Home / Thriller / Cinta di Balik Palu Hukum / Bab 3: Saksi yang Menghilang

Share

Bab 3: Saksi yang Menghilang

Author: Sania Larisa
last update Last Updated: 2025-07-26 22:01:02

Pagi itu, Raisa datang lebih awal ke kantor kejaksaan. Matanya sembab karena tak tidur semalaman, tapi langkahnya mantap. Flashdisk yang ia terima malam sebelumnya masih tersimpan di saku dalam jaket. Ia belum membukanya. Belum siap untuk mengetahui kebenaran yang mungkin bisa mengubah seluruh hidupnya.

Di depan layar laptop, jari-jarinya sempat ragu sebelum akhirnya menyambungkan flashdisk itu ke port USB.

Folder terbuka.

Di dalamnya terdapat sejumlah dokumen rahasia—termasuk satu file video rekaman interogasi yang tak pernah masuk ke berkas resmi. Video itu menampilkan Letkol Satrio, korban pembunuhan, sedang berbicara dengan dua pria berseragam. Salah satunya disebut "Kolonel W".

"Jangan buat saya buka suara ke media," ucap Satrio dalam video itu.

"Kalau Revan tahu isi dokumen yang saya pegang, kalian semua tamat. Dia tidak sebodoh itu."

Raisa menahan napas. Itu jelas sebelum Satrio tewas. Dia tahu sesuatu—dan mencoba menggunakannya sebagai alat negosiasi. Tapi hasilnya? Ia malah terbunuh.

Raisa menutup laptop cepat. Ia tahu betapa berbahayanya informasi itu jika jatuh ke tangan yang salah.

Tak lama kemudian, Dimas masuk ke ruangannya dengan ekspresi cemas.

"Sa, kita ada masalah."

"Apa?"

“Saksi kunci kita, Asrul Rahman, supir pribadi Letkol Satrio—hilang sejak semalam. Tim penyidik sudah mencarinya ke rumah dan tempat kerjanya. Tidak ada jejak.”

Raisa berdiri dari kursinya. “Dia yang terakhir melihat Revan di hari kejadian. Tanpa kesaksiannya, dakwaan kita bisa lemah.”

Dimas mengangguk. “Itu kenapa kita harus cepat. Saya minta kamu ikut ke lokasi terakhir dia terpantau—rumah kontrakan kecil di daerah Jatinegara.”

Mereka pergi berdua, naik mobil dinas kejaksaan. Sepanjang perjalanan, Raisa melirik ke arah Dimas beberapa kali. Hatinya kini mulai penuh kecurigaan—bukan karena sikap Dimas berubah, tapi karena pesan dari pria misterius semalam: “Mereka bisa saja ada di sekitarmu.”

Apa mungkin Dimas juga terlibat? Atau hanya ketakutan biasa?

Rumah kontrakan Asrul terletak di gang sempit. Pintu rumah terbuka sedikit, seperti tidak dikunci dengan benar. Mereka masuk bersama dua penyidik lain.

Di dalam, kondisi rumah berantakan. Seperti ada yang mencari sesuatu dengan tergesa-gesa.

“Ini bukan kabur. Ini panik,” ucap Dimas sambil memeriksa lemari yang terbuka lebar.

Raisa melangkah pelan ke meja kerja kecil yang penuh kertas dan coretan. Di antara tumpukan itu, ada secarik kertas dengan tulisan tangan:

“Revan tidak bersalah. Tapi saya tidak bisa ikut mati. Maafkan saya.”

Tangannya gemetar saat membaca. Dimas mengambil kertas itu, membacanya dengan alis berkerut.

“Ini bisa jadi alat bantu pembela Revan kalau bocor ke pengacara.”

“Tapi juga bukti bahwa ada tekanan terhadap saksi,” sahut Raisa cepat.

Mereka kembali ke kantor dengan perasaan was-was. Hari itu, suasana ruang kejaksaan berubah. Beberapa staf terlihat gelisah, seolah mengetahui sesuatu tapi tak bisa bicara. Ada tekanan yang tidak terlihat, namun sangat terasa.

Sore harinya, Raisa menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Kali ini bukan pesan. Langsung suara.

“Kalau kamu masih penasaran tentang ayahmu, lihat berkas ‘Bismar Internal’ di ruang arsip lama.”

Telepon terputus sebelum Raisa sempat bertanya. Ia langsung turun ke lantai bawah, ke ruang arsip yang sudah jarang dipakai. Ruangan itu lembap, berdebu, dan lampunya berkedip lemah.

