Share

Chapter 4

Penulis: Syiffanis Amaar
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-24 14:13:25

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Elisa saat menyadari Afsheen tiba-tiba diam.

“Tidak,aku tidak apa-apa,” Jawab Afsheen pelan sambil menggeleng pelan kepalanya. Ia juga merasa heran mengapa bayangan buram itu tiba-tiba mengganggu pikirannya. "Alku mengizinkanmu tinggal, namun peraturanku masih berlaku, kau tidak boleh menyentuh apapun, entender? ”

Etender, sir” Jawab Elisa sumringah. 

Tanpa menghiraukan, Afsheen berbalik, melanjutkan langkahnya keluar dari Apartemen.

Saat tiba di luar Apartemen dan melihat langsung ketiga orang yang sebelumnya hanya terlihat dari layar Intercom, ia kemudian berlalu. Bisa saja ia menyuruh mereka pergi dan mengancam akan melaporkan kepihak berwenang dengan dalih mengganggu kenyamanan penghuni Apartemen jika ketiganya menolak. Namun lagi-lagi itu bukan urusannya. Ia tidak ingin terlibat satu masalah apapun dengan orang asing. Sekitar dua puluh menit lalu ketika Ia masih berdiam di kamar, seorang editor dari kantor penerbitan Espiel Press menghubungi, memintanya segera datang ke lokasi, untuk satu alasan yang ini, ia tidak bisa menolak. 

Karena terburu-buru ia lupa mengecek suhu udara dari thermometer di Apartemen, beruntung saja ia menggunakan mantel tebal hingga hawa dingin tidak terlalu terasa ke tubuhnya. Orang-orang juga hilir mudik di sepanjang jalan trotoar, bermantalkan pakaian musim dingin dan topi topi tebal di kepala. Musim dingin tidak pernah menyurutkan antusiasme masyarakat beraktivitas, meski udara belakangan ini turun drastis, masih banyak toko-toko yang buka dan menjalankan bisnis.

Afsheen harus berjalan sekitar 200 meter lagi menuju halte bis Avda Cadiz. Hanya halte bis itulah yang paling dekat dari gedung Apartemennya. Kepulan asap putih keluar dari hidung setiap kali ia menghembuskan nafas. Membuat Hidung putih dan mancungnya memerah. 

Setelah berjalan kurang lebih 20 menit, ia tiba di halte bis. Ada tiga orang yang menunggu Bis disana juga, satu orang wanita tua, satu orang wanita muda dan satu orang lagi laki-laki. Ia tidak peduli, yang ia pikirkan sekarang hanyalah kedatangan bis,

Kedua kakinya bisa membeku jika berdiri lama-lama ditempat terbuka.

Beberapa detik kemudian, sebuah bis putih datang dari kejauhan. Semakin lama  laju bis itu melambat memasuki halte. Afsheen dan ketiga orang tadi langsung naik setelah bis berhenti. Setelah menempelkan kartu bis di tempatnya sebagai alat pembayaran, ia segera mencari kursi kosong. Sayang, bis sedang penuh, ia dan ketiga penumpang tadi termasuk sang wanita paruh baya terpaksa berdiri. 

Bis melaju santai membelah hiruk pikuk kota Cordoba. Para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk berdiri bergelayutan memegang pegangan pelastik didalam bis. Ketika bis berbelok tajam melewati bundaran air mancur, penumpang yang beridiri ikut bergoyang menjaga keseimbangan bobot tubuh dengan laju bis. Bulir-bulir air mancur membeku seperti batu-batu kristal. Begitu apik dan menawan. Ini hanya sebagian kecil bahkan setitik kuasa milik Tuhan.

“Lihatlah semua kemajuan kota ini, Desain Air mancur yang indah, bangunan-bangunan megah, ditambah lagi alat transportasi ramah lingkungan seperti ini. Ah... apa jadinya jika Cordoba terus di pimpin umat muslim. Tidak ada kemajuan semodern ini. Agama Primitif, di isi oleh orang-orang barbar!” Bisik seorang laki-laki di samping telinga perempuan. Kedua orang itulah yang naik bis bersama Afsheen tadi. Entah mengapa pendengarannya meningkat dua kali lebih tajam saat agamanya di hina meski laki-laki itu berkata sangat pelan. 

“Ya, beruntung islam hanya beberapa abad memimpin negeri ini. Jika tidak apalah jadinya kita, mau berbuat ini-itu tidak boleh, makan seenaknya tidak boleh, yang jelas Cordoba bisa lebih maju tanpa adanya islam!” jawab wanita itu dengan tone suara sama rendahnya.

