“Apa kau baik-baik saja?” tanya Elisa saat menyadari Afsheen tiba-tiba diam.
“Tidak,aku tidak apa-apa,” Jawab Afsheen pelan sambil menggeleng pelan kepalanya. Ia juga merasa heran mengapa bayangan buram itu tiba-tiba mengganggu pikirannya. "Alku mengizinkanmu tinggal, namun peraturanku masih berlaku, kau tidak boleh menyentuh apapun, entender? ”
“Etender, sir” Jawab Elisa sumringah.
Tanpa menghiraukan, Afsheen berbalik, melanjutkan langkahnya keluar dari Apartemen.
Saat tiba di luar Apartemen dan melihat langsung ketiga orang yang sebelumnya hanya terlihat dari layar Intercom, ia kemudian berlalu. Bisa saja ia menyuruh mereka pergi dan mengancam akan melaporkan kepihak berwenang dengan dalih mengganggu kenyamanan penghuni Apartemen jika ketiganya menolak. Namun lagi-lagi itu bukan urusannya. Ia tidak ingin terlibat satu masalah apapun dengan orang asing. Sekitar dua puluh menit lalu ketika Ia masih berdiam di kamar, seorang editor dari kantor penerbitan Espiel Press menghubungi, memintanya segera datang ke lokasi, untuk satu alasan yang ini, ia tidak bisa menolak.
Karena terburu-buru ia lupa mengecek suhu udara dari thermometer di Apartemen, beruntung saja ia menggunakan mantel tebal hingga hawa dingin tidak terlalu terasa ke tubuhnya. Orang-orang juga hilir mudik di sepanjang jalan trotoar, bermantalkan pakaian musim dingin dan topi topi tebal di kepala. Musim dingin tidak pernah menyurutkan antusiasme masyarakat beraktivitas, meski udara belakangan ini turun drastis, masih banyak toko-toko yang buka dan menjalankan bisnis.
Afsheen harus berjalan sekitar 200 meter lagi menuju halte bis Avda Cadiz. Hanya halte bis itulah yang paling dekat dari gedung Apartemennya. Kepulan asap putih keluar dari hidung setiap kali ia menghembuskan nafas. Membuat Hidung putih dan mancungnya memerah.
Setelah berjalan kurang lebih 20 menit, ia tiba di halte bis. Ada tiga orang yang menunggu Bis disana juga, satu orang wanita tua, satu orang wanita muda dan satu orang lagi laki-laki. Ia tidak peduli, yang ia pikirkan sekarang hanyalah kedatangan bis,
Kedua kakinya bisa membeku jika berdiri lama-lama ditempat terbuka.Beberapa detik kemudian, sebuah bis putih datang dari kejauhan. Semakin lama laju bis itu melambat memasuki halte. Afsheen dan ketiga orang tadi langsung naik setelah bis berhenti. Setelah menempelkan kartu bis di tempatnya sebagai alat pembayaran, ia segera mencari kursi kosong. Sayang, bis sedang penuh, ia dan ketiga penumpang tadi termasuk sang wanita paruh baya terpaksa berdiri.
Bis melaju santai membelah hiruk pikuk kota Cordoba. Para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk berdiri bergelayutan memegang pegangan pelastik didalam bis. Ketika bis berbelok tajam melewati bundaran air mancur, penumpang yang beridiri ikut bergoyang menjaga keseimbangan bobot tubuh dengan laju bis. Bulir-bulir air mancur membeku seperti batu-batu kristal. Begitu apik dan menawan. Ini hanya sebagian kecil bahkan setitik kuasa milik Tuhan.
“Lihatlah semua kemajuan kota ini, Desain Air mancur yang indah, bangunan-bangunan megah, ditambah lagi alat transportasi ramah lingkungan seperti ini. Ah... apa jadinya jika Cordoba terus di pimpin umat muslim. Tidak ada kemajuan semodern ini. Agama Primitif, di isi oleh orang-orang barbar!” Bisik seorang laki-laki di samping telinga perempuan. Kedua orang itulah yang naik bis bersama Afsheen tadi. Entah mengapa pendengarannya meningkat dua kali lebih tajam saat agamanya di hina meski laki-laki itu berkata sangat pelan.
