Share

Cinta dan Impian
Cinta dan Impian
Penulis: Nazila 12

Prolog

Sang surya masih malu-malu di ufuk timur. Mungkin karena mega mendung menutupinya. Sinarnya tak dapat mengiringi aktivitas Debi di pagi hari. Jam menunjukkan pukul 07.30. Debi terkejut dan langsung beranjak dari tempat tidurnya. 

Pagi ini Debi telat bangun lagi tidak seperti saat masih di panti dulu. Setiap pagi selalu ada yang membangunkannya. 

Satu tahun yang lalu. Debi memutuskan untuk keluar dari panti dan hidup mandiri. Meski awalnya Debi tidak mendapatkan izin, namun Debi terus meyakinkan Ibu panti hingga Debi berada di kos-kosan ini.

Debi berjalan keluar dari kamar mandi dengan baju kerja yang sudah ia kenakan.

"Ini kan mau hujan. Apakah tidak sebaiknya kamu izin dulu?" 

Debi terkejut saat mendengar suara laki-laki di dalam kosnya. Debi mencari sumber suara itu. Ternyata itu suara Marko yang tengah menyiapkan makanan di atas meja. Marko adalah sahabat dekat Debi. Hampir setiap hari Marko datang ke kos-kosan hanya untuk membawakan sarapan. 

"Kalau aku tidak bekerja, bagaimana aku bisa hidup? Kuliahku juga akan berhenti karena tidak punya biaya," ucapan Debi inilah yang tidak bisa membuat Marko membantah. 

"Ya sudah, kalau begitu sarapan dulu."

"Aku sudah telat Marko, kalau nanti aku sarapan malah tambah telat." 

Debi menyambar tasnya dan berjalan mendekati pintu.

"Aku berangkat dulu ya!" 

Debi melambaikan tangan dan berjalan keluar dari kos-kosannya. Sementara Marko hanya bisa melihat kepergian Debi dengan wajah kecewanya.

Dengan kaki jenjang Debi. Debi berjalan menyusuri jalanan beraspal. Debi selalu jalan kaki ketika berangkat kerja. Selain tempat kerjanya yang dekat dengan kos-kosan Debi. Debi juga bisa menghemat pengeluaran. 

Hari ini jalan raya sedikit sepi tidak seperti biasanya. Mungkin karena mendung membuat pengguna jalan lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah daripada keluar. 

Tidak lama Debi berjalan. Debi sudah melihat tempat kerjanya di ujung jalan. Debi menjadi gugup saat jam yang terikat di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 07.00 lebih. 

Saat Debi memastikan jalan raya bsepi. Debi langsung menyebrang. Mobil yang awalnya terparkir tidak jauh dari Debi. Tiba-tiba berjalan kearahnya. Debi tidak menyadari itu, begitu juga pengemudi mobil yang sibuk dengan ponselnya. Saat Debi hendak keluar dari badan jalan. Tabrakan yang tidak Debi inginkan terjadi. 

Brakkkk

Seketika Debi terjatuh dengan darah seger yang mengalir di keningnya. Debi melihat semua orang mengerumuninya, hingga pandangan Debi buyar dan semuanya menjadi gelap. 

Debi membuat matanya perlahan. Semua tampak beda sebelum Debi pingsan tadi. Debi melihat Marko di sampingnya dengan wajah cemas.

"Aku di mana Marko?" 

"Kamu ada di rumah sakit, tadi kamu tertabrak mobil, jadi aku membawa kamu ke sini," ucapan Marko seketika membuat Debi teringat dengan pekerjaannya. Debi melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 08.00.

"Aku harus segera pergi, tapi kalau Marko masih ada di sini pasti dia tidak akan mengizinkan aku pergi. Aku harus mencari cara agar bisa pergi dari sini. Lagian kan lukaku juga tidak terlalu parah kok," bisik Debi dalam hati. 

"Marko, boleh aku minta tolong?" 

"Iya Debi, kamu mau minta tolong apa?" 

"Aku lapar, tapi aku mau makan bakso, bukan itu," ucap Debi sembari menunjuk piring nasi dengan sayur dan lauk yang ada di atas meja. 

"Iya, aku akan membelikannya untuk kamu, tapi kamu harus janji tidak aaln pergi kemana-mana."

