Elisa menarik nafas saat kakinya menginjak masuk Apartemen. "Kenapa mesti teriak-teriak, dia kan bisa bilang baik-baik!" gerutunya begitu menutup pintu apartemennya sendiri. Ia beruntung, sebab tiga orang yang berjaga di Koridor depan sudah tidak ada, hingga dirinya bisa kembali dengan selamat. Elisa mendesau kesal sambil menyandarkan tubuhnya ke balik pintu yang tertutup, ia teringat tatapan pria tadi dan beberapa perkataannya sungguh berbekas di hati. Elisa baru tinggal di Apartemen ini sekitar satu minggu sejak pindah dari perkampungan kecil di pelosok kota Cordoba. Ia sempat tinggal selama setengah tahun disana namun belakangan kedua orang tuanya meminta ia pindah ke Apartemen ini demi kenyamanan, transportasi umum dari tempat tinggal Elisa sebelumnya terbilang sulit. Elisa beranjak dari depan pintu menuju kamar. Kring... Kring.. Belum sempat ia merebahkan diri, ponsel yang ia diletakkan diatas meja berdering. Panggilan dari sang ibu, buru-buru Elisa menjawab.“Halo mam,
Pagi masih buta, awan kusam bergelayutan dilangit. Namun penduduk kota itu berhamburan kesana kemari, wajah mereka panik, berlari memasuki rumah satu persatu, berteriak teriak histeris...“Prajurit datang.....!” teriakan itu memperingatkan penduduk lain agar segera bersembunyi. Hentakan kaki kuda di atas tanah semakin riuh terdengar, dari arah barat, pasukan berkuda prajurit lain datang menyerbu pasukan prajurit yang berdiam di kota itu. Dalam beberapa menit saja keduanya bertemu, peperangan tidak bisa dihindarkan. Pedang pedang laras panjang mereka menyerang musuh-musuh yang ingin merebut daerah kekuasaan, darah segar muncrat dari tubuh-tubuh lunglai yang terhunus pedang, bau darah langsung tercium dan pedang-pedang mereka terlapisi cairan merah berbau anyir.Seorang anak laki-laki mengintip dari balik tirai rumah, melihat peperangan yang sering terjadi akhir-akhir ini, tubuhnya gemetar hebat, air matanya tak kuasa mengalir, bibirnya mengatup kuat-kuat. “Athif, cauteloso” Ucap Seor
Elisa masuk ke apartemen 10 menit kemudian setelah Rheina dan Andrian. Mereka tidak bingung lagi dengan kode apartemen Elisa, tanpa di tanya pun jawabannya tetap sama, tanggal lahir gadis itu. "Kenapa lama sekali, kami menunggu sejak tadi," ucap Andrian agak kesal. Dengan wajah penuh peluh Elisa menjawab, "Ada urusan sebentar tadi," "Urusan dengan pria di depan tangga itu? Apa dia pacarmu?" kali ini Rheina menyambung. Elisa hanya tersenyum, ia tidak ingin membayangkan hal itu. "Bukan, dia bukan pacarku," jawab Elisa sambil meletakan tas ke lantai. "Baguslah, kurasa dia terlalu tampan untuk menjadi pacarmu." ucap Rheina lagi sambil berjalan menelusuri ruangan. Elisa hanya mencibir, seharusnya mereka bersyukur ia masih mau menjemput di Bandara, jika saja ia tidak punya hati untuk kedua kakaknya, ia tidak akan menjemput mereka, apalagi ia malah harus membawa sendiri tas besar milik mereka. “Aku mau kau mengenalkan aku dengan pria itu,” pinta Rheina dengan kedua tangan berse
Pukul 23.00 Elisa tiba di depan gedung apartemen. Ia melangkah gontai setelah hampir seharian melakukan aktivitas yang melelahkan. Kedua pipinya merah padam lantaran suhu udara semakin dingin menggigit. Kepul asap putih keluar dari mulutnya, ia harus tiba segera di apartemen, agar bisa beristirahat. Begitu tiba di depan pintu apartemennya, Elisa bergegas menekan beberapa angka pin di pintu masuk, namun yang ia dapati hanyalah balasan, "Password yang Anda masuki salah." Elisa mengerutkan dahi, mencoba kembali, namun sampai tiga kali, pintu tak kunjung terbuka. "Aih.. Apa mereka mengganti pin apartemenku!" seru Elisa sedikit kesal. Ia mengetuk pintu sambil memanggil dua saudara tirinya. "Rheina… Andrian… apa kalian ada didalam?! Tolong bukakan pintu untukku!" seru Elisa dengan lantang. Naas tak ada yang datang membukakan pintu, Elisa berteriak kembali, "Rheina… Andrian.. Apa kalian mendengarku? Aku sedang tidak bercanda! Disini dingin sekali!" seru Elisa lagi. Lantaran koridor