“Ya, beruntung islam hanya beberapa abad memimpin negeri ini. Jika tidak apalah jadinya kita, mau berbuat ini-itu tidak boleh, makan seenaknya tidak boleh, yang jelas Cordoba bisa lebih maju tanpa adanya islam!” jawab wanita itu dengan tone suara sama rendahnya.
Afsheen hanya tersenyum sinis, sungguh dua orang bodoh disampingnya berbicara tanpa pengetahuan luas. Siapa bilang Cordoba akan lebih baik tanpa islam. Justru sebelum datangnya islam ke negeri ini, Cordoba, Spanyol benar-benar berada disisi gelap. Perkembangan ilmu teknologinya sangat tertinggal. Lalu islam datang dengan tangan terbuka, memimpin Spanyol hingga memasuki era kejayaan yang paling termahsyur diantara negara-negara lain pada saat itu. Di saat Amerika tengah memperdebatkan masalah matahari berputar mengelilingi bumi atau bumi berputar mengelilingi matahari, umat muslim di Cordoba sudah bisa membuat kincir air sendiri, kompas untuk menentukan arah, mesin tenun benang dan lain-lain.
Afsheen merambat dari satu pegangan ke pegangan lain guna mendekati kedua orang itu. Mendengar secara gamblang fitnah apalagi yang mereka tebar demi menjelek jelekkan agamanya.
“Kita harus berterimakasih pada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella yang telah mengusir islam dari tanah ini!” lanjut laki-laki itu lagi. Telinga Afsheen makin panas. Ia mendekat lalu berbisik di telinga laki-laki itu.
“Sepertinya kau harus membaca sejarah lagi tentang negeri ini bung! Jika pengetahuanmu hanya sebatas itu, lebih baik kalian diam!”
Laki-laki dan wanita itu langsung menoleh pada Afsheen. Belum sempat mereka protes bis sudah berhenti di halte Miraflose Afsheen langsung turun tanpa menghiraukan mereka.
"Whoa… lengkap sekali… " gumam Elisa ketika membuka kulkas di dalam apartemen Afsheen. Beberapa saat lalu, begitu Afsheen pergi, tenggorokan Elisa terasa kering, ia harus meminun beberapa teguk air untuk membasahi tenggorokannya. Jadilah, ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas yang ada disana, Lagi-lagi kedua matanya melebar saat melihat begitu banyak sayuran, buah, lauk pauk yang disimpan didalam lemari es oleh pria itu. "Ada jamur champion, wortel, sawi, dan bakso." gumamnya sambil mengambil semua sayuran itu satu persatu. Elisa tersenyum, ia rasa, jika ia masakkan sesuatu untuk Afsheen, pria itu akan memaafkan atas kesalahannya hari ini. "Aku akan buatkan masakan yang lezat untukmu." gumam Elisa lagi. Bergegas ia mengambil semua bahan yang diperlukan untuk memasak, bumbu dan berbagai lauk pauknya, hingga semua bahan itu ludes dari dalam kulkas. Alunan musik Pop dari ponselnya berbunyi nyaring, tanpa sadar Elisa sudah memasak begitu banyak menu makanan. Didalam fikirannya,
Sekitar jam 14.30, Afsheen tiba di Apartemennya, sepanjang perjalanan tadi, tak henti otaknya berpikir tentang alur cerita yang diminta Erick. Kisah yang tak ada sad ending di dalamnya. Ia menghela nafas, hingga kepul asap putih keluar dari bibir dan hidungnya yang kedinginan. "Aku penasaran, mengapa mereka masih berada di tempat ini." gumam Afsheen ketika melihat tiga orang yang sebelumnya hanya ia lihat dari intercom Apartemen berdiri di lorong tidak jauh dari apartemennya. Tanpa ragu, ia pun mendekat, “Disculpe ada yang bisa saya bantu?, saya lihat kalian terus di sini sejak beberapa jam lalu,” ucap Afsheen pada seorang pria berkepala botak. Pria berkepala botak itu merespon keberadaan Afsheen. “Kami mencari seorang wanita, terakhir kami lihat dia masuk ke gedung ini dan kami yakin dia ada di salah satu Apartemen,” jawabnya.“Wanita?, Apa kalian yakin dia masuk ke gedung Apartemen ini?” tanya Afsheen lagi. Sebenarnya ia juga penasaran alasan ketiga pria ini mengejar gadis itu
