ホーム / Romansa / Cinta di Balik Palu Hukum / Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

共有

Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

作者: Sania Larisa
last update 最終更新日: 2025-07-26 21:59:34

Langit Jakarta sore itu tampak muram. Awan mendung menggantung berat, seolah menahan ribuan rahasia yang belum terungkap. Dari jendela ruang kerjanya di lantai tiga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Raisa Mahendra memandangi lalu lintas yang merayap lambat. Tapi pikirannya bukan pada jalanan itu.

Pikirannya tertambat pada satu nama.

Revan Aditya.

Kalimat yang diucapkan pria itu masih terngiang di telinganya. “Ayahmu pasti bangga padamu.” Kalimat yang seharusnya tak berarti apa-apa… jika bukan karena nama ayahnya nyaris tidak pernah disebut siapa pun di ruang publik. Bahkan rekan-rekan kerjanya pun tidak tahu kalau ia adalah putri dari mendiang Hakim Bismar Mahendra.

Bagaimana Revan tahu?

Apa dia hanya menggertak?

Atau… dia memang mengenalnya?

Raisa membuka laci kecil di meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah liontin kecil berbentuk palu hakim. Perhiasan tua itu adalah peninggalan terakhir dari ayahnya. Setiap kali ia memegang benda itu, ada kenangan yang kembali—tentang sosok ayah yang tegas, lembut, dan selalu membela keadilan, meski harus berhadapan dengan kekuatan besar.

Kematian sang ayah sepuluh tahun lalu begitu mendadak. Polisi menyebutnya sebagai kecelakaan mobil karena rem blong. Tapi Raisa dan ibunya tahu… itu bukan sekadar kecelakaan.

Malam itu, ayahnya pulang lebih larut dari biasanya. Ia tampak resah, mengunci dokumen di lemari besi, dan memeluk Raisa lebih lama dari biasanya. Keesokan paginya, ia ditemukan tewas di Tol Jagorawi.

Kasusnya ditutup cepat. Terlalu cepat.

"Sa?"

Suara itu membuyarkan lamunannya. Dimas Prasetya, rekan kerjanya sekaligus teman terdekatnya di kejaksaan, muncul membawa dua gelas kopi kaleng.

“Kamu kelihatan pucat. Sidang tadi terlalu menegangkan ya?” katanya sambil duduk di seberangnya.

“Bisa dibilang begitu…” Raisa mengambil gelas kopi tanpa minat.

Dimas memiringkan kepalanya. “Revan bilang sesuatu padamu?”

Raisa menoleh cepat. “Kok kamu tahu?”

“Wajahmu berubah waktu keluar ruang sidang. Aku bukan orang yang gampang melewatkan hal-hal aneh.”

Raisa menghela napas. “Dia… bilang sesuatu tentang ayahku.”

Dimas terdiam. Wajahnya menegang sesaat sebelum berubah datar.

"Dia cuma ingin mengganggu fokusmu. Jangan sampai termakan permainan tersangka, Sa. Kamu tahu sendiri ini bisa jadi kasus besar untuk kariermu."

"Ini bukan soal karier, Mas Dimas. Ini soal kebenaran."

Dimas menatapnya lama, lalu tersenyum kaku. “Hati-hati. Kadang mencari kebenaran bisa membuatmu kehilangan arah.”

Setelah Dimas keluar, Raisa menyalakan kembali laptopnya. Ia membuka berkas-berkas digital yang sebelumnya sempat ia telusuri secara pribadi: data korban, Letkol Satrio Wibowo. Di antara dokumen-dokumen itu, ia menemukan satu file laporan keuangan yang sebelumnya ia anggap tidak penting.

Ada transaksi sebesar Rp750 juta yang dikirim dari rekening pribadi Letkol Satrio ke sebuah perusahaan swasta bernama CV Garda Pratama—tepat dua minggu sebelum ia ditemukan tewas. Perusahaan itu ternyata milik Revan. Raisa meneguk ludah. Hubungan antara korban dan tersangka lebih dalam dari yang terlihat di permukaan.

Kenapa fakta ini tidak ada dalam BAP?

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan W******p masuk dari nomor tak dikenal:

“Kalau kamu ingin tahu siapa sebenarnya Letkol Satrio dan apa yang terjadi 10 tahun lalu, datang ke halaman belakang kantor lama POM AD pukul 22.00 malam ini. Sendirian.”

Raisa menggenggam ponselnya erat. Pikirannya langsung penuh dengan kemungkinan buruk—jebakan, ancaman, atau bahkan tipuan dari Revan. Tapi hati kecilnya berkata ini penting.

Sore itu ia pulang lebih awal. Di dalam apartemennya yang sunyi, ia berdiri lama di depan kaca sambil memandangi bayangannya sendiri. Ia bukan hanya jaksa hari ini. Ia adalah anak dari seorang ayah yang mati tanpa keadilan.

