Share

Chapter 5

"Whoa… lengkap sekali… " gumam Elisa ketika membuka kulkas di dalam apartemen Afsheen. 

Beberapa saat lalu, begitu Afsheen pergi, tenggorokan Elisa terasa kering, ia harus meminun beberapa teguk air untuk membasahi tenggorokannya. 

Jadilah, ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas yang ada disana, Lagi-lagi kedua matanya melebar saat melihat begitu banyak sayuran, buah, lauk pauk yang disimpan didalam lemari es oleh pria itu. 

"Ada jamur champion, wortel, sawi, dan bakso." gumamnya sambil mengambil semua sayuran itu satu persatu. 

Elisa tersenyum, ia rasa, jika ia masakkan sesuatu untuk Afsheen, pria itu akan memaafkan atas kesalahannya hari ini. 

"Aku akan buatkan masakan yang lezat untukmu." gumam Elisa lagi. 

Bergegas ia mengambil semua bahan yang diperlukan untuk memasak, bumbu dan berbagai lauk pauknya, hingga semua bahan itu ludes dari dalam kulkas. 

Alunan musik Pop dari ponselnya berbunyi nyaring, tanpa sadar Elisa sudah memasak begitu banyak menu makanan. 

Didalam fikirannya, Afsheen pasti senang, saat pulang nanti sudah tersedia banyak makanan. 

Sementara itu, di tempat yang lain,

Afsheen masih merasa kesal dengan dua orang di bis tadi, ia terus melangkahkan kaki di depan bangunan kuno sepanjang jalan itu, masih teringat dalam kepalanya bagaimana kisah  raja Ferdinand dari Aragon juga ratu Isabella dari Kastilia bagaimana bengisnya mereka menghabisi umat muslim di tanah Cordoba. Bagaimana tidak, selang beberapa tahun setelah menerima kunci istana kerajaan Granada yang merupakan kerajaan terkahir di Andalusia dari tangan Muhammad V, khalifah terakhir dinasti Nasr yang saat itu memerintah Granada, mereka memaksa kaum muslim untuk memeluk agama mereka, bagi yang tidak mau maka pihak kerajaan akan melakukan pengusiran secara paksa dari tanah air mereka sendiri.

Banyak dari umat muslim yang enggan berpindah agama dan meninggalkan islam, mereka memilih berdiam diri dirumah, pada saat itulah, peristiwa pembakaran massal terjadi, umat muslim yang bertahan di rumah dibakar habis bersamaan dengan rumah-rumah mereka, lalu yang berada di pelabuhan dan hendak bertolak dengan perahu kecil pun mengalami hal sama, para pasukan militer membakar perahu-perahu kecil mereka hingga pada saat itu amukan api berkobar dan darah berceceran di sepanjang laut Mediterania. 

Afsheen menghela nafas berat begitu tiba di depan kantor Espiel Press, seseorang nampak berdiri di depan gerbang dengan celana jeans, kaos polos putih dan rambut yang klimis. Afsheen kenal dia siapa, Eric Angelo, sang Editor dari karya-karyanya.  “Assalamualikum, ¡buenos días,” sapa Afsheen. 

Eric melihat Afsheen berdiri di depannya. 

“Astaga... kau lama sekali!” jawab Eric.

“Maaf, ada kendala sedikit di jalan.” ucap Afsheen. Ada sedikit kekesalan di wajah Afsheen meski tidak terlalu nampak, tapi Eric yakin penulisnya itu tengah ada masalah.

“Hei... ada apa dengan wajahmu?, pasti ada sesuatu yang membuatmu kesal,” 

“Bisakah kita bicara di dalam?, udaranya  dingin sekali,” keluh Afsheen. 

“Oh baiklah.”

Kedua pria itu berjalan beriringan memasuki area kantor. 

“Kau baik-baik saja?” ucap Eric ketika keduanya duduk didalam ruangan. 

Afsheen mengangguk “Hanya ada sedikit hal yang membuatku kesal hari ini,” 

“Ceritalah jika memang kau membutuhkan tempat bercerita.” lanjut Eric.

Afsheen menghela nafas sejenak kemudian membuka mulutnya kembali 

“Entahlah, aku hanya teringat pada mereka yang gugur pada saat pengusiran oleh raja Ferdinand dan Isabella di Granada meski sudah berlangsung ribuan tahun, aku seperti melihat kilas balik lagi dari peristiwa itu,” jelas Afsheen. 

“Ayolah kawan... kau harus move on, waktu tidak akan berputar ditempat yang sama.” jawab Eric santai. Ia bangun dari kursi, mengambil sebuah naskah tebal dari lemari dan menunjukkannya di depan Afsheen. 

“Bisakah kau menulis cerita dengan ending bahagia?, sudah banyak naskahmu yang terbit dan Endingnya sama, sad Ending,” protes Eric. 

“Memang itu kenyataanya, seluruh kisah, baik itu kisah kehidupan, kisah cinta, persahabatan, pasti akan berakhir dengan sad Ending.” Bantah Afsheen. 

Eric mengerutkan dahi. Afsheen memang unik, pola pikirnya sangat berbeda dengan penulis kebanyakan. “Apa maksudmu?”

“Apalagi selain, perpisahan, kematian, kepergian, semua kisah akan berakhir dengan hal–hal itu. Tak ada perpisahaan jika tidak ada pertemuan, tak ada kematian jika tak ada kehidupan dan tak ada kepergian jika tak ada kedatangan.” 

Eric menggeleng “Sepertinya otakmu itu perlu di reparasi Afsheen, Aku tidak bisa menerima naskahmu ini, aku membutuhkan ide segar dan ending bahagia, jika kau masih memikirkan tentang perpisahan, kematian, dan kepergian kau harus memahami makna dibalik semua itu, kau harus mencari sisi lain di balik ketiganya, kau di kontrak eksklusif di penerbit ini Afsheen, jadi aku berikan kau 3 bulan untuk memperbaiki naskahmu.” 

Afsheen hanya diam. Ia bingung mau menuliskan kisah seperti apa, kisah yang tak ada Sad Ending didalamnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status