Afsheen hanya tersenyum sinis, sungguh dua orang bodoh disampingnya berbicara tanpa pengetahuan luas. Siapa bilang Cordoba akan lebih baik tanpa islam. Justru sebelum datangnya islam ke negeri ini, Cordoba, Spanyol benar-benar berada disisi gelap. Perkembangan ilmu teknologinya sangat tertinggal. Lalu islam datang dengan tangan terbuka, memimpin Spanyol hingga memasuki era kejayaan yang paling termahsyur diantara negara-negara lain pada saat itu. Di saat Amerika tengah memperdebatkan masalah matahari berputar mengelilingi bumi atau bumi berputar mengelilingi matahari, umat muslim di Cordoba sudah bisa membuat kincir air sendiri, kompas untuk menentukan arah, mesin tenun benang dan lain-lain.

Afsheen merambat dari satu pegangan ke pegangan lain guna mendekati kedua orang itu. Mendengar secara gamblang fitnah apalagi yang mereka tebar demi menjelek jelekkan agamanya. 

“Kita harus berterimakasih pada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella yang telah mengusir islam dari tanah ini!” lanjut laki-laki itu lagi. Telinga Afsheen makin panas. Ia mendekat lalu berbisik di telinga laki-laki itu.

“Sepertinya kau harus membaca sejarah lagi tentang negeri ini bung! Jika pengetahuanmu hanya sebatas itu, lebih baik kalian diam!”

Laki-laki dan wanita itu langsung menoleh pada Afsheen. Belum sempat mereka protes bis sudah berhenti di halte Miraflose Afsheen langsung turun tanpa menghiraukan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta di Bawah Langit Cordoba   Chapter 19

    Semua diam. Tidak ada satu orang pun di antara begitu banyak penonton membuka suara, mata mereka tidak kunjung lepas dari seorang gadis di atas panggung. Gadis itu pun sama, menunjukkan Ekspresi tegang luar biasa, jantungnya berdegup amat kencang, dalam hati ia terus tak tenang. Benarkah ia sudah gagal? Benarkah penampilannya kali ini mengecewakan? Namun, belum sempat Argumen – Argumen itu terjawab, seluruh penonton yang duduk di kursi seketika berdiri, kompak, seperti sudah terencana, mereka bertepuk tangan amat keras, menggema seantero gedung pementasan, suasana yang hening beberapa saat lalu menjadi riuh, gadis itu tersenyum lebar, berbeda sekali dengan ekspresi pertama, tangannya gemetar hebat sambil memegang bow. Ia langsung membungkuk memberikan tanda hormat pada semua penonton dan mengucapkan terima kasih. “Elisa ... Elisaaa ....” teriak salah seorang penonton di antara riuh tepuk tangan. Elisa mendengar namun hanya menjawab dengan senyuman, ia beruntung, sangat Beruntung kar

  • Cinta di Bawah Langit Cordoba   Chapter 18

    Sudah seharian Andrian tidak pulang , Elisapun sudah berangkat sejak jam 7 pagi tadi, Rheina semakin gelisah, sudah setengah jam ia mondar mandir di ruang tengah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore, ia harus secepatnya bilang pada Andrian agar mengembalikan uang milik Elisa, atau rasa bersalah di hatinya akan terus menghantui.Tiba-tiba Engsel pintu apartemennya bergerak, Rheina terdiam beberapa saat sampai seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Andrian pulang dengan mata sayu dan tubuhnya yang tinggi besar lunglai hampir terjerembab jatuh ke lantai, jelas sekali dia terpengaruh minuman keras. Rheina buru-buru mendekat, namun tangan Andrian mendorongnya.Sempoyongan Andrian menuju sofa, dan membanting tubuhnya disana.“Mana uang Elisa yang kau pakai!” geram Rheina.Andrian masih diam, namun matanya tajam menyorot Rheina.“Uang itu sangat penting untuk Elisa, mengapa kau gunakan untuk mabuk-mabukan begini!” lanjut Rheina makin kesal.“Diamlah aku lelah!” jawab

