"Sa...... sayang? Maksud kamu apa Marko?" tanya Debi terbata-bata.
"Mungkin sudah waktunya aku mengungkapkan perasaanku kepada kamu, Debi. Semua perhatian yang aku berikan kepada kamu selama ini, itu karena aku mencintai kamu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sahabat. Apakah kamu mau Debi?"
Deg
Debi benar-benar terkejut mendengar pernyataan cinta dari Marko. Hal seperti inilah yang Debi takutkan selama ini. Tumbuh rasa cinta yang akan membuat persahabatan mereka menjadi berantakan. Sementara Debi belum siap dengan kata cinta yang datang di kehidupannya.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" bisik Debi dalam hati.
Marko menggenggam kedua tangan Debi. Marko menatap Debi penuh harap. Tergambar jelas di wajah Marko jika dia tulis mencintai Debi.
"Ya Tuhan, aku harus menjawab apa? Aku tidak mungkin menerima cinta Marko, karena aku tidak mau disibukkan dengan cinta hingga menghambat kuliahku, dan perjuanganku untuk menjadi orang sukses akan sia-sia. Tapi, sebenarnya aku juga menaruh hati dengan Marko. Laki-laki yang sangat tulus menerima statusku," bisik Debi dalam hati.
"Debi, kenapa kamu diam? Kamu juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku kan?"
"Marko, aku sudah sangat nyaman dengan persahabatan ini. Lebih baik, kita seperti ini saja ya!" balas Debi sembari menarik tangannya dari genggaman Marko.
"Tapi Debi, aku sangat mencintai kamu. Aku janji, aku tidak akan mengecewakan kamu," balas Marko penuh pengharapan.
Untuk saat ini, Debi benar-benar tidak ingin ada cinta diantara mereka. Debi harus memberikan alasan yang tepat kepada Marko agar dia mau mengerti.
"Marko, kamu tahu kan? Di dalam agama diajarkan jika tidak diperbolehkan untuk berpacaran. Dan aku tidak mau kita sampai dari syariat yang sudah ditetapkan."
"Tapi Debi, asal kita tidak melakukan di luar batas. Aku rasa tidak apa-apa kok."
"Iya, awalnya memang tidak akan melakukan di luar batas, tapi syaitan itu selalu ada di mana-mana. Jika kita terlena, pasti kita akan melakukannya. Mengertilah Marko. Kita akan lebih baik jika bersahabat."
Meski terlahir tanpa orang tua, namun Debi sangat memegang teguh pendiriannya untuk masalah agama. Yah, semua itu tidak terlepas dari Ibu panti yang mengajarinya.
"Tapi Debi, aku tidak bisa hanya seperti ini, aku sangat mencintai kamu," kekeh Marko.
Debi yang sudah menjelaskan dengan bahasa yang sangat baik agar tidak menyinggung perasaan Marko. Nyatanya sama sekali tidak diperdulikan Marko. Marko tetap saja dengan pendiriannya. Debi yang merasa lelah setelah pulang bekerja, membuat Debi tidak bisa mengontrol emosinya.
"Marko, aku harus bilang berapa kali agar kamu mau mendengarkannya? Kalau aku bilang tidak ya tidak."
"Tapi Debi......."
"Stop. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Lebih baik kamu pulang dan jangan menggangguku," kata Debi yang membentak Marko dan berjalan meninggalkannya.
Saat Debi hendak masuk ke dalam kos-kosannya. Langkah Debi terhentikan saat mendengar ucapan Marko.
"Baiklah, jika itu kemauan kamu. Aku akan pergi dan tidak akan pernah lagi mengganggu kamu. Semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu ini," kata Marko yang langsung melangkahkan kakinya.
Dengan perasaan yang hancur. Marko pergi meninggalkan tempat itu.
Debi membalik tubuhnya dan melihat Marko yang semakin jauh dari pandangannya. Debi memegang dadanya. Ada perasaan gemuruh yang sulit Debi artikan. Debi merasa sedih melihat tatapan sayu penuh kekecewaan Marko kepadanya.
"Maafkan aku, Marko," kata Debi penuh penyesalan.
Debi menghela nafas berat dan langsung berjalan masuk ke dalam kos-kosannya.
Brakkkk
Debi membanting pintu dengan keras. Debi melempar tasnya begitu saja dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Rasanya tubuh Debi sangat lelah, ditambah kejadian tadi membuat Debi semakin tidak karuan perasaannya.
