Suasana di dalam gua yang semula tenang kini berubah menjadi tegang. Raka dan Putri Dyah Pitaloka baru saja selesai makan ayam hutan bakar yang sederhana namun sangat dibutuhkan setelah pelarian panjang mereka. Dengan api yang kecil di tengah gua, mereka mencoba menghangatkan diri, sementara dalam hati mereka berdua, ketakutan dan kecemasan tak bisa hilang begitu saja.
Putri mengangguk pelan, merasa lebih tenang setelah makan, meskipun matanya masih menunjukkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Raka duduk berseberangan dengannya, memperhatikan putri yang tampak lebih lemah dari biasanya. Sekalipun dia baru saja diselamatkan dari perampok, ekspresi ketakutan masih tergambar jelas di wajahnya.Putri: "Raka... Apakah kita akan terus berlari seperti ini? Aku takut... takut jika mereka akan mengejar lagi."Raka: "Kita tak punya pilihan, Putri. Namun, selama aku di sini, aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyentuhmu."Kedua mata mereka salingLangit Galuh pagi itu berpindah dari kelabu menjadi semburat keemasan. Matahari berjuang menembus kabut duka yang menyelimuti Istana Kawali.Di alun-alun dalam, bendera hijau tua berkibar pelan. Sulaman emas berbentuk matahari menghiasi kain, simbol kejayaan kerajaan. Namun, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti senar kecapi yang nyaris putus.Di ruang takhta, Prabu Linggabuana duduk di singgasana kayu jati. Ukiran rumit menghiasi kayu, dan mahkotanya berkilau di bawah sinar obor.Matanya, biasanya penuh wibawa, kini membawa bayang kelelahan. Beban kerajaan seolah menggerogoti semangatnya.Mahapatih Surawisesa berdiri di sisinya, memegang gulungan bambu. Laporan dari Sindangkasih tertera di dalamnya. Patih Gajah Langu menjaga posisi, tangan di gagang pedang. Wajahnya keras seperti karang.Dyah Pitaloka duduk di kursi kecil dekat ayahnya. Gaun biru lautnya disulam bunga kenanga. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh badai yang hanya Raka kenali.Raka berdiri di sudut ruangan, di a
Langit Galuh pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah alam merasakan ketegangan yang kian mencekik istana. Angin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang gugur, seakan berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kerajaan. Di dalam ruang perang, Patih Gajah Langu berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja batu, menunjukkan garis-garis perbatasan Galuh dan kerajaan timur Majapahit, musuh lama yang kini dicurigai sebagai dalang serangan di Mandalawangi.Raka berdiri di sisi ruangan, di antara para prajurit senior yang jauh lebih berpengalaman. Jubah sederhananya kontras dengan zirah mengkilap yang dikenakan yang lain, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tak kalah kuat. Ia mendengarkan dengan saksama saat Patih Gajah Langu menjelaskan temuan terbaru: sebuah laporan dari mata-mata yang menyebutkan adanya pergerakan pasukan kecil di perbatasan timur, dekat hutan Sindangkasih.“Ini bukan serangan terbuka,” kata Patih Gajah Langu, suaranya berat. “Mereka ber
Langit Galuh mulai memerah saat matahari terbenam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di taman rahasia, Dyah Pitaloka dan Raka masih duduk di tepi kolam, tenggelam dalam keheningan yang nyaris suci. Angin malam membelai lembut, membawa aroma melati dan kenanga, seolah alam sendiri ingin memperlambat waktu untuk mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getar ketegangan yang tak terucapkan seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.Dyah memandang bayangan wajahnya di permukaan kolam, lalu menoleh ke arah Raka. “Kau tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tersapu angin, “di seluruh istana ini, hanya di sini aku merasa… bebas. Hanya bersamamu.”Raka tersentak. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti pukulan lembut yang mengguncang dadanya. Ia menunduk, tak yakin bagaimana menjawab. “Gusti, aku hanyalah seorang prajurit. Kebebasan yang kau rasakan… mungkin hanya ilusi sementara.”Dyah menggeleng, matanya menyala dengan tekad yang jarang ia tunj
Langit Galuh pagi itu terasa lebih terang, seolah alam turut merayakan kembalinya Tim Elit Khusus dari misi berbahaya mereka. Burung-burung kecil berkicau riang di dahan-dahan pohon kelapa, dan embun pagi berkilau seperti permata di ujung daun. Namun, di balik kemegahan Istana Kawali, suasana tak sepenuhnya damai. Kemenangan atas perampok di hutan Mandalawangi membawa kelegaan, tetapi juga meninggalkan pertanyaan yang menggantung: siapa dalang di balik serangan itu? Dan apakah ancaman benar-benar telah berakhir?ruang takhta utama, Prabu Linggabuana duduk dengan wajah tegang. Jubah kebesarannya yang hijau tua tampak lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban kekhawatiran yang tak terucap. Di hadapannya, Patih Gajah Langu berdiri tegak, melaporkan hasil misi dengan suara yang tegas namun hati-hati.“Paduka, kami berhasil menghancurkan sarang perampok di lereng Mandalawangi. Pemimpin mereka telah tewas, dan sebagian besaranak buahnya telah ditangkap atau melarikan diri.Namun…”
Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su
Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan deras, tapi terasa cepat. Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu. "Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat. Raka ragu. "Ke mana, Gusti?" Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu." Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga. Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil. Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah. Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri. "Tak