Setelah mencari beberapa saat, ia menemukan laci besi berlabel “Internal 2015”. Di dalamnya, ada berkas bertanda confidential. Tertulis: "Kasus: Bismar Mahendra – Catatan Internal Kejaksaan."

Tangannya gemetar saat membuka. Di dalamnya, ada catatan tentang “gangguan dalam proses pengamanan saksi kasus korupsi besar” yang melibatkan beberapa nama besar… termasuk Letkol Satrio, CV Garda Pratama, dan satu nama lain yang membuat Raisa ingin muntah: Dimas Prasetya.

Ia menutup map itu perlahan. Otaknya berputar cepat. Semua ini saling terhubung. Ayahnya, Revan, Satrio, dan Dimas. Lalu… apa sebenarnya peran Revan? Apa dia membalas dendam? Apa dia mencari keadilan… seperti dirinya?

Raisa kembali ke ruang kerjanya dengan wajah tegang. Beberapa staf meliriknya, tapi tak berani bertanya. Saat ia sampai di meja, ponselnya bergetar lagi.

Raisa menatap layar ponselnya. Bagian dari dirinya ingin percaya. Tapi bagian lain… takut itu semua hanya permainan. Namun satu hal pasti: jalan yang ia pilih sudah tidak bisa ditarik mundur.

Esok, bukan hanya tentang sebuah kasus.

Esok adalah tentang membuka luka lama. Dan mungkin, tentang menumbuhkan sesuatu… yang tak pernah ia duga akan muncul di tengah darah dan kebenaran.

Ia kembali menatap layar ponselnya, memastikan lagi apa yg dia lihat.

Pesan dari Revan Aditya.

“Aku ingin bicara. Empat mata. Besok, jam 11. Aku akan ungkap semuanya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 78 – Saat Kata Tak Lagi Perlu Disembunyikan

    Langit pagi Jakarta masih kelabu, tapi di lantai delapan gedung firma hukum tempat Nayla bekerja, suasananya justru terasa hangat. Aroma kopi baru diseduh memenuhi ruang kerja, bercampur dengan wangi kertas dan tinta printer yang baru digunakan.Arga datang lebih awal dari biasanya. Kemejanya masih sedikit kusut, rambutnya belum sepenuhnya rapi, tapi senyumnya muncul begitu melihat Nayla sudah duduk di meja kerjanya.“Pagi,” sapa Arga sambil meletakkan dua cangkir di meja. “Aku tahu kamu pasti belum sempat sarapan.”Nayla menoleh, matanya sedikit terkejut tapi tersenyum lembut. “Aku baru aja mau bikin kopi.”“Makanya aku datang duluan,” kata Arga dengan nada ringan. “Biar kamu nggak punya alasan buat kerja tanpa makan.”Mereka tertawa kecil. Ada sesuatu yang tenang tapi dalam di antara mereka, seperti percakapan yang sudah berulang tapi tetap berarti.Hari itu mereka harus menghadiri rapat di luar kantor, membahas proyek hukum komunitas—proyek yang dulu sempat menghubungkan Nayla deng

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 77 – Saat Rasa Tumbuh di Antara Baris Waktu

    Cahaya sore menembus tirai kaca ruang rapat, menimpa tumpukan dokumen dan layar laptop yang masih menyala. Ruangan itu hampir kosong kecuali dua orang yang masih duduk di meja ujung—Nayla dan Arga. Sejak beberapa minggu terakhir, mereka sering menjadi dua orang terakhir yang meninggalkan kantor.Suara ketikan Nayla berpadu dengan bunyi gesekan pena Arga di atas kertas laporan. Keduanya tenggelam dalam kesibukan, tapi ada kenyamanan sunyi di antara mereka—seolah waktu melambat setiap kali mereka berada di ruangan yang sama.“Kalau kamu terus kerja sampai segini malam, aku mulai curiga kamu bukan manusia,” ujar Arga tanpa menoleh, senyumnya samar. “Mungkin robot AI yang diprogram untuk menyelesaikan semua masalah hukum.”Nayla terkekeh kecil, bahunya sedikit bergetar. “Kalau aku robot, aku pasti udah error gara-gara revisi laporan dari kamu. Empat kali dalam seminggu, Arga. Empat kali.”Arga menutup berkasnya, menatap Nayla dengan mata teduh di balik kacamata. “Tapi kamu nggak pernah pr

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 76 – Seseorang di Antara Senja