Pukul 21.40, Raisa meninggalkan apartemen dengan hoodie hitam dan celana jeans gelap. Ia menyembunyikan wajah di balik masker dan topi. Lokasi yang dituju hanya lima belas menit dari tempat tinggalnya. Kantor lama Polisi Militer sudah lama ditinggalkan. Kini bangunannya nyaris lapuk, hanya dijaga satpam tua yang lebih banyak tertidur di pos.

Ia tiba pukul 21.57. Suasana di halaman belakang gelap dan sepi. Hanya ada derik angin dan bunyi gesekan ranting. Raisa menyalakan senter kecil di ponselnya dan berjalan pelan ke tengah halaman.

“Jaksa Mahendra.”

Raisa berbalik cepat. Dari balik tembok tua, muncul seorang pria berjubah gelap. Wajahnya tertutup masker, tapi suaranya berat dan tenang.

“Kamu siapa?”

“Aku dulu ajudan ayahmu.”

Raisa terdiam. Dadanya langsung sesak.

“Ayahmu tidak mati karena kecelakaan. Ia dibunuh karena terlalu dekat pada kasus yang sama seperti yang kamu tangani sekarang.”

Raisa menggigil. “Kasus Revan?”

“Lebih dari itu. Ini tentang jaringan besar. Korupsi, perdagangan senjata, manipulasi bukti. Revan mungkin bukan pahlawan, tapi dia juga bukan penjahat. Dia hanya orang yang mencoba melawan sistem dari dalam.”

“Apa kamu punya bukti?”

Pria itu menyerahkan flashdisk. “Ini akan membantumu membuka semuanya. Tapi hati-hati. Mereka bisa saja ada di sekitarmu. Bahkan orang yang kamu percaya.”

Sebelum Raisa sempat bertanya lebih jauh, pria itu menghilang ke dalam bayangan. Raisa berdiri lama, menggenggam flashdisk itu erat. Kepalanya penuh dengan ribuan pertanyaan yang tidak bisa langsung dijawab.

Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa ayahnya hadir kembali. Bukan sebagai bayangan masa lalu, tapi sebagai alasan untuk menemukan kebenaran.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 10: Peluru di Ujung Malam

    Udara malam di halaman gudang tua itu serasa berhenti berputar.Dimas berdiri tegak dengan pistol teracung, senyumnya tipis namun mengancam. Lampu sorot dari gudang membuat bayangannya memanjang di tanah berdebu, seperti sosok iblis yang baru keluar dari neraka.“Berhenti di situ,” katanya pelan, tapi suaranya menusuk tajam.Matanya menatap lurus pada Raisa, bukan pada Revan atau Rangga. Seakan hanya Raisa yang benar-benar penting dalam permainan ini.Revan berdiri di depan Raisa, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. Tangannya perlahan meraih pistol di pinggang, matanya tak pernah lepas dari Dimas. “Kalau kau pintar, turunkan senjata itu sekarang.”Dimas tertawa kecil. “Lucu. Kau pikir bisa mengatur aku, Revan? Aku sudah terlalu lama bermain di arena ini. Satu peluru saja… dan segalanya selesai.”Raisa berusaha menahan gemetar. Nafasnya cepat, tapi ia memaksa dirinya tetap tegak. “Apa sebenarnya yang kau mau, Dimas? Kau sudah hampir membunuh Rangga, menghancurkan karierku, dan menja

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 9: Jejak dalam Bayangan

    Raisa berlari kecil keluar dari ruang sidang, jantungnya berdentum lebih cepat dari biasanya. Pesan terakhir dari Rangga masih terpampang jelas di layar ponselnya.> “Mereka… sudah dapat aku.”Tangannya bergetar. Nafasnya terengah. Dunia seakan runtuh. Rangga, saksi kunci yang bisa membongkar semua permainan kotor Dimas, kini hilang begitu saja.“Raisa!” suara tegas memanggil dari belakang. Revan menyusul, dengan wajah tegang. “Ada apa? Kau pucat sekali.”Raisa menelan ludah, mencoba menahan gemetar. “Rangga… dia diculik. Pesan terakhirnya barusan masuk. Mereka sudah tahu dia masih hidup.”Revan mengumpat pelan. “Sial. Berarti Dimas sudah bergerak lebih cepat dari dugaan kita.”Tanpa berpikir panjang, Raisa menunjukkan ponselnya. Revan melihat layar yang retak, lalu menatap Raisa dalam. “Kita tidak punya waktu. Kalau Rangga hilang, bukti-bukti akan lenyap. Dan kamu… akan jadi target berikutnya.”Raisa menggigit bibir. “Aku tidak bisa diam saja. Kita harus cari dia.”Revan menghela nap