Debi mengangguk. Marko tersenyum dan langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Debi seorang diri. 

Setelah Debi melihat Marko hilang dibalik pintu. Debi langsung melepas infus yang menancap di tangannya. Debi meringis menahan sakit, namun Debi mengabaikan itu dan langsung beranjak dari tidurnya. Debi menyambar tasnya. Dengan menahan rasa sakit. Debi menyeret kakinya berjalan keluar. 

Suasana tempat kerja Debi seperti biasanya. Banyak anak muda yang keluar masuk untuk bersantai ria di dalam caffe. Sepasang mata menatap Debi tajam saat Debi masuk ke dalam caffe. Mata itu terus menatap Debi tanpa bergeming dari tempatnya berdiri. Debi sudah bisa menebak akan mendapatkan hukuman dari managernya. Debi mendesah frustasi. Entah hukuman apa yang akan Debi dapatkan nanti. Debi menyeret paksa kakinya sembari mengumpulkan keberaniannya.

"Selamat pagi Pak. Maaf, saya telat," sapa Debi. 

Manager Debi masih menatap Debi dengan sorot matanya yang tidak bersahabat. Dia masih diam belum membalas sapaan Debi. Kedua matanya teralihkan saat melihat perban putih yang melekat di kening dan tangan kiri Debi. Tiba-tiba Debi dikejutkan dengan senyum tipis di sudut bibirnya. 

"Selamat pagi, Debi. Kenapa kamu berangkat kerja? Seharusnya hari ini kamu istirahat dulu di rumah. Aku dengar, tadi kamu habis kecelakaan kan?" 

"Iya Pak, tapi saya sudah tidak apa-apa."

"Aku bangga punya karyawa seperti kamu, selalu ceria dan semangat bekerja." 

"Terima kasih, Pak," balas Debi tersenyum. 

"Kalau begitu saya permisi dulu ya Pak!" Sambung Debi. 

Melihat managernya mengangguk. Debi langsung berlalu pergi, dan bergabung dengan teman-temannya. Debi memulai pekerjaannya seperti biasa. 

Hari ini caffe sangat ramai tidak seperti biasanya. Debi dan teman-temanya menjadi kuwalahan dibuatnya. Apalagi dengan kondisi Debi yang sekarang membuat Debi rasanya ingin beristirahat sejenak. Debi keluar dari dapur membawa nampan berisikan pesanan yang sudah ditunggu. Saat itu tiba-tiba kepala Debi terasa pusing. Debi hampir saja menjatuhkan nampan yang dia bawa. 

"Debi, kamu harus kuat. Ini semua demi masa depan kamu, jangan sampai kamu dipecat karena melakukan kesalahan," bisik Debi dalam hati. 

Debi menyeret kakinya secara paksa menuju meja yang ia tuju. 

Setelah Debi selesai menaruh pesanan. Debi berjalan ke dapur kembali. Debi melirik kursi yang ada di ujung dapur. Saat Debi hendak berjalan ke sana. Debi disodorkan kembali nampan yang berisi pesanan. Debi mengalihkan pandangannya dan melihat Maya pelakunya. 

"Kamu pikir dengan kamu sakit seperti ini, aku akan kasihan dengan kamu dan membiarkan kamu istirahat? Jangan mimpi kamu anak haram," sarkasnya. 

Maya tersenyum sinis kepada Debi. Debi juga menatapnya sinis dengan mengambil nampan itu. Rasanya ucapan Maya membuat telinga Debi terbakar, namun Debi berusaha bersabar agar tidak terjadi perdebatan seperti biasanya. Yah, karena Maya memang suka membuat gara-gara dengan Debi dengan mengatainya anak haram. 

"Anak haram, lain kali jangan malas ya!" ucap Maya kembali. Maya tersenyum senang sebagai ungkapan kemenangannya.

Kali ini rasanya Debi sudah tidak tahan lagi. Maya sudah sangat keterlaluan kepadanya.

Brakkkk

Semua yang ada di dalam ruangan itu terkejut saat mendengar Debi menggebrak kursi. Debi melihat Maya dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat mereka yang melihatnya merasa takut. Maya pun menjadi semakin tertantang.

"Apa? Kamu berani denganku anak haram?" 

Plakkkk 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status