    Hari pertama proyek bantuan hukum di Balai Kota dimulai dengan suasana sibuk dan sedikit kacau. Orang-orang berdesakan di aula besar, masing-masing membawa berkas dan harapan.Nayla tiba lebih awal, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam panjang. Ia terlihat profesional, tapi senyumnya lembut, menenangkan siapa pun yang berbicara dengannya.Sejak pagi, ia membantu menata sistem pengaduan warga bersama tim IT kecil dari pihak panitia. Salah satu dari mereka—seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan—menyapanya dengan ramah saat sedang memasang proyektor di pojok ruangan.“Permisi, Mbak Nayla, colokan listriknya di mana ya?”Nayla menoleh, lalu menunjuk ke arah meja panjang di samping. “Di bawah sana, dekat kaki meja. Tapi hati-hati, kabelnya agak longgar.”Pria itu tersenyum lebar. “Siap, terima kasih, Mbak hukum.”Nada suaranya ringan, tapi sopan. Nayla sempat tertawa kecil mendengar panggilan itu.Setelah acara dimulai dan suasana agak tenang, pria itu kembali mendeka

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 75 – Langkah Baru Nayla

    Pagi di kota terasa berbeda sejak pertemuan itu. Udara yang dulu terasa berat kini lebih ringan, meski masih menyimpan jejak kenangan yang tak bisa sepenuhnya dihapus.Nayla berdiri di depan jendela apartemennya, secangkir kopi di tangan, menatap matahari yang perlahan naik di antara gedung-gedung tinggi. Sinar kuningnya memantul di kaca, menyilaukan, tapi hangat—seperti mengingatkannya bahwa hidup, betapapun rumitnya, selalu punya cara untuk mulai lagi.Sudah tiga minggu sejak hari itu di kafe.Tiga minggu sejak ia menatap Raisa dan Revan, bukan lagi sebagai sosok yang ia cemburui, tapi sebagai bagian dari cerita yang telah membentuk dirinya.Awalnya aneh—keheningan tanpa chat, tanpa rencana pertemuan mendadak, tanpa Revan yang tiba-tiba muncul di ruang kerjanya dengan ekspresi lelah tapi hangat.Namun, dalam keheningan itu, Nayla menemukan ruang. Ruang untuk bernapas. Untuk menjadi dirinya sendiri lagi.Di meja kerjanya kini berserakan dokumen hukum, bukan lagi data tentang Mirror C

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 74 – Penyelesaian yang Tertinggal

    Langit kota sore itu seolah menyimpan kelegaan. Awan-awan lembut mengambang di antara jingga dan abu muda, dan angin berembus membawa aroma hujan yang tertinggal dari siang tadi. Raisa berdiri di depan kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu sering mereka datangi sebelum segalanya menjadi rumit.Ia baru turun dari mobil travel, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Di tangan kirinya ada map lusuh berisi berkas kasus sengketa rumah yang baru saja ia bantu selesaikan di daerah puncak—kasus yang diam-diam mengajarkan padanya tentang arti keadilan yang sederhana: membantu tanpa pamrih, bahkan ketika dunia tak lagi menyorot.Saat ia hendak masuk ke kafe, suara deru mobil terdengar mendekat. Mobil hitam berhenti di seberang jalan. Dari dalam, Revan keluar lebih dulu. Jasnya terbuka, kemeja putihnya tergulung sampai siku, dan wajahnya... sama seperti terakhir kali Raisa melihatnya: letih tapi hangat.Nayla menyusul dari sisi penumpang. Gadis itu terlihat ragu, langkahnya pelan, sep

  • Cinta di Balik Palu Hukum   Bab 73 – Jeda yang Tak Pernah Benar-Benar Tenang

    Hujan turun perlahan di luar jendela penginapan kecil di lereng puncak Bogor.Kabut menutupi pepohonan, dan suara alam menjadi satu-satunya hal yang terdengar selain detak jam di dinding.Di kursi kayu dekat jendela, Raisa duduk memeluk lutut, mengenakan sweater abu-abu longgar. Di meja kecil di depannya, sebuah ponsel bergetar—nama Revan muncul di layar.Ia menatapnya lama, tapi tidak menyentuh.Ponsel itu berhenti bergetar, lalu diam.Raisa menghela napas panjang. “Maaf, Rev. Aku cuma butuh berhenti sebentar…” bisiknya pelan, seolah kepada dirinya sendiri.Ia menatap ke luar jendela, ke arah lembah yang berkabut. Alam terasa damai, tapi di dalam dadanya, badai masih belum reda.Dua hari berlalu sejak kepergiannya dari Jakarta.Ia menyewa kamar sederhana di penginapan kecil milik pasangan tua. Setiap pagi, ia membantu membersihkan teras, membuat teh melati, lalu menulis catatan di buku kecilnya.Buku itu tidak berjudul. Hanya catatan refleksi—tentang cinta, kesetiaan, dan tentang bat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status