak hentinya tersenyum senang. Bahkan Marko bisa melihat hal itu. "Aku akan memberitahu teman-temanku kalau aku sama kamu sudah jadian.""U-untuk apa kamu memberitahu mereka? Apakah tidak sebaiknya kita merahasiakan hal ini?"Marko panik jika sampai Maya memberitahu hal ini kepada teman-temannya. Bukan tidak mungkin, kabar ini akan menyebar, dan yang paling Marko takutkan. Kabar ini sampai terdengar Debi."Biar semua orang tahu kalau kita sudah jadian." "Aku rasa itu tidak perlu Maya.""Kenapa? Kamu tidak ingin mengakui aku sebagai pacar kamu? Atau jangan-jangan kamu jadian denganku karena ada maksud tertentu?"Maya melihat Marko penuh selidik. Meski awal
Debi tersenyum saat melihat bayangannya di cermin. Cantik, itulah pujian pertama yang terucap dari bibir ranumnya. Debi mengambil tas kerjanya. Dengan kaki yang ringan. Debi melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar.Langkah Debi terus berderap keluar dari dalam kos-kosannya. Huh, udara sejuk membelai mesra wajah cantik Debi. Debi tersenyum menambah kecantikannya. Bahkan sang mentari pun sampai tersipu malu di ufuk timur. Merasa tak rela menerpa wajah cantik Debi dengan sinarnya. "Aku harus semangat bekerja. Yah, ini demi kelangsungan hidupku."Seperti biasa. Debi melangkahkan kakinya menuju tempat kerja. Sesampainya Debi di tempat kerja. Debi sudah disambut dengan obrolan Maya yang tidak mengenakkan hatinya. Debi berjalan mendekati dan sembunyi di balik pintu dapur. "Jangan sentuh aku," bentak Maya pada Lisa."Kalau kamu tidak mau aku menyentuhmu. Cepat kerja dan jangan banyak tingkah kamu.""Apa kamu tuli? Bukankah tadi aku sudah bilang sama kamu, kalau hari ini aku akan kelua
"Cukup! Kalian mau mendapatkan hukuman tambahan dari Pak Gibran ya?""Bilangin sama teman kamu, kalau punya mulut jangan suka nyinyir.""Kenapa? mulut-mulutku. Daripada kamu, suka membuat masalah." "Kamu ini benar-benar ya!"Maya melayangkan tangannya, namun Debi langsung menghentikannya."Lebih baik kamu keluar dari dapur Maya, agar kalian tidak bertengkar terus.""Memang aku mau keluar dari sini. Siapa juga yang betah satu ruangan sama wanita nyinyir dan anak haram kayak kamu.""Mulut kamu itu yang nyinyir. Kalau mau keluar, keluar saja sana. Sekalian tidak usah kembali lagi. Katanya mau keluar. Cepat keluar, biar cafe ini tenang dari masalah kamu.""Masalah kita belum selesai. Lain kali aku akan membalas kamu.""Iya, aku tunggu.""Sudah Lisa, jangan diladenin dia." Lisa yang hendak mengejar Maya keluar langsung ditahan Debi. "Sudah Lisa, biarkan saja.""Aku pingin ngelakban mulut nenek sihir itu. Katanya punya pacar baru, tapi aku yakin tidak lama pasti pacarnya akan minta putus
Ketika tombak cinta menghujam hati. Di saat itu lah tangis pecah tak terelakkan. Meski bibir berucap aku tak mencinta. Nyatanya Debi tak sanggup membendung tangisnya. Di depan pintu kos-kosannya yang ia kunci rapat-rapat. Debi menangis histeris. Dadanya terasa sakit dan juga perih melihat Marko bersama Maya tadi. "Apakah yang dimaksud Maya tadi adalah Marko? Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba Marko bisa bersama dengan Maya? Bukankah dulu jelas-jelas Marko tidak tertarik sama sekali dengan Maya?"Sekeras apapun Debi memikirkannya, tetap saja hatinya terluka. Ini terlalu menyakitkan, dan Debi baru pertama kalinya merasakan."Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Mungkinkah selama ini aku mencintai Marko tanpa aku sadari? Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Dulu, aku dan Marko hanya bersahabat, dan tidak ada cinta di hatiku."Debi menepis perasannya, meski air matanya tak bisa membohonginya. Marko melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Marko terus menambah kecepatan motornya yang beririn
Ada banyak sekali kenangan Debi bersama Marko di kos-kosannya ini. Debi melihat meja makan. Debi masih ingat betul bagaimana Marko selalu datang setiap pagi hanya untuk membawakan sarapan untuknya. Tapi tidak untuk sekarang. Semuanya sudah berubah, seperti halnya perasaan Marko kepadanya.Memori Debi mengingat saat pertemuannya dengan Marko di cafe. Marko terlihat terkejut saat menyadari keberadaannya, tapi Debi juga melihat tatapan yang amat sulit Debi artikan saat itu. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran Marko. Yang jelas Debi sakit saat melihat Marko bersama dengan Maya. Tok tok tokDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar suara pintu kos-kosannya ada yang mengetuk. Debi mendengarkannya lagi. Siapa tahu Debi salah dengar."Debi, keluar kamu." "Itu kan suaranya Ibu kos? Mau apa Ibu kos malam-malam ke kos-kosanku?"Debi menghapus air matanya. Setelah ia memperbaiki penampilannya yang berantakan. Debi membukakan pintu."Ada apa ya Bu?""Saya datang hanya ingin mengingatkan kamu. J