"Ya Tuhan, apakah tadi ucapanku keterlaluan kepada Marko ya! Sampai Marko begitu sedihnya? Tapi jika aku tidak bersikap tegas seperti tadi, Marko tidak akan menyerah. Semoga, besok semuanya akan baik-baik kembali," kata Debi yang memejamkan matanya.
Debi berharap dengan memejamkan matanya, Debi bisa mendapatkan ketenangan.
Tap tap tap
Marko melempar jaketnya begitu saja kepada teman-temannya. Teman-teman Marko yang saat itu tengah berkumpul di dalam bar terkejut melihatnya.
"Marko, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Gilang heran.
Yah, ini pertama kalinya mereka melihat Marko menginjakkan kakinya ke dalam bar. Marko tidak menjawab pertanyaan Gilang. Marko menarik gelas yang berisikan alkohol dari tangan Gilang, dan meneguknya hingga tandas.
Melihat itu, teman-teman Marko semakin dibuat terkejut. Ini juga pertama kalinya Marko meminum alkohol. Padahal dulu Marko sangat anti dengan yang namanya alkohol.
"Marko, kamu kenapa?" tanya Bagas.
"Apakah aku tidak cukup baik?" kata Marko yang mulai hilang kesadarannya.
Yah, karena Marko tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Baru minum sedikit saja Marko sudah kehilangan kesadarannya.
"Kamu putus cinta?" tanya Bima menduga.
"Debi...."
"Kenapa dengan Debi?"
Marko terdiam dan melihat teman-temannya dengan tatapan penuh luka. Marko tidak pernah menyangka jika pernyataan cintanya akan menjadikan hatinya sehancur ini.
"Kamu ada masalah dengan Debi?" tanya Gilang.
"Debi, menolok cintaku," balas Marko sembari meneguk alkohol kembali.
"Debi menolok cinta kamu?" kata teman-teman Marko kompak.
Yah, bagaimana tidak. Penolakan cinta Marko menjadi topik terhangat yang membuat mereka sangat penasaran dan juga terkejut. Pasalnya Debi dan juga Marko adalah sepasang sahabat yang sangat dekat, tapi entah kenapa tiba-tiba Debi menolak cinta Marko.
"Kenapa Debi bisa menolok cintamu?" tanya Bagas penasaran.
"Debi tidak mau melanggar ajaran agama. Dia takut, jika aku dengannya akan melakukan perbuatan di luar batas nantinya. Tapi, dia malah tidak memperdulikan perasaanku," kata Marko dengan wajah sayunya yang penuh luka.
Gilang, Bagas dan juga Bima hanya diam melihat kesedihan yang tengah dirasakan Marko. Yah, ini pertama kalinya mereka melihat Marko teluka separah ini. Marko yang terkenal sangat taat, nyatanya mampu meneguk minuman haram yang tidak pernah disentuhnya selama ini.
"Apakah kita perlu bilang masalah ini sama Debi?" bisik Gilang.
"Aku rasa tidak perlu," balas Bima.
"Kenapa tidak perlu? Apakah kamu senang melihat Marko seperti ini?"
"Bukan begitu, tapi jika Debi sampai tahu kalau Marko mabuk kayak gini, bukankah Debi akan semakin tidak suka dengan Marko? Secara Debi kan sangat taat dengan ajaran agama. "
"Benar juga sih kata kamu."
Akhirnya ketiga teman Marko hanya bisa menghela nafas berat. Mereka merasa kasihan dengan Marko, namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menemani Marko yang masih mengoceh ke sana kemari sembari menangis.
"Marko."
Debi terbangun dari tidurnya sembari menjeritkan nama Marko. Yah, barusan Debi bermimpi buruk.
"Syukurlah, untung hanya mimpi. Tapi, kenapa aku bisa bermimpi seburuk ini kepada Marko. Sebenarnya apa yang tengah terjadi?" kata Debi menduga-duga.
Debi terdiam di tempat tidurnya sembari merenungi mimpinya tadi yang benar-benar membuat Debi sangat gelisah.
"Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Marko."
