Share

Cinta di Bawah Langit NYC
Cinta di Bawah Langit NYC
Penulis: Erwingg

Bab 1: Jessica Flowers 1

***

Cinta kepada saudara tentu berbeda dengan cinta kepada kekasih. Saudara ialah bagian dari dirimu yang sebenarnya bukan dirimu. Kita tidak bisa meniru selera saudara kita karena kita berbeda darinya. Tidak enaknya memiliki saudara adalah bahwa kita sering dibandingkan dengannya. Begitulah yang dirasakan Paris Mahendra. Sudah satu jam ini Ibunya mencomel karena ia belum punya kekasih.

"Haruskah Mama mencarikanmu jodoh di situs online? Lihat Ankara. Sudah beristri dan sebentar lagi jadi Ayah. Kau kapan seperti dia?" 

Ankara saudara kembarnya lebih baik di mata kedua orang tua Paris. Ankara bekerja di sebuah perusahaan terkenal--yang tidak lain perusahaan perbankan keluarga mereka. Kesuksesan Ankara membuat orang tuanya bangga.

"Aku sibuk bekerja, Ma."

Paris menanggapi malas. Ia mencomot hamburger Belanda buatan chef rumahnya dengan santai. Seperti biasa ia harus siap mendengar ocehan Ibunya di kala pagi hari tiba. Paris bukan pria rajin dan begitulah dirinya, selalu tampil apa adanya.

"Melukis? Apa itu pekerjaan? Kenapa kau tidak bekerja di perusahaan Ayahmu?" 

Hendrawan Mahendra, ayahnya Paris punya perusahaan besar yang bisa menjadi tempat Paris bekerja seandainya dia mau. 

Keluarga Mahendra pada mulanya punya tambang emas di Sumatra Selatan. Perusahaan itu telah membuat mereka berjaya. Mereka pun melebarkan bisnis di bidang perbankan di New York. Dan selama 10 tahun telah sukses besar sampai mereka pindah ke kota ramai ini.

Paris seharusnya sudah bekerja dengan jabatan tinggi di perusahaan Ayahnya. Namun dia tidak melakukannya. Paris sama sekali tidak suka menjadi pegawai kantoran. Paris juga tidak mendukung nepotisme. Karena bekerja di perusahaan Ayahnya adalah bagian dari nepotisme, mendapatkan kemudahan bekerja hanya karena keluarga atau kerabat.

"Berapa kali harus kubilang, Ma. Aku suka seni bukan bisnis. Aku Paris Mahendra bukan Ankara Mahendra. Tolong ingat hal itu." 

Pagi hari Paris tidak terlalu menyenangkan. Dia mau tidak mau harus mengakhiri sarapannya. Diomeli setiap hari rasanya benar-benar memuakkan.

Paris mengambil peralatan melukisnya. Kanvas berukuran medium, kertas serta bahan melukis lainnya yang ia masukkan ke dalam tasnya. Setiap harinya ia menjelajahi tempat wisata di New York seperti Central Park atau bahkan pinggir jalan. 

Dia menyalurkan hobi dengan melukis para turis yang secara pribadi meminta untuk dijadikan objek lukisan. Paris akan mendapat bayaran cukup untuk hasil karyanya. Hanya beberapa keping dolar namun itu sudah menyenangkan hati Paris. Dia tidak sedang mencari untung, dia hanya mencintai seninya. 

Paris terlalu senang dengan kehidupan seninya sampai lupa mencari pasangan hidup. Baginya seni adalah hidupnya. Dia mungkin tidak butuh orang lain selain seni.

"Sekarang ke mana lagi? Depan bioskop Fifth Avenue? Atau di depan perusahaan Ayahmu?" 

Inggrid Mahendra, Ibunya masih mengomel. Paris melukis di mana saja yang ia inginkan sampai membuat Ibu dan Ayahnya merasa cukup malu.

"Aku sudah besar, Ma. Apa Mama juga akan mengurusi dengan siapa aku bercinta? Berhentilah mengaturku. Aku tahu yang terbaik untuk hidupku!" 

Paris melangkah malas meninggalkan ruang tengah. Ia berjalan ke garasi lalu beranjak pergi bersama mobil Toyota silver miliknya. Paris melajukan mobilnya cukup kencang, meninggalkan Fourth Avenue menuju Atlantic Ave.

Sasaran selanjutnya adalah depan bioskop di jalan itu. Hari memang masih pagi, dan memang itulah yang ia harapkan. Mengambil gambar yang baik bersama orang-orang beruntung yang menjadi objek lukisannya. Jika pagi hari ia bisa menangkap matahari terbit. Gambar yang ia lukis biasanya akan terlihat bagus dengan adanya pemandangan matahari terbit.

