Home / Thriller / Cinta di Balik Palu Hukum / Bab 1: Jaksa dan Tersangka

Share

Cinta di Balik Palu Hukum
Cinta di Balik Palu Hukum
Author: Sania Larisa

Bab 1: Jaksa dan Tersangka

Author: Sania Larisa
last update Last Updated: 2025-07-26 21:58:03

Ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari itu penuh sesak. Suara ketukan palu hakim memecah suasana tegang yang membeku sejak pagi. Semua mata tertuju pada satu sosok di ruang persidangan—terdakwa kasus pembunuhan paling menghebohkan dalam tiga bulan terakhir.

“Sidang kasus nomor 0487/Pid.B/2025/PN JKTSEL dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” ucap hakim ketua dengan suara berat dan penuh wibawa.

Raisa Mahendra, jaksa muda berusia 28 tahun, berdiri tegak di balik meja jaksa penuntut. Seragam resminya rapi, rambut hitamnya diikat sederhana, dan wajahnya tampak tenang—tapi sorot matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik terdakwa di seberang ruangan.

Revan Aditya.

Lelaki tinggi tegap itu mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tangannya terborgol, namun wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit menantang. Tatapan matanya tidak menunjukkan rasa takut. Justru ada ketenangan yang mencurigakan di wajahnya, seolah ia tahu lebih banyak dari siapa pun di dalam ruangan itu.

"Saudara Revan Aditya, Anda didakwa atas pembunuhan berencana terhadap Letnan Kolonel (Purn) Satrio Wibowo, mantan atasan Anda di satuan pasukan elit. Apakah Anda memahami dakwaan ini?" tanya hakim dengan nada formal.

Revan mengangguk pelan. “Saya paham, Yang Mulia. Tapi saya tidak bersalah.”

Jawaban itu terdengar mantap, tanpa ragu sedikit pun. Raisa menatapnya dengan penuh analisis. Ia mempelajari bahasa tubuh Revan—gerak mata, nada suara, ekspresi wajah—mencari celah kebohongan. Tapi nihil. Tidak ada satu pun tanda-tanda khas tersangka bersalah yang ia pelajari selama bertahun-tahun di akademi dan pelatihan.

Yang justru ia rasakan adalah sesuatu yang lebih berbahaya: rasa penasaran.

Berbulan-bulan Raisa mempelajari kasus ini. Bukti memang mengarah pada Revan. Sidik jari di senjata, motif karena perselisihan bisnis, bahkan rekaman CCTV yang memperlihatkan mobil Revan berada di dekat lokasi kejadian. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Terlalu banyak kebetulan. Terlalu banyak bukti yang muncul “terlalu sempurna”.

Apakah Revan dijebak? Atau… memang ia sedang memainkan permainan yang lebih besar?

Sidang hari itu hanya membahas pembacaan dakwaan dan pengesahan barang bukti. Tidak ada drama besar. Namun atmosfer tegang tak pernah hilang dari awal hingga akhir. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Ketika hakim menskors sidang selama dua jam untuk memberi waktu pada tim kuasa hukum dan jaksa menyusun strategi pemeriksaan saksi, Raisa melangkah cepat keluar dari ruang sidang. Ia butuh udara segar. Tapi langkahnya terhenti saat sebuah suara berat memanggil dari belakang.

"Jaksa Mahendra."

Ia menoleh. Revan berdiri di dekat pintu, dijaga dua petugas. Tatapannya tajam, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang entah kenapa membuat Raisa merinding.

"Ayahmu pasti bangga padamu."

Darah Raisa langsung membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?” bisiknya, wajahnya menegang.

Revan hanya menatapnya dengan tenang. "Aku mengenalnya. Dulu."

Raisa terdiam. Nama ayahnya tidak pernah muncul dalam pembahasan kasus ini. Tidak ada media yang mengaitkannya. Tidak ada yang tahu bahwa ia adalah putri dari mendiang Hakim Bismar Mahendra—sosok terhormat yang tewas sepuluh tahun lalu dalam sebuah kecelakaan yang mencurigakan.

Ia nyaris melangkah maju, ingin bertanya lebih jauh. Tapi petugas sudah menarik Revan pergi. Ia hanya bisa menatap punggung pria itu menjauh, penuh pertanyaan yang menggantung di udara.

Setelah kembali ke ruangannya di Kejaksaan, Raisa tidak langsung membuka berkas. Ia terduduk diam, masih terpaku pada kalimat Revan. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah liontin kecil berbentuk palu hukum—kenangan terakhir dari sang ayah.

Kecelakaan itu… selalu terasa janggal. Ayahnya dikenal sebagai hakim bersih yang sedang menangani kasus besar sebelum meninggal. Kasus itu tiba-tiba lenyap dari berita. Saksi-saksi diam. Dan ibunya, sejak saat itu, memilih tutup mulut demi keselamatan mereka.