Pagi ini matahari sedang sembunyi di balik awan. Sepertinya dia juga tersipu malu melihat wajah Debi yang selalu menyimpulkan senyuman bahagia. Setelah Debi bertemu dengan dosen pembimbingnya. Rasanya Debi tidak ingin berhenti tersenyum. Bagaimana tidak, skripsi Debi di ACC dosen pembimbingnya dan tidak lama lagi Debi akan sidang skripsi. Ketegangan saat berhadapan dengan dosen pembimbingnya, membuat Debi merasa lapar. Saat Debi hendak berjalan ke kantin. Debi berpas-pasan dengan Marko. Debi tersenyum kepada Marko, namun Debi dibuat kecewa saat Marko tidak membalas senyumannya. Marko melangkahkan kakinya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya. "Sepertinya Marko sangat marah kepadaku. Ya Tuhan, kenapa rasanya sakit saat melihat sikpa Marko kepadaku? Aku harus kuat, aku tidak mau keadaan ini membuat aku terpuruk," bisik Debi dalam hati. Debi mengabaikan perasaan sedihnya, dan kembali me
Setelah puas menumpahkan kesedihannya. Debi berdiri dari duduknya. Debi melihat bayangannya di cermin. Berantakan dan penuh linangan air mata. Debi membasuh wajahnya dengan air dan berusaha menghilangkan bekas air matanya. Setelah dirasa bersih. Debi memperbaiki penampilannya dan langsung berjalan keluar dari dalam toilet dengan membawa tas dan tumpukan skripsinya. Cklek Sepasang mata Debi menangkap sosok laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu toilet wanita. Laki-laki itu terkejut saat tiba-tiba Debi membuka pintu. "Marko?" tanya Debi. "Aku ingin pergi ke toilet laki-laki, tapi aku ternyata salah toilet," balasnya tanpa memalingkan wajah dan langsung melangkahkan kaki. "Marko," panggil Debi yang membuat Marko menghentikan langkahnya, namun tetap tidak mengalihkan pandangannya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu?" sambung
Maya masih menunggu, namun Marko tak kunjung juga memberikan jawaban."Aku apa Marko?""A-aku tidak sedang bercanda. Aku serius dengan ucapanku.""Benarkah?" Maya kegirangan mendengar jawaban Marko, namun tidak dengan Marko yang hanya tersenyum kecut. "Ini demi Debi, Marko. Lakukan sandiwara ini agar Maya percaya," bisiknya.Maya tak hentinya tersenyum senang. Bahkan Marko bisa melihat hal itu. "Aku akan memberitahu teman-temanku kalau aku sama kamu sudah jadian.""U-untuk apa kamu memberitahu mereka? Apakah tidak sebaiknya kita merahasiakan hal ini?"Marko panik jika sampai Maya memberitahu hal ini kepada teman-temannya. Bukan tidak mungkin, kabar ini akan menyebar, dan yang paling Marko takutkan. Kabar ini sampai terdengar Debi."Biar semua orang tahu kalau kita sudah jadian." "Aku rasa itu tidak perlu Maya.""Kenapa? Kamu tidak ingin mengakui aku sebagai pacar kamu? Atau jangan-jangan kamu jadian denganku karena ada maksud tertentu?"Maya melihat Marko penuh selidik. Meski awal
Debi tersenyum saat melihat bayangannya di cermin. Cantik, itulah pujian pertama yang terucap dari bibir ranumnya. Debi mengambil tas kerjanya. Dengan kaki yang ringan. Debi melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar.Langkah Debi terus berderap keluar dari dalam kos-kosannya. Huh, udara sejuk membelai mesra wajah cantik Debi. Debi tersenyum menambah kecantikannya. Bahkan sang mentari pun sampai tersipu malu di ufuk timur. Merasa tak rela menerpa wajah cantik Debi dengan sinarnya. "Aku harus semangat bekerja. Yah, ini demi kelangsungan hidupku."Seperti biasa. Debi melangkahkan kakinya menuju tempat kerja. Sesampainya Debi di tempat kerja. Debi sudah disambut dengan obrolan Maya yang tidak mengenakkan hatinya. Debi berjalan mendekati dan sembunyi di balik pintu dapur. "Jangan sentuh aku," bentak Maya pada Lisa."Kalau kamu tidak mau aku menyentuhmu. Cepat kerja dan jangan banyak tingkah kamu.""Apa kamu tuli? Bukankah tadi aku sudah bilang sama kamu, kalau hari ini aku akan kelua
