Yuvi sepenuhnya terpaku di depan pintu. Dia memandang ke dalam ruangan dengan ekspresi tak percaya. Vincent benar-benar menikah dengan Melisa.Bagaimana mungkin?Andreas berkata dengan nada mengejek, "Yuvi, sekarang kamu sudah lihat sendiri, 'kan? Ini adalah pernikahan Vincent dan Melisa!"Yuvi menggeleng pelan, lalu mundur satu langkah.Di dalam aula, pembawa acara naik ke atas panggung. "Hadirin yang terhormat, makasih karena sudah meluangkan waktu untuk menghadiri pernikahan Pak Vincent dan Nona Melisa. Sekarang, aku umumkan bahwa pernikahan mereka resmi dimulai. Mari kita sambut kedua mempelai untuk naik ke pelaminan."Lampu di dalam ruangan tiba-tiba diredupkan. Alunan lembut "Pawai Pernikahan" mulai mengisi aula. Melisa menggandeng lengan Vincent dan berjalan perlahan menyusuri karpet merah. Keduanya menuju altar tempat pendeta menunggu.Pendeta menatap keduanya, lalu bertanya, "Nona Melisa, apakah kamu bersedia menikah dengan Pak Vincent, mendampinginya dalam suka maupun duka, d
Yuvi dipaksa pergi oleh Andreas. Pria itu menyeretnya ke sebuah hotel besar.Yuvi berusaha melepaskan diri dari Andreas. "Andreas, lepaskan aku. Nggak peduli kamu mau membawaku ke mana pun, aku nggak mau ikut!"Andreas tertawa dingin. "Yuvi, sebenarnya kamu takut apa sih?"Yuvi menjawab, "Aku bukan takut, tapi percaya sama Vincent. Karena sudah memilih seseorang, kita harus percaya padanya dan bukannya malah curiga. Aku percaya, Vincent nggak akan mungkin nikah dengan orang lain!""Yuvi, kamu ini bodoh banget. Vincent justru memanfaatkan kepercayaanmu padanya. Dia memanfaatkan kesabaran dan ketulusanmu untuk menipumu. Dia itu pria berengsek yang main dua hati dan mempermainkan perasaan wanita!""Diam, Andreas! Jangan hina pacarku seperti itu! Dia milikku dan siapa pun nggak boleh menghinanya!""Vincent milikmu?" Andreas memicingkan mata untuk menatap Yuvi. Dia menatap tubuh wanita itu dari atas ke bawah. "Maksudmu apa, Yuvi? Kamu sudah tidur sama Vincent?"Yuvi menatap tajam ke arah Vi
Vincent tahu bahwa dirinya sangat egois. Dia tidak bisa memberikan apa pun pada Yuvi, tetapi tetap saja memeluknya dengan erat karena begitu takut kehilangan wanita itu.Yuvi mengangkat tangannya dan melingkarkannya di leher Vincent. "Vincent, kamu cuma boleh jadi milikku. Mengerti?"Kamu cuma boleh jadi milikku!Ini adalah ungkapan posesif Yuvi terhadap Vincent.Vincent menangkup bagian belakang kepalanya dan mengecup bibir merah Yuvi.Namun, itu hanya ciuman singkat dan lembut yang tak berlangsung lama. Yuvi lalu berbaring manis di pelukannya.Vincent berkata, "Yuvi, tidur ya."Yuvi memang sudah merasa mengantuk. Tak lama setelah memejamkan mata, dia pun tertidur.Saat Yuvi terbangun, Vincent sudah tidak ada lagi di sana. Hari itu, ujian masuk SMA dimulai. Yuvi mengantar Molita sampai ke gerbang tempat ujian. Hari pertama ujian berjalan sangat lancar. Saat Molita pulang serta menghitung perkiraan nilainya, hasilnya hampir sempurna.Dulu, Vincent adalah juara provinsi untuk ujian masu
Yuvi menatap ke arah Vincent. "Vincent, malam ini kamu nggak pergi lagi?"Vincent baru saja berhasil menenangkan Melisa. Sekarang, dia diam-diam kembali ke rumah ini. Dia memang masih harus pergi, tetapi nanti saat menjelang subuh. Jadi, masih ada sedikit waktu tersisa.Vincent menjawab, "Kamu tidur dulu saja. Nanti kalau kamu sudah tidur, aku baru pergi."Yuvi menyingkap sedikit selimut sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. "Kalau begitu, kamu masuk dan tidur di sini juga. Di dalam hangat banget."Vincent pun masuk ke dalam selimut, lalu berbaring di samping Yuvi.Tubuh Yuvi yang lembut dan hangat langsung menempel padanya. Kepala mungilnya bersandar di lengan Vincent, lalu dengan sepasang mata beningnya yang besar, dia menatap Vincent dari bawah.Hati Vincent seperti runtuh seketika. Dia mengulurkan tangan dan memeluk Yuvi ke dalam dekapannya.Mereka berdua saling berpelukan. Vincent melirik ke arah Molita yang ada di samping Yuvi. Molita tidur di sisi dalam. Saat ini, adiknya s
Mata Vincent dipenuhi guratan merah. Dalam pelukan lembut dan suara pelan penuh penghiburan dari wanita itu, air matanya yang panas tetap jatuh satu per satu dan membasahi pipinya.Pria itu mengangkat tangannya dan memeluk Yuvi erat-erat. Pemuda itu menangis tak tertahankan. Suara tangisnya pecah dan terisak-isak. "Yuvi, aku sudah nggak punya ibu. Aku nggak punya orang tua lagi."Yuvi juga memeluknya dengan erat. Ini adalah pertama kalinya Vincent memperlihatkan sisi rapuh dan lembutnya di depan orang lain. Ini juga pertama kalinya dia menangis di hadapan seseorang.Yuvi mengangguk pelan. "Aku tahu, Vincent. Tapi, kamu masih punya Molita dan kamu juga masih punya aku. Aku akan selalu ada di sampingmu."Saat mengucapkannya, Yuvi berdiri sedikit berjinjit. Dia memegang wajah tampan Vincent dengan kedua tangannya dan mencium keningnya dengan lembut.Ciuman di kening adalah bentuk kepedulian dan rasa sayang yang paling tulus.Vincent kembali memeluk Yuvi erat-erat ke dalam dekapannya.....
Mata Vincent memerah. Selama ini, dia sangat jarang pulang ke rumah. Dia tidak ingin ibunya dan adiknya tahu apa yang sedang dia lakukan di luar. Dia juga tak ingin orang luar tahu tentang keberadaan keluarganya. Itu adalah caranya melindungi mereka.Namun hari ini, Lulu tiba-tiba jatuh sakit."Ibu, kenapa Ibu nggak bilang kalau Ibu sakit?"Lulu menjawab lemah, "Vincent, Ibu nggak merasa terlalu menderita kok ketika sakit. Soalnya, Yuvi merawat Ibu dengan sangat baik. Dia minta dokter memberikan obat yang terbaik buat Ibu.""Vincent, Ibu nggak mau menjadi beban buat kamu. Ibu cuma berharap kamu bisa hidup bahagia, tenang, dan aman. Kalau ayahmu masih ada, dia juga pasti akan menginginkan hal yang sama. Kamu ngerti, 'kan?"Selama ini, Lulu memang selalu berusaha membujuk Vincent agar tidak menapaki jalan hidup yang sama seperti ayahnya.Vincent menggenggam erat tangan ibunya. "Bu, tenang saja. Kali ini, semuanya pasti akan berakhir dengan berbeda."Air mata mengalir dari sudut mata Lulu