  • Cinta di Bawah Langit Cordoba   Chapter 17

    “Buenas tardes Mustafa Afsheen.” Seseorang tiba-tiba menepuk bahu Afsheen membuatnya menoleh, Eric dan seorang wanita yang tidak asing berdiri di depannya.“Aku mencarimu di halaman tapi tidak ada, ternyata dugaan ku benar, kau memang masuk disini.” Ucap Eric lagi. Afsheen masih berdiri di bawah mihrab masjid yang melengkung bak tapal kaki kuda, “Matamu merah, kau baik baik saja?” Eric bertanya dengan heran.Afsheen langsung tersenyum. “Ah tidak apa-apa, ayo kita ke halaman saja Eric, udaranya lebih segar disana,” “Baiklah.”Wanita yang tadi bersama Eric masih terus mengikuti mereka sampai ke halaman Katedral Mezquita, Afsheen diam sambil terus mengingat-ingat, di mana ia pernah bertemu wanita itu, sampai ketika mereka tiba dan duduk dibawah pohon jeruk. “Aku sudah baca naskah yang kau kirim pagi ini, dan aku benar-benar terpesona Afsheen... setiap kata yang kau untaikan, melukiskan betapa indahnya tulisanmu,” puji Eric. “Ah bisa saja, aku juga tidak tahu, tiba-tiba saja kata-kat

  • Cinta di Bawah Langit Cordoba   Chapter 16

    Elisa sudah tak bisa berpikir lagi, ia serasa buntu. Sudah dua hari sejak orang tuanya mengatakan kalau uang pementasan sudah di transfer dan diambil paksa oleh Andrian, sampai detik ini Elisa tidak bisa mendapatkan uang sebanyak 200 Euro sebagai pengganti. Setelah dihitung-hitung, uang didalam tabungan dari jerih payah mengamen hanya mencapai 86 euro. Ia menghela nafas dengan berat, "Apakah ini saatnya bagiku untuk menyerah?" gumamnya dengan murung. Elisa membuka pintu kamar, ia keluar lalu berdiri di Balkon, di tatapnya langit yang sudah berganti gelap, Aangin membabi buta bertiup, Ia menguap, matanya mengantuk namun tidak bisa tidur, hingga percakapannya dengan Afsheen siang itu tiba-tiba terngiang kembali di kepalanya.‘Seorang musisi tidak akan pernah meninggalkan panggung dan penontonnya begitu saja.'Tanpa berfikir panjang, Elisa bergegas, ia beranjak mengambil biola di atas meja dan beralih ke depan jendela. Semangat Elisa tiba-tiba membuncah setelah mengingat ucapan Afshe

  • Cinta di Bawah Langit Cordoba   Chapter 15

    Begitu melintas di Gang kecil itu, Afsheen terkesima, ternyata gang kecil itu adalah penghubung antara jalan dengan pemukiman, ia mematung di ujung gang, melihat barisan rumah-rumah, tiang-tiang lampu jalan, pohon-pohon besar menjulang dan tentunya air mancur di pertengahan jalan, airnya membeku membentuk tetesan-tetesan indah ibarat kristal bening berkilauan, tanah berlapis salju seperti sengaja dihamparkan tanpa satu sudut pun terlupa.Ia melangkah pelan-pelan, mengamati dengan seksama, hatinya takjub luar biasa, keindahan yang tidak pernah ia lihat di semenanjung kota Cordoba, sejenak ia merasa seperti berada di negeri dongeng, tempat itu sederhana, tidak ada apartemen, gedung bertingkat, ruko-ruko tapi sangat indah dan rapi, ditambah lagi tetesan salju yang turun membuat suasana menjadi lebih dingin dan lebih menakjubkan, tiba-tiba Afsheen berhenti melangkah ketika melihat masjid di tengah tengah rumah warga, pemisahnya hanya jalan kecil untuk masuk ke bagian belakang pemukiman,

  • Cinta di Bawah Langit Cordoba   Chapter 14

    Sejak runtuhnya masa kekhalifahan Umayyah di Cordoba pada 1031, Andalusia terpecah menjadi taifah-taifah yang setengah merdeka maupun merdeka penuh dengan dibawah pimpinan raja-raja golongan, Cordoba, Granada, Sevilla, Toledo dan berbagai kota lainnya. Puncaknya dibawah kepemimpinan Al-Ma’mun, Toledo berhasil menjadi kota yang berkilau dan cemerlang, Al-Ma’mun selalu berusaha mengarahkan Toledo menjadi pengganti pusat kepemimpinan islam diwilayah semenanjung Andalusia setelah runtuhnya Pemerintahan di Cordoba. Dan Sevilla muncul sebagai saingan utama Toledo dibawah kepemimpinan orang-orang kuat dari Disanti Abaddiyah, Sevilla menjadi surga baru bagi perkembangan Syair dan Puisi di Andalusia. Dalam beberapa tahun berikutnya, Al-Ma’mun berhasil mendapatkan Cordoba meski pada akhirnya kembali jatuh ketangan pesaingnya di Sevilla yakni Dinasti Abaddiyah. Memasuki pertengahan abad ke – 11, konflik saudara di antara kaum muslim semakin parah. Ditahun 1065, Kota Barbastro berhasil di rebut

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status