"Cukup! Kalian mau mendapatkan hukuman tambahan dari Pak Gibran ya?""Bilangin sama teman kamu, kalau punya mulut jangan suka nyinyir.""Kenapa? mulut-mulutku. Daripada kamu, suka membuat masalah." "Kamu ini benar-benar ya!"Maya melayangkan tangannya, namun Debi langsung menghentikannya."Lebih baik kamu keluar dari dapur Maya, agar kalian tidak bertengkar terus.""Memang aku mau keluar dari sini. Siapa juga yang betah satu ruangan sama wanita nyinyir dan anak haram kayak kamu.""Mulut kamu itu yang nyinyir. Kalau mau keluar, keluar saja sana. Sekalian tidak usah kembali lagi. Katanya mau keluar. Cepat keluar, biar cafe ini tenang dari masalah kamu.""Masalah kita belum selesai. Lain kali aku akan membalas kamu.""Iya, aku tunggu.""Sudah Lisa, jangan diladenin dia." Lisa yang hendak mengejar Maya keluar langsung ditahan Debi. "Sudah Lisa, biarkan saja.""Aku pingin ngelakban mulut nenek sihir itu. Katanya punya pacar baru, tapi aku yakin tidak lama pasti pacarnya akan minta putus
Ketika tombak cinta menghujam hati. Di saat itu lah tangis pecah tak terelakkan. Meski bibir berucap aku tak mencinta. Nyatanya Debi tak sanggup membendung tangisnya. Di depan pintu kos-kosannya yang ia kunci rapat-rapat. Debi menangis histeris. Dadanya terasa sakit dan juga perih melihat Marko bersama Maya tadi. "Apakah yang dimaksud Maya tadi adalah Marko? Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba Marko bisa bersama dengan Maya? Bukankah dulu jelas-jelas Marko tidak tertarik sama sekali dengan Maya?"Sekeras apapun Debi memikirkannya, tetap saja hatinya terluka. Ini terlalu menyakitkan, dan Debi baru pertama kalinya merasakan."Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Mungkinkah selama ini aku mencintai Marko tanpa aku sadari? Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Dulu, aku dan Marko hanya bersahabat, dan tidak ada cinta di hatiku."Debi menepis perasannya, meski air matanya tak bisa membohonginya. Marko melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Marko terus menambah kecepatan motornya yang beririn
Ada banyak sekali kenangan Debi bersama Marko di kos-kosannya ini. Debi melihat meja makan. Debi masih ingat betul bagaimana Marko selalu datang setiap pagi hanya untuk membawakan sarapan untuknya. Tapi tidak untuk sekarang. Semuanya sudah berubah, seperti halnya perasaan Marko kepadanya.Memori Debi mengingat saat pertemuannya dengan Marko di cafe. Marko terlihat terkejut saat menyadari keberadaannya, tapi Debi juga melihat tatapan yang amat sulit Debi artikan saat itu. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran Marko. Yang jelas Debi sakit saat melihat Marko bersama dengan Maya. Tok tok tokDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar suara pintu kos-kosannya ada yang mengetuk. Debi mendengarkannya lagi. Siapa tahu Debi salah dengar."Debi, keluar kamu." "Itu kan suaranya Ibu kos? Mau apa Ibu kos malam-malam ke kos-kosanku?"Debi menghapus air matanya. Setelah ia memperbaiki penampilannya yang berantakan. Debi membukakan pintu."Ada apa ya Bu?""Saya datang hanya ingin mengingatkan kamu. J
Debi mengambil tasnya yang ada di dalam loker. Langkah Debi berderap mendekati Lisa yang masih sibuk mengganti bajunya. "Kamu sudah selesai?" tanya Lisa sembari mengancingkan bajunya."Iya, aku sudah selesai.""Sepertinya kamu semangat banget pingin kerja di tempat baru.""Gimana ya Lis. Demi kebutuhan, aku harus semangat dalam melakukan apapun.""Iya, iya, aku paham kok bagaimana yang kamu rasakan." Setelah selesai mengganti baju. Lisa segera mengambil tasnya."Aku sudah selesai. Ayo kita berangkat.""Iya."Debi dan juga Lisa melangkahkan kaki mereka berjalan keluar dari dalam ruangan. Mereka yang tengah buru-buru sampai melupakan Maya yang memperhatikan mereka sedari tadi. "Mereka mau kemana ya! Daripada aku penasaran, mending aku ikutin saja mereka." Maya menyambar tas miliknya, dan berjalan mengikuti Debi dan juga Lisa. Angin malam menerpa wajah cantik Debi yang mengenakan helm. Karena perjalanan yang cukup jauh. Debi mengiyakan tawaran Lisa untuk naik motornya."Apa masih ja