Berita di televisi sudah ramai sejak pukul 05.00, hampir seluruh channel menyiarkan berita yang sama, Afsheen duduk santai sambil menenggak teh hangat di depan televisi, dugaanya memang tepat semalam sekitar jam 02.00 dini hari badai salju terjadi, angin berhembus amat dahsyat, salju turun lebat tanpa henti, beberapa rumah di berbagai kota di Spanyol rusak ringan sampai rusak parah, pohon-pohon banyak yang tumbang dan dari berita tadi juga ia melihat mobil yang parkir di pinggir jalan penuh tertutup salju, nyaris tidak terlihat lagi. Ruas-ruas jalan lumpuh, kendaraan terjebak, ia sudah bisa membayangkan betapa kacau keadaan di luar, untung ia sudah antisipasi lebih dulu.Afsheen menghela nafas sambil menyeruput secangkir coklat panas hingga tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berkata,“Apa kau yang membawaku semalam?” Afsheen langsung menoleh, dilihatnya Elisa tengah berdiri tak jauh darinya."Kau sudah sadar rupanya," balas Afsheen datar. Elisa terdiam, seketika matanya tak senga
Salju turun tipis-tipis, Rheina masih berdiri di balkon apartemen sambil melihat kilauan butir es itu yang jatuh ke permukaan bumi, tepat disaat yang bersamaan Afsheen membuka pintu dan keluar dari Apartemennya. Rheina menoleh, senyumnya mengembang tatkala melihat pria tampan berdiri tak jauh dari posisinya, ia langsung mendekat, matanya berbinar-binar menatap wajah Afsheen yang telah berhasil menggetarkan hatinya, “Good Morning sir." ucap Rheina menyapa Afsheen, dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Afsheen Afsheen hanya menoleh sebentar pada Rheina, dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan. Rheina tak menyerah, ia langsung menyusul Afsheen dan berdiri di depannya.“Hai, My name is Rheina and you?” Ucap Rheina sambil mengulurkan tangan. Afsheen masih diam memperhatikan uluran tangan Rheina."Maaf, apa saya mengenal anda?" Jawab Afsheen nampak acuh, Ia mengabaikan Rheina dan melintas begitu saja dari hadapannya.Rheina kesal, selama di Australia, tidak seorang pria pun mampu
Hatinya mendung, sama persis seperti keadaan langit bertumpuk awan gelap diatas sana. Butir-butir salju berjatuhan, membuat udara semakin dingin, Elisa menghela nafas begitu berdiri dan bergabung dengan sesama musisi jalan didepan jembatan Puente Romano, sekitar setengah jam yang lalu ia datang ke tempat madam Ceillane untuk melanjutkan latihan biola, namun ia tidak bisa berkata apa-apa ketika madam menanyakan perihal pendaftaran pementasan yang hanya tinggal menghitung hari. Pementasan biola itu biasanya diadakan sekitar dua tahun sekali untuk menguji kemampuan para siswa madam Ceillane, tak tanggung-tanggung, karena pentas itupula, banyak musisi handal spanyol yang pasti akan mengajak sang Violinis untuk bergabung dengan grup musik mereka dan membuat album bersama, Elisa mengidamkan hal itu, mengadakan konser tunggal sendiri, membuat album musik sendiri dan tentunya ia tidak akan mengamen di tempat ini lagi. Namun, sepertinya ia yang terlalu mengawang awang tinggi, hal seperti itu m
Sejak runtuhnya masa kekhalifahan Umayyah di Cordoba pada 1031, Andalusia terpecah menjadi taifah-taifah yang setengah merdeka maupun merdeka penuh dengan dibawah pimpinan raja-raja golongan, Cordoba, Granada, Sevilla, Toledo dan berbagai kota lainnya. Puncaknya dibawah kepemimpinan Al-Ma’mun, Toledo berhasil menjadi kota yang berkilau dan cemerlang, Al-Ma’mun selalu berusaha mengarahkan Toledo menjadi pengganti pusat kepemimpinan islam diwilayah semenanjung Andalusia setelah runtuhnya Pemerintahan di Cordoba. Dan Sevilla muncul sebagai saingan utama Toledo dibawah kepemimpinan orang-orang kuat dari Disanti Abaddiyah, Sevilla menjadi surga baru bagi perkembangan Syair dan Puisi di Andalusia. Dalam beberapa tahun berikutnya, Al-Ma’mun berhasil mendapatkan Cordoba meski pada akhirnya kembali jatuh ketangan pesaingnya di Sevilla yakni Dinasti Abaddiyah. Memasuki pertengahan abad ke – 11, konflik saudara di antara kaum muslim semakin parah. Ditahun 1065, Kota Barbastro berhasil di rebut