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 8 : Api di Balik Sidang

    Gedung Kejaksaan Agung sore itu penuh dengan lalu-lalang orang. Para jaksa, staf, dan aparat keamanan mondar-mandir dengan wajah serius. Di ruang utama, persiapan sidang etik luar biasa sudah hampir rampung. Nama-nama besar dipanggil, berkas-berkas ditata, dan suasana tegang terasa hingga ke lorong-lorong panjang.Raisa berdiri di depan cermin toilet wanita, merapikan jas hitamnya. Wajahnya pucat, tapi matanya tajam. Hari ini bukan hanya soal karier. Hari ini adalah soal hidup dan mati—bagi Revan, bagi Rangga, bahkan bagi dirinya sendiri.Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Tama.> “Data cadangan sudah aman. Kalau kamu tidak keluar dari sidang ini, aku akan lepaskan semuanya ke publik.”– T.Raisa tersenyum tipis. Itu satu-satunya jaring pengaman yang membuatnya berani melangkah.Ketika sidang dimulai, ruang itu penuh sesak. Beberapa kursi diisi jaksa senior, di antaranya Bu Suryani yang duduk tegak dengan wajah serius. Di sisi lain, ada pejabat pengawas internal, pengacara internal,

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 7: Rencana di Atas Meja Gelap

    Langit Jakarta mendung pagi itu. Di balik kaca ruang kejaksaan, Raisa menatap langit dengan kepala penuh strategi. Ia tidak hanya akan mengungkap kebenaran, tapi menjatuhkan sistem kotor yang telah merenggut ayahnya—dan kini mencoba menghancurkan Revan. Tapi ia tahu, langkah selanjutnya harus sangat hati-hati. Tak bisa langsung membawa semua bukti ke pengadilan. Terlalu besar. Terlalu berbahaya. Raisa memerlukan sekutu. Bukan dari kejaksaan, bukan dari lembaga hukum resmi—melainkan dari seseorang yang masih punya nurani, meski berdiri di batas antara legal dan ilegal. Ia membuka ponselnya dan mengetik: > “Aku butuh akses ke media. Yang independen. Yang berani.” – R. Beberapa menit kemudian, balasan datang. > “Ada satu. Namanya Tama. Mantan jurnalis investigasi. Sekarang jalankan channel independen di YT dan platform luar. Tapi dia juga target mereka.” – Rangga. Raisa minta kontak Tama. Dan siang itu, mereka bertemu diam-diam di sebuah warung kopi tua di kawasan Cikini

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 6: Kebenaran yang Membakar

    Hujan turun deras malam itu, membasahi kaca depan mobil Raisa yang melaju pelan di jalan sepi arah Puncak. Jalanan licin, lampu jalan temaram, dan kabut mulai turun menambah ketegangan suasana. Di kursi sebelahnya, ponsel menyala dengan peta yang menunjuk lokasi bertanda merah: “Villa Arga Putih – Private Meeting Point.” Itu lokasi yang dikirim Rangga siang tadi melalui email. > "Datang sendiri. Tapi jangan benar-benar sendiri. Bawa hatimu yang paling jujur. Kebenaran kadang lebih kejam dari peluru." — Rangga. Pesan itu aneh, nyaris puitis. Tapi justru terasa nyata bagi Raisa, yang saat ini sedang melangkah ke dalam jurang kebenaran yang ia cari sejak kecil. Setiap tarikan napasnya terasa berat. Tangannya menggenggam kuat setir mobil, tapi jiwanya gamang. Pukul 21.18. Raisa tiba di villa kecil yang sudah terlihat usang dari luar. Dinding-dindingnya dipenuhi tanaman rambat liar. Sebagian genteng tampak rusak. Tapi lampu teras menyala—tanda tempat ini masih dihuni… atau sengaja

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 5: Jejak yang Terkubur

    Raisa menghabiskan malamnya dengan membaca ulang berkas Operasi Burung Hitam, mencocokkannya dengan bukti-bukti yang ia temukan beberapa hari terakhir. Setiap nama yang tercantum di dalam dokumen itu menguak potongan-potongan masa lalu ayahnya yang selama ini disembunyikan. Kolonel Wahyudi. CV Garda Pratama. Letkol Satrio Wibowo. Dan kini… seseorang bernama Rangga—anggota pasukan elit yang disebut Revan, saksi kunci yang katanya memegang rekaman kejadian malam pembunuhan. Tapi siapa Rangga? Pagi itu, Raisa memutuskan untuk menemui seseorang yang bisa memberinya informasi tanpa terlalu banyak bicara. Ia menyamar keluar dari kantor kejaksaan sebelum waktu makan siang. Di tangan kanannya, ia membawa secarik kertas bertuliskan alamat: Blok C10, Asrama TNI Bekasi. Itu adalah alamat lama keluarga Satrio sebelum ia pensiun. Raisa tidak berharap bisa bertemu keluarganya, tapi ia berharap bisa menemukan jejak lama—siapa saja yang pernah tinggal atau bekerja dengan Satrio, termasuk

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status