“Jangan pernah tanya lagi soal Ayahmu, Raisa. Fokus pada hidupmu sekarang.” Itu pesan terakhir ibunya sebelum Raisa masuk sekolah hukum.

Tapi sekarang, seorang tersangka pembunuhan tahu soal ayahnya. Dan ia menyebutnya… seolah punya hubungan pribadi.

Raisa membuka kembali folder kasus di laptopnya. Ia menelusuri catatan lama Letkol Satrio—korban dalam kasus ini. Semakin ia membaca, semakin banyak ia temukan hal janggal. Transfer dana besar ke rekening luar negeri. Perjalanan rahasia ke Singapura dan Thailand. Dan nama yang paling membuatnya terdiam: CV Garda Pratama.

Itu adalah perusahaan keamanan yang sekarang dipimpin oleh… Revan Aditya.

Jadi bukan hanya korban dan tersangka saling mengenal. Mereka pernah terlibat bisnis. Tapi kenapa hal itu tidak muncul dalam BAP?

Raisa berdiri, tubuhnya tegang. Ada yang tidak beres dalam kasus ini. Sangat tidak beres.

Lalu ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

"Kalau kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi 10 tahun lalu, dan siapa Letkol Satrio sebenarnya—datanglah ke halaman belakang kantor lama POM AD malam ini. Sendirian. Jangan bawa siapa pun."

Jantung Raisa berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar sedikit saat menggenggam ponsel.

Ini bukan lagi sekadar kasus pembunuhan. Ini sudah menjadi pribadi. Tentang ayahnya. Tentang masa lalu yang belum selesai. Dan mungkin, tentang kebenaran yang selama ini dikubur dalam diam.

Ia tahu ia harus membuat pilihan.

Menjadi jaksa yang patuh pada aturan?

Atau menjadi seorang anak yang ingin tahu siapa sebenarnya ayahnya… dan kenapa ia harus mati?

Dan di tengah dilema itu, satu nama terus berputar dalam pikirannya.

Revan Aditya.

Siapa kau sebenarnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 78 – Saat Kata Tak Lagi Perlu Disembunyikan

    Langit pagi Jakarta masih kelabu, tapi di lantai delapan gedung firma hukum tempat Nayla bekerja, suasananya justru terasa hangat. Aroma kopi baru diseduh memenuhi ruang kerja, bercampur dengan wangi kertas dan tinta printer yang baru digunakan.Arga datang lebih awal dari biasanya. Kemejanya masih sedikit kusut, rambutnya belum sepenuhnya rapi, tapi senyumnya muncul begitu melihat Nayla sudah duduk di meja kerjanya.“Pagi,” sapa Arga sambil meletakkan dua cangkir di meja. “Aku tahu kamu pasti belum sempat sarapan.”Nayla menoleh, matanya sedikit terkejut tapi tersenyum lembut. “Aku baru aja mau bikin kopi.”“Makanya aku datang duluan,” kata Arga dengan nada ringan. “Biar kamu nggak punya alasan buat kerja tanpa makan.”Mereka tertawa kecil. Ada sesuatu yang tenang tapi dalam di antara mereka, seperti percakapan yang sudah berulang tapi tetap berarti.Hari itu mereka harus menghadiri rapat di luar kantor, membahas proyek hukum komunitas—proyek yang dulu sempat menghubungkan Nayla deng

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 77 – Saat Rasa Tumbuh di Antara Baris Waktu

    Cahaya sore menembus tirai kaca ruang rapat, menimpa tumpukan dokumen dan layar laptop yang masih menyala. Ruangan itu hampir kosong kecuali dua orang yang masih duduk di meja ujung—Nayla dan Arga. Sejak beberapa minggu terakhir, mereka sering menjadi dua orang terakhir yang meninggalkan kantor.Suara ketikan Nayla berpadu dengan bunyi gesekan pena Arga di atas kertas laporan. Keduanya tenggelam dalam kesibukan, tapi ada kenyamanan sunyi di antara mereka—seolah waktu melambat setiap kali mereka berada di ruangan yang sama.“Kalau kamu terus kerja sampai segini malam, aku mulai curiga kamu bukan manusia,” ujar Arga tanpa menoleh, senyumnya samar. “Mungkin robot AI yang diprogram untuk menyelesaikan semua masalah hukum.”Nayla terkekeh kecil, bahunya sedikit bergetar. “Kalau aku robot, aku pasti udah error gara-gara revisi laporan dari kamu. Empat kali dalam seminggu, Arga. Empat kali.”Arga menutup berkasnya, menatap Nayla dengan mata teduh di balik kacamata. “Tapi kamu nggak pernah pr

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 76 – Seseorang di Antara Senja

