Pintu kamar diketuk dan langsung terbuka, Andrey datang dengan nampan penuh makanan. Peter Zhukov masih berbaring terlentang di kasur dengan tangan sebagai bantalan. Setelah berminggu-minggu perjalanan, akhirnya ia mendapatkan tempat yang nyaman untuk beristirahat.
“Makan malammu, Jenderal,” ucap Andrey yang melangkah masuk.
“Ya,” jawab singkat Peter.
Kamar itu cukup bagus, ranjangnya bersih, dan ada kamar mandi dalam ruangan, tapi sayang tak ada meja kerja untuk menulis di sana.
Peter bangun dan duduk di samping ranjang. Ia menyambut Andrey yang hendak meletakan nampan yang berisi roti kayu manis dengan selai apel, semangkuk bubur gandum yang hangat, satu kentang rebus seukuran kepalan tangan, gelas kosong, dan botol anggur.
“Aku perlu meja untuk menulis,” ucap Peter.
Andrey meletakan nampan penuh makan itu di sebuah meja kecil samping ranjang. Dia melangkah mundur dengan sopan tanpa membelakangi Peter.
“Ya, Jenderal,” ucap Andrey dengan mengangguk dan pergi.
Peter kembali membaringkan tubuhnya, ia ingin beristirahat. Andai bisa, ia ingin sekali saja tidur nyenyak dalam hidupnya. Sejak setahun yang lalu, setelah kemunduran invasi Kerajaan Agelan, dirinya dan Kerajaan Erdan berbalik melakukan invasi serangan. Setiap harinya pertarungan terus terjadi tanpa henti, terlalu banyak rekan-rekannya yang telah tewas, dan bayang-bayang rekan-rekan yang gugur itulah menyebabkan Peter sering bermimpi buruk.
Pukul tujuh malam biasanya ia belum mengantuk. Akan tetapi kasur yang empuk, tubuhnya yang bersih setelah mandi, suasana ruangan yang hangat, dan bau roti kayu manis yang wangi, akhirnya membuat Peter terlelap dalam tidurnya. Mata Peter terpejam tapi dengan samar-samar ia mendengar suara truk.
Boom! Kepala Peter terasa berputar dalam kegelapan. Matanya terbuka dan ia tiba-tiba terbangun di dalam mobil yang terbalik. Kaca-kaca mobil pecah, pintu mobilnya tiba-tiba dibuka oleh seorang tentara Agelan. Ia mengenal tentara itu, prajurit tingkat kopral 1 yang sering ia suruh untuk mengantarkan surat, namanya Nestor Kostomoski.
Nestor menarik tubuh Peter dan berhasil keluar dari mobil yang terbalik.
“Apakah kamu baik-baik saja, Jenderal Zhukov?” ucap Nestor dengan panik.
Peter hanya bisa mengangguk, kemudian Nestor langsung memapah dirinya untuk menjauh dari kekacauan konvoi kendaraan. Tembak-tembakan terus terdengar dari segala arah, suara tembakan meriam dan peluru yang meledak terus menggetarkan tanah, dan teriakan-teriakan serdadu Erdan menggema dalam pikiran Peter.
Zleb. Peter mendengar sebuah bunyi letupan di samping telinganya. Tubuhnya yang dipapah tiba-tiba terhuyung jatuh. Ia terbaring di tanah dengan menatap wajah Nestor yang telah tertembak peluru.
“Nestor!” teriak Peter, tapi suara-suara letusan tembakan lebih keras terdengar.
Dor, dor, dor!
Peter terperanjat bangun dari tidurnya, arloji di jam tangannya menunjukkan pukul 07.45 malam. Kurang dari satu jam ia tertidur dan telah mengalami mimpi buruk. Bukan, itu kilasan nyata dari pengalamannya.
Tok, tok, tok! Peter menoleh dengan kaget ke arah pintu, suara ketukan membuatnya terbayang oleh suara tembakan dalam mimpinya tadi.
‘Andrey sialan,’ batinya dalam hati.
Tok, tok, tok! Pintu kamarnya masih diketuk, biasanya Andrey langsung masuk. Peter berdiri dengan kesal, mengapa ajudannya tak segera masuk, mengapa ia harus membukakan pintu pula?
