"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
Sang surya masih malu-malu di ufuk timur. Mungkin karena mega mendung menutupinya. Sinarnya tak dapat mengiringi aktivitas Debi di pagi hari. Jam menunjukkan pukul 07.30. Debi terkejut dan langsung beranjak dari tempat tidurnya.Pagi ini Debi telat bangun lagi tidak seperti saat masih di panti dulu. Setiap pagi selalu ada yang membangunkannya.Satu tahun yang lalu. Debi memutuskan untuk keluar dari panti dan hidup mandiri. Meski awalnya Debi tidak mendapatkan izin, namun Debi terus meyakinkan Ibu panti hingga Debi berada di kos-kosan ini.Debi berjalan keluar dari kamar mandi dengan baju kerja yang sudah ia kenakan."Ini kan mau hujan. Apakah tidak sebaiknya kamu izin dulu?"Debi terkejut saat mendengar suara laki-laki di dalam kosnya. Debi mencari sumber suara itu. Ternyata itu suara Marko yang tengah menyiapkan makanan di atas meja. Marko adalah sahabat dekat
Semua yang ada di dalam ruangan terkejut saat melihat Debi menampar Maya. Ini pertama kalinya mereka melihat Debi yang sangat pendiam dan tertutup berani menampar Maya."Beraninya kamu menamparku," kata Maya dengan amarahnya."Iya, kamu memang pantas untuk di tampar.""Kamu," kata Maya yang sudah siap melayangkan tangannya dan hendak menampar Debi, namun dengan cepat Debi menahannya."Jangan panggil aku seperti tadi," kata Debi penuh penekanan."Lalu, aku harus memanggilmu apa? Bukankah benar, jika anak yang tidak tahu asal usulnya dinamakan anak haram?""Kenapa kamu selalu menggangguku? Apa salahku kepada kamu?""Kamu salah karena kamu anak haram yang tidak diinginkan kehadirannya oleh kedua orang tua kamu."DegCairan bening mulai menggantung di sudut mata Debi. Uca
"Sa...... sayang? Maksud kamu apa Marko?" tanya Debi terbata-bata. "Mungkin sudah waktunya aku mengungkapkan perasaanku kepada kamu, Debi. Semua perhatian yang aku berikan kepada kamu selama ini, itu karena aku mencintai kamu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sahabat. Apakah kamu mau Debi?" Deg Debi benar-benar terkejut mendengar pernyataan cinta dari Marko. Hal seperti inilah yang Debi takutkan selama ini. Tumbuh rasa cinta yang akan membuat persahabatan mereka menjadi berantakan. Sementara Debi belum siap dengan kata cinta yang datang di kehidupannya. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" bisik Debi dalam hati. Marko menggenggam kedua tangan Debi. Marko menatap Debi penuh harap. Tergambar jelas di wajah Marko jika dia tulis mencintai Debi. "Ya Tuhan, aku harus menjawab apa? Aku tidak mungkin menerima cinta Marko, karena aku
Pagi ini matahari sedang sembunyi di balik awan. Sepertinya dia juga tersipu malu melihat wajah Debi yang selalu menyimpulkan senyuman bahagia. Setelah Debi bertemu dengan dosen pembimbingnya. Rasanya Debi tidak ingin berhenti tersenyum. Bagaimana tidak, skripsi Debi di ACC dosen pembimbingnya dan tidak lama lagi Debi akan sidang skripsi. Ketegangan saat berhadapan dengan dosen pembimbingnya, membuat Debi merasa lapar. Saat Debi hendak berjalan ke kantin. Debi berpas-pasan dengan Marko. Debi tersenyum kepada Marko, namun Debi dibuat kecewa saat Marko tidak membalas senyumannya. Marko melangkahkan kakinya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya. "Sepertinya Marko sangat marah kepadaku. Ya Tuhan, kenapa rasanya sakit saat melihat sikpa Marko kepadaku? Aku harus kuat, aku tidak mau keadaan ini membuat aku terpuruk," bisik Debi dalam hati. Debi mengabaikan perasaan sedihnya, dan kembali me
Setelah puas menumpahkan kesedihannya. Debi berdiri dari duduknya. Debi melihat bayangannya di cermin. Berantakan dan penuh linangan air mata. Debi membasuh wajahnya dengan air dan berusaha menghilangkan bekas air matanya. Setelah dirasa bersih. Debi memperbaiki penampilannya dan langsung berjalan keluar dari dalam toilet dengan membawa tas dan tumpukan skripsinya. Cklek Sepasang mata Debi menangkap sosok laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu toilet wanita. Laki-laki itu terkejut saat tiba-tiba Debi membuka pintu. "Marko?" tanya Debi. "Aku ingin pergi ke toilet laki-laki, tapi aku ternyata salah toilet," balasnya tanpa memalingkan wajah dan langsung melangkahkan kaki. "Marko," panggil Debi yang membuat Marko menghentikan langkahnya, namun tetap tidak mengalihkan pandangannya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu?" sambung
Maya masih menunggu, namun Marko tak kunjung juga memberikan jawaban."Aku apa Marko?""A-aku tidak sedang bercanda. Aku serius dengan ucapanku.""Benarkah?" Maya kegirangan mendengar jawaban Marko, namun tidak dengan Marko yang hanya tersenyum kecut. "Ini demi Debi, Marko. Lakukan sandiwara ini agar Maya percaya," bisiknya.Maya tak hentinya tersenyum senang. Bahkan Marko bisa melihat hal itu. "Aku akan memberitahu teman-temanku kalau aku sama kamu sudah jadian.""U-untuk apa kamu memberitahu mereka? Apakah tidak sebaiknya kita merahasiakan hal ini?"Marko panik jika sampai Maya memberitahu hal ini kepada teman-temannya. Bukan tidak mungkin, kabar ini akan menyebar, dan yang paling Marko takutkan. Kabar ini sampai terdengar Debi."Biar semua orang tahu kalau kita sudah jadian." "Aku rasa itu tidak perlu Maya.""Kenapa? Kamu tidak ingin mengakui aku sebagai pacar kamu? Atau jangan-jangan kamu jadian denganku karena ada maksud tertentu?"Maya melihat Marko penuh selidik. Meski awal