    Hari pertama proyek bantuan hukum di Balai Kota dimulai dengan suasana sibuk dan sedikit kacau. Orang-orang berdesakan di aula besar, masing-masing membawa berkas dan harapan.Nayla tiba lebih awal, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam panjang. Ia terlihat profesional, tapi senyumnya lembut, menenangkan siapa pun yang berbicara dengannya.Sejak pagi, ia membantu menata sistem pengaduan warga bersama tim IT kecil dari pihak panitia. Salah satu dari mereka—seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan—menyapanya dengan ramah saat sedang memasang proyektor di pojok ruangan.“Permisi, Mbak Nayla, colokan listriknya di mana ya?”Nayla menoleh, lalu menunjuk ke arah meja panjang di samping. “Di bawah sana, dekat kaki meja. Tapi hati-hati, kabelnya agak longgar.”Pria itu tersenyum lebar. “Siap, terima kasih, Mbak hukum.”Nada suaranya ringan, tapi sopan. Nayla sempat tertawa kecil mendengar panggilan itu.Setelah acara dimulai dan suasana agak tenang, pria itu kembali mendeka

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 75 – Langkah Baru Nayla

    Pagi di kota terasa berbeda sejak pertemuan itu. Udara yang dulu terasa berat kini lebih ringan, meski masih menyimpan jejak kenangan yang tak bisa sepenuhnya dihapus.Nayla berdiri di depan jendela apartemennya, secangkir kopi di tangan, menatap matahari yang perlahan naik di antara gedung-gedung tinggi. Sinar kuningnya memantul di kaca, menyilaukan, tapi hangat—seperti mengingatkannya bahwa hidup, betapapun rumitnya, selalu punya cara untuk mulai lagi.Sudah tiga minggu sejak hari itu di kafe.Tiga minggu sejak ia menatap Raisa dan Revan, bukan lagi sebagai sosok yang ia cemburui, tapi sebagai bagian dari cerita yang telah membentuk dirinya.Awalnya aneh—keheningan tanpa chat, tanpa rencana pertemuan mendadak, tanpa Revan yang tiba-tiba muncul di ruang kerjanya dengan ekspresi lelah tapi hangat.Namun, dalam keheningan itu, Nayla menemukan ruang. Ruang untuk bernapas. Untuk menjadi dirinya sendiri lagi.Di meja kerjanya kini berserakan dokumen hukum, bukan lagi data tentang Mirror C

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 74 – Penyelesaian yang Tertinggal

    Langit kota sore itu seolah menyimpan kelegaan. Awan-awan lembut mengambang di antara jingga dan abu muda, dan angin berembus membawa aroma hujan yang tertinggal dari siang tadi. Raisa berdiri di depan kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu sering mereka datangi sebelum segalanya menjadi rumit.Ia baru turun dari mobil travel, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Di tangan kirinya ada map lusuh berisi berkas kasus sengketa rumah yang baru saja ia bantu selesaikan di daerah puncak—kasus yang diam-diam mengajarkan padanya tentang arti keadilan yang sederhana: membantu tanpa pamrih, bahkan ketika dunia tak lagi menyorot.Saat ia hendak masuk ke kafe, suara deru mobil terdengar mendekat. Mobil hitam berhenti di seberang jalan. Dari dalam, Revan keluar lebih dulu. Jasnya terbuka, kemeja putihnya tergulung sampai siku, dan wajahnya... sama seperti terakhir kali Raisa melihatnya: letih tapi hangat.Nayla menyusul dari sisi penumpang. Gadis itu terlihat ragu, langkahnya pelan, sep

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 73 – Jeda yang Tak Pernah Benar-Benar Tenang

    Hujan turun perlahan di luar jendela penginapan kecil di lereng puncak Bogor.Kabut menutupi pepohonan, dan suara alam menjadi satu-satunya hal yang terdengar selain detak jam di dinding.Di kursi kayu dekat jendela, Raisa duduk memeluk lutut, mengenakan sweater abu-abu longgar. Di meja kecil di depannya, sebuah ponsel bergetar—nama Revan muncul di layar.Ia menatapnya lama, tapi tidak menyentuh.Ponsel itu berhenti bergetar, lalu diam.Raisa menghela napas panjang. “Maaf, Rev. Aku cuma butuh berhenti sebentar…” bisiknya pelan, seolah kepada dirinya sendiri.Ia menatap ke luar jendela, ke arah lembah yang berkabut. Alam terasa damai, tapi di dalam dadanya, badai masih belum reda.Dua hari berlalu sejak kepergiannya dari Jakarta.Ia menyewa kamar sederhana di penginapan kecil milik pasangan tua. Setiap pagi, ia membantu membersihkan teras, membuat teh melati, lalu menulis catatan di buku kecilnya.Buku itu tidak berjudul. Hanya catatan refleksi—tentang cinta, kesetiaan, dan tentang bat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status