Elisa menarik nafas saat kakinya menginjak masuk Apartemen. "Kenapa mesti teriak-teriak, dia kan bisa bilang baik-baik!" gerutunya begitu menutup pintu apartemennya sendiri. Ia beruntung, sebab tiga orang yang berjaga di Koridor depan sudah tidak ada, hingga dirinya bisa kembali dengan selamat. Elisa mendesau kesal sambil menyandarkan tubuhnya ke balik pintu yang tertutup, ia teringat tatapan pria tadi dan beberapa perkataannya sungguh berbekas di hati. Elisa baru tinggal di Apartemen ini sekitar satu minggu sejak pindah dari perkampungan kecil di pelosok kota Cordoba. Ia sempat tinggal selama setengah tahun disana namun belakangan kedua orang tuanya meminta ia pindah ke Apartemen ini demi kenyamanan, transportasi umum dari tempat tinggal Elisa sebelumnya terbilang sulit. Elisa beranjak dari depan pintu menuju kamar. Kring... Kring.. Belum sempat ia merebahkan diri, ponsel yang ia diletakkan diatas meja berdering. Panggilan dari sang ibu, buru-buru Elisa menjawab.“Halo mam,
Pagi masih buta, awan kusam bergelayutan dilangit. Namun penduduk kota itu berhamburan kesana kemari, wajah mereka panik, berlari memasuki rumah satu persatu, berteriak teriak histeris...“Prajurit datang.....!” teriakan itu memperingatkan penduduk lain agar segera bersembunyi. Hentakan kaki kuda di atas tanah semakin riuh terdengar, dari arah barat, pasukan berkuda prajurit lain datang menyerbu pasukan prajurit yang berdiam di kota itu. Dalam beberapa menit saja keduanya bertemu, peperangan tidak bisa dihindarkan. Pedang pedang laras panjang mereka menyerang musuh-musuh yang ingin merebut daerah kekuasaan, darah segar muncrat dari tubuh-tubuh lunglai yang terhunus pedang, bau darah langsung tercium dan pedang-pedang mereka terlapisi cairan merah berbau anyir.Seorang anak laki-laki mengintip dari balik tirai rumah, melihat peperangan yang sering terjadi akhir-akhir ini, tubuhnya gemetar hebat, air matanya tak kuasa mengalir, bibirnya mengatup kuat-kuat. “Athif, cauteloso” Ucap Seor
Elisa masuk ke apartemen 10 menit kemudian setelah Rheina dan Andrian. Mereka tidak bingung lagi dengan kode apartemen Elisa, tanpa di tanya pun jawabannya tetap sama, tanggal lahir gadis itu. "Kenapa lama sekali, kami menunggu sejak tadi," ucap Andrian agak kesal. Dengan wajah penuh peluh Elisa menjawab, "Ada urusan sebentar tadi," "Urusan dengan pria di depan tangga itu? Apa dia pacarmu?" kali ini Rheina menyambung. Elisa hanya tersenyum, ia tidak ingin membayangkan hal itu. "Bukan, dia bukan pacarku," jawab Elisa sambil meletakan tas ke lantai. "Baguslah, kurasa dia terlalu tampan untuk menjadi pacarmu." ucap Rheina lagi sambil berjalan menelusuri ruangan. Elisa hanya mencibir, seharusnya mereka bersyukur ia masih mau menjemput di Bandara, jika saja ia tidak punya hati untuk kedua kakaknya, ia tidak akan menjemput mereka, apalagi ia malah harus membawa sendiri tas besar milik mereka. “Aku mau kau mengenalkan aku dengan pria itu,” pinta Rheina dengan kedua tangan berse