Toyota milik Paris berhenti di depan bioskop Atlantic Ave. Ia pun mengeluarkan kanvas di bagasi. Mempersiapkan segala peralatan lukis. Lalu mengambil posisi duduk di pinggir jalan. Ia mulai menggambar, kuasnya menyentuh kanvas, menciptakan pemandangan abstrak yang belum bisa dinikmati. Paris melukis alam Brooklyn pagi ini.

Paris masih sibuk menggambar saat seorang gadis menghampirinya. Rambut coklat bergelombang, mata berwarna biru. Gadis itu memakai gaun seksi berwarna merah, dia berjalan sangat cepat sampai rambutnya beterbangan. Paris mengamati pergerakan rambut gadis itu. Bisa diakui Paris bahwa gadis ini sangat cantik.

Gadis itu melihat Paris seolah mereka sudah kenal lama. Mereka saling memandang cukup lama seakan mereka bicara dalam tatapan mata mereka. 

Gadis itu mengintip lukisan Paris seraya berujar, "Gambarmu bagus. Apa kau bisa melukis gambar diriku? Aku akan cantik saat berada di bawah matahari terbit dan kanvasmu." Paris menyimak ucapan gadis itu sembari matanya melirik paras cantiknya.

"Ya. Berdirilah di sana!"

Paris menunjuk tempat terbaik untuk mengambil gambar. Si gadis menurut, ia berjalan sembari menyunggingkan sebuah senyuman. Paris sungguh terpesona melihat senyumnya. Sebuah energi besar mendadak mengalir dalam tubuh Paris. Kehadiran si gadis membakar semangat seninya.

Paris mengubah pemandangan yang ia gambar sebelumnya dengan menambahkan gadis itu di dalamnya. Jari tangan Paris lincah melukiskan apa yang ada di hadapannya. Gadis cantik itu lebih mirip model terkenal seperti Rosie Hungtington Whitely. Lihat saja, dia berpose dengan sangat sempurna. Pemandangan bagus ditambah gadis cantik merupakan sebuah perpaduan  sempurna.

"Selesai, Nona...." 

Paris mengatakan itu sepuluh menit kemudian. Dia masih memandangi gadis itu ketika gadis itu mengulurkan tangannya. "Jessica Flowers. Panggil aku Jessica," katanya. Paris menjabat tangannya tanpa bicara.

Gadis itu mendekati Paris. Bibir merahnya bergerak dengan sangat lembut. Jessica melihat hasil lukisan lelaki itu. 

"Siapa namamu?" 

Jessica bertanya dengan santai. Paris gugup, ia salah tingkah ketika dada gadis itu tanpa sengaja berada tepat di depan matanya. Gadis itu tidak menyadarinya. 

"Paris Mahendra," jawabnya tegang.

Jessica tersenyum. Dia mengibas rambutnya seraya bercanda, "Hm, Paris? Milan? Austin? Cameron? Brooklyn? Warren? Dakota? Yang mana saudara kembarmu? Jika kutebak namamu Paris karena kau lahir di Paris ia 'kan?" Jessica menyebut semua nama kota terkenal di dunia.

"Kau salah," sahut Paris. 

"Saudaraku bernama Ankara. Namaku Paris karena Mamaku begitu mengagumi Paris. Aku lahir di Jakarta tapi beruntung tak dinamai Jakarta." Paris merasa nyaman menjelaskan. Hadirnya Jessica memunculkan gejolak yang baru kali ini dirasakannya. Dia menyukai gadis itu.

Cukup semenit Jessica mendelik ketika mendengar nama Ankara. Nama itu familiar di telinga Jessica.

"Hei, kenapa kau diam?" tanya Paris. Jessica menggeleng kepalanya pelan. Ia beralih pada topik lain. 

"Aku akan mengambil gambarku. Aku tak punya uang sekarang tapi punya sesuatu yang spesial untukmu. Nomor ponselku, kau bisa menghubungiku kapan saja." 

Jessica menyodorkan kertas berbentuk segi empat kepada Paris. Itu kartu nama. Jessica menyadari bahwa mereka saling cocok satu sama lain.

Paris mematung, mengamati kepergian Jessica. Gadis itu menyinari hidupnya yang gelap. Pertemuan pertama ini saja ia sudah menemukan kecocokan. Gadis yang ia dambakan hadir ketika Ibunya mendesak supaya dia punya kekasih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status