“Ah!” Peter langsung bergegas membuka pintu, mungkin yang mengetuk pintu merupakan prajurit yang disuruh Andrey untuk membawa sebuah meja.
“Kau?” Peter membuka pintu dan langsung berbuah kecewa, tidak ada anak buah resimennya yang datang. Lagi-lagi pria menyebalkan itu datang.
“Selamat Malam, Jenderal Zhukov. Aku datang menepati janjiku,” ucap si muncikari itu.
Peter terkejut dengan ucapan si muncikari, niat mengiyakan tawaran siang tadi, hanya sekadar agar membuat si muncikari pergi. Peter tak menyangka bahwa omongan si muncikari itu bukanlah bualan, dia datang dengan seorang perempuan muda yang sangat cantik. Sayangnya Peter tidak tertarik untuk bercinta dengan perempuan Agelan itu. Ia hanya ingin tidur nyenyak sendiri, bila tidak, ia lebih menginginkan meja kerja untuk menulis.
“Bagaimana, Jenderal?” tanya si muncikari lagi. Dia tersenyum dengan bangga.
“Aku tidak tertarik,” ucap Peter yang langsung menutup pintu. Ia langsung melempar tubuhnya ke kasur, ia laki-laki normal yang masih menyukai wanita, tapi saat ini suasana hatinya kurang tepat. Kepalanya terasa sedikit berat, satu-satunya cara melepas beban pikiran itu dengan menulis.
Peter terbayang apa yang akan dia tulis nanti, ‘Si muncikari datang lagi, ia mengetuk pintu dan datang dengan seorang bidadari. Sekilas perempuan itu terlihat cantik dengan warna rambut pirang kecokelatan, sama seperti perempuan Agelan pada umumnya. Mungkin ia terdengar menyimpang karena menolak tawaran manis itu, tapi malam ini mimpi buruk datang lebih dahulu. Kali ini Nestor Kostomoski, si tukang surat.’
Tok, tok, tok! Pintu kembali di ketuk, Peter jelas merasa bukan Andrey yang mengetuk pintu. Ia bangkit berniat untuk mengusir si muncikari dan pelacurnya. Ia membayangkan alasan agar tidak dianggap menyimpang. Satu-satunya yang mungkin ia katakan bahwa dia tidak sudi bercinta dengan pelacur rendahan Agelan.
Peter membuka pintu.
Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”Ia menganggukkan kepala.“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.Navila menganggukkan kepalanya, lima
Di dalam bak truk yang mengangkut para pelacur pulang, Navila hanya diam dan menggenggam erat kantong obatnya. Adeline sayup-sayup tertidur bersandar di bahunya, beberapa perempuan juga kelelahan dengan tertidur dalam mantelnya yang hangat, dan beberapa yang lain tampak tertawa atau menikmati rokok mereka.Di seberang tempat duduknya, Alisa tampak sedang berbisik serius dengan Gia, Navila merasakan hal buruk dari bisikan yang tak terdengar itu. Tiba-tiba mata Gia melotot, seperti terkejut dan kesal, ia melirik ke arah Navila dengan tatapan tajam kemudian berbisik pada Illona. Perasaan buruk Navila semakin menjadi-jadi karena tiga perempuan itu jika disatukan biasanya akan merundung dirinya.“Dia melakukannya dengan seorang jenderal?” ucap Illona kaget saat mendapat bisikan dari Gia.“Sialan, meskipun jenderal itu bandot tua, dia hanya anak baru, bisa-bisanya dia langsung mendapatkan posisi dengan seorang jenderal,” gerutu Illona lagi. Mes