Pukul 23.00 Elisa tiba di depan gedung apartemen. Ia melangkah gontai setelah hampir seharian melakukan aktivitas yang melelahkan. Kedua pipinya merah padam lantaran suhu udara semakin dingin menggigit. Kepul asap putih keluar dari mulutnya, ia harus tiba segera di apartemen, agar bisa beristirahat. Begitu tiba di depan pintu apartemennya, Elisa bergegas menekan beberapa angka pin di pintu masuk, namun yang ia dapati hanyalah balasan, "Password yang Anda masuki salah." Elisa mengerutkan dahi, mencoba kembali, namun sampai tiga kali, pintu tak kunjung terbuka. "Aih.. Apa mereka mengganti pin apartemenku!" seru Elisa sedikit kesal. Ia mengetuk pintu sambil memanggil dua saudara tirinya. "Rheina… Andrian… apa kalian ada didalam?! Tolong bukakan pintu untukku!" seru Elisa dengan lantang. Naas tak ada yang datang membukakan pintu, Elisa berteriak kembali, "Rheina… Andrian.. Apa kalian mendengarku? Aku sedang tidak bercanda! Disini dingin sekali!" seru Elisa lagi. Lantaran koridor
Berita di televisi sudah ramai sejak pukul 05.00, hampir seluruh channel menyiarkan berita yang sama, Afsheen duduk santai sambil menenggak teh hangat di depan televisi, dugaanya memang tepat semalam sekitar jam 02.00 dini hari badai salju terjadi, angin berhembus amat dahsyat, salju turun lebat tanpa henti, beberapa rumah di berbagai kota di Spanyol rusak ringan sampai rusak parah, pohon-pohon banyak yang tumbang dan dari berita tadi juga ia melihat mobil yang parkir di pinggir jalan penuh tertutup salju, nyaris tidak terlihat lagi. Ruas-ruas jalan lumpuh, kendaraan terjebak, ia sudah bisa membayangkan betapa kacau keadaan di luar, untung ia sudah antisipasi lebih dulu.Afsheen menghela nafas sambil menyeruput secangkir coklat panas hingga tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berkata,“Apa kau yang membawaku semalam?” Afsheen langsung menoleh, dilihatnya Elisa tengah berdiri tak jauh darinya."Kau sudah sadar rupanya," balas Afsheen datar. Elisa terdiam, seketika matanya tak senga
Salju turun tipis-tipis, Rheina masih berdiri di balkon apartemen sambil melihat kilauan butir es itu yang jatuh ke permukaan bumi, tepat disaat yang bersamaan Afsheen membuka pintu dan keluar dari Apartemennya. Rheina menoleh, senyumnya mengembang tatkala melihat pria tampan berdiri tak jauh dari posisinya, ia langsung mendekat, matanya berbinar-binar menatap wajah Afsheen yang telah berhasil menggetarkan hatinya, “Good Morning sir." ucap Rheina menyapa Afsheen, dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Afsheen Afsheen hanya menoleh sebentar pada Rheina, dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan. Rheina tak menyerah, ia langsung menyusul Afsheen dan berdiri di depannya.“Hai, My name is Rheina and you?” Ucap Rheina sambil mengulurkan tangan. Afsheen masih diam memperhatikan uluran tangan Rheina."Maaf, apa saya mengenal anda?" Jawab Afsheen nampak acuh, Ia mengabaikan Rheina dan melintas begitu saja dari hadapannya.Rheina kesal, selama di Australia, tidak seorang pria pun mampu