“Bagaimana dengan Batalion 805?” tanya Peter. Batalion itu merupakan salah satu kunci dari operasi ini karena mereka berisikan beberapa kendaraan lapis baja. Jika beruntung, harusnya ada 12 tank dalam batalion itu.Wajah mayor itu tampak pucat, setelah mendengar pertanyaan itu. Dari pengalaman Peter, mungkin mayor itu tahu atau memiliki informasi.“Dari informan kami di lapangan, Batalion 805 tidak menemui titik temu seharusnya,” ucapnya semakin pucat.“Maksudmu?” Itu benar-benar kabar yang sangat buruk, seharusnya Batalion 804 dan 805 bertemu bersama dalam sebuah kota.“Para prajurit dari batalion 804 mengalami pertempuran yang sangat berat,” ucap prajurit tersebut. Peter sedikit tak mengagasnya, ia berbalik dan kembali ke tempat ranselnya. Sambil berjongkok ia merogok-rogoh ke dalam tasnya, perasaannya di penuh campur aduk. Kekhawatiran, rasa penasaran, dan tanggung jawab menjadi tak karuan karena batalion
Peter membasuh tubuhnya dengan kain yang dicelupkan dalam ember. Itulah cara mandinya selama ini, hanya dengan membasuh keringatnya tanpa mengguyur dengan air. Ia mulai mengelap tubuhnya dengan handuk bersih yang sebenarnya tidak ia duga bahwa Andrey bisa mendapatkannya.Ia mengelap wajahnya, ketika handuk itu menyentuh bibirnya, tercium pula bau apek bekas badanya. Ia teringat kejadian malam tadi, si gadis apel dengan wangi parfumnya, tapi bagaimana dengan bau dirinya sendiri? Rasanya dia telah menjadi laki-laki yang buruk, semoga si gadis apel tidak merasa kecewa dengan bau dirinya.Agendanya hari ini, ia berniat untuk mengecek kondisi dari Batalion 803 yang baru saja tiba. Lima ratus prajurit yang selamat artinya cukup banyak yang masih hidup sejak Operasi Tsunami dimulai. Sebuah serangan besar-besaran dan terpusat dilakukan menuju Kota Kostrov— Ibukota Kerajaan Agelan.Jam di tangannya menujukan pukul 07.05, artinya pula sepuluh menit lagi apel p
“Aku baik-baik saja,” jawab Adeline dengan senyum palsu dan manik mata yang berkaca-kaca. Navila kini sedikit paham bahwa sesungguhnya Adeline tak ingin menceritakannya, lagi pula ia tak ingin memaksa.Navila menggenggam tangan Adeline dengan dua tangannya, sama seperti Adeline ketika menguatkan dirinya saat turun dari truk.“Aku harap perang ini segera berakhir,” ucap Navila. Tiba-tiba Adeline menatap Navila dengan mata berkaca-kaca yang rapuh. Air mata Adeline mulai mengalir, Navila tak begitu mengerti mengapa sahabatnya itu tiba-tiba menangis. Bukankah harapan yang ia ucapkan tadi adalah baik?Navila makin menggenggam erat Adeline. “Ayo, kita segera pulang.”Mereka terus berjalan di jalan yang sedikit bersalju. Dinginnya udara menerpa wajah mereka dan hampir membekukan kaki Navila yang tak tertutup roknya. Para tentara Erdan yang tidur di pinggir-pinggir koridor dan halaman mulai terbangun. Matahari di ufuk timur mas
“Apa yang dia katakan?” tanya ulang sang jenderal itu. Navila mencoba berpikir sejenak, ia tak mungkin mengatakan perkataan Adeline yang menebak seolah tahu perasaannya.‘Jangan sampai kamu jatuh cinta,’ bisik Adeline tadi dengan bercanda.Bagaimana bisa Adeline tahu? Apa dia hanya bercanda? Apa dia juga berpikir bahwa jenderal itu tampan juga? Entah mengapa pikirannya berkecamuk sendiri. Sang jenderal itu masih menanti jawaban, sedangkan Navila masih memikirkannya.“D-dia bertanya, apakah aku akan kemari lagi?” bohong Navila.“Seperti itu? Baguslah, tempat ini sangat buruk itu perempuan sepertimu,” ucap sang jenderal dengan nada kecewa.Mereka diam sejenak di pintu yang setengah terbuka. Udara dingin sedikit menerpa lengan Navila, tapi ia mencoba tetap kuat. Ia tak ingin terlihat sedikit lemah atau kedinginan, ia tak ingin merepotkan lagi jenderal itu.Suara Adeline yang sedikit lantang bahkan