“Ikut aku,” ucap Tuan Deus yang langsung berbalik.
“Tapi Tuan, bagaimana dengan yang lain?” Seorang tentara menyeimbangi langkah tapi tak bermaksud menghadang Tuan Deus.
“Urus saja seperti biasanya,” ucap Tuan Deus tanpa memperlambat langkahnya. Tentara itu langsung berhenti dengan mengaruk-garuk dahinya seperti orang yang ragu. Beberapa langkah kemudian, Tuan Deus berhenti tepat sebelum memasuki teras bangunan itu.
Tuan Deus kembali berbalik, “Ikuti aku, nona bergaun biru muda.”
Navila tahu pria itu memanggil dirinya. Ia mencoba melangkah tapi kakinya sedikit gemetar. Udara malam mulai menembus pakaiannya. Lengan dan lututnya merasakan hembusan angin malam yang dingin. Kini Navila tahu mengapa para perempuan memakai mantel dan sarung tangan hangat.
“Kau cantik tapi menyebalkan, Nona. Cepat kemarilah dan ikuti aku,” ucap Tuan Deus yang menahan emosinya. Dua jarinya mengisyaratkan agar Navila segera menghampirinya. Navila tak bisa mundur lagi, ia mulai melangkah dengan menggenggam erat tangan Adeline.
“Tidak, tidak. Nona, hanya kau saja.” Jari telunjuk Tuan Deus melambai dengan cepat.
Adeline menggenggam tangan Navila dengan kedua tangganya. “Kamu harus bersabar.”
Kemudian genggaman tangan itu terlepas bersama anggukan kepala Navila. Ia mulai berjalan dengan lutut yang masih gemetar. Tangannya bersedekap di dada tapi telapak tangannya menggosok-gosok lengan yang dingin. Ia mengenakan dress yang panjang roknya di bahwa lutut tapi lengan bajunya pendek— tak sampai siku.
Navila mengikuti Tuan Deus yang berjalan dalam koridor Benteng Esthaz. Bangunan itu merupakan bekas bangunan militer milik Kerajaan Agelan, tapi sepuluh hari yang lalu tentara Kerajaan Erdan berhasil merebutnya.
Kabar mengatakan semua tentara Agelan tewas ketika bertahan di benteng itu. Beberapa mengatakan terjadi pertempuran sengit dalam mempertahankan benteng itu. Navila tahu kebenarannya, benteng itu ditinggalkan tepat sehari sebelum tentara Erdan datang.
Langkah kaki Navila terus mengikuti Tuan Deus yang menyusuri koridor bangunan. Mereka berbelok, lantai kayu yang mereka pijak berubah menjadi tanah. Terlihat sebuah bangunan megah dengan tiga tingkat. Navila tak mengenali isi dan seluk beluk bangunan di dalam benteng karena dahulunya merupakan tempat dengan akses terbatas bagi warga sipil.
Tuan Deus terus berjalan dan kemudian berhenti di depan dua orang tentara yang sedang duduk bersantai menikmati minuman hangatnya. Dua tentara itu langsung berdiri dengan sigap. Senapan laras panjang mengantung di dada mereka. Salah satu pria itu menatap dengan tatapan tajam dan waspada tapi pria lain tersenyum menjijikkan.
“Siapa kamu?” tanya pria yang memiliki tatapan tajam.
“Dia adalah Tuan Deus,” bisik pria satunya yang bermaksud menjelaskan.
“Aku datang untuk membawa hadiah kepada Jenderal,” ucap Tuan Deus dengan bangga.
Navila mendengar sebutan pangkat tinggi militer itu, perasaannya tertusuk tajam, ia tak menyangka disebut sebagai ‘hadiah untuk sang jenderal’. Sungguh buruk bila kesuciannya akan hilang di tangan seorang jenderal tua. Navila membayangkan bahwa orang yang berpangkat jenderal militer pastilah seorang pria tua seumuran ayahnya. Itu menjijikkan dan hina, tapi Navila sadar kepada siapa pun nantinya ia memberikan tubuhnya, perbuatan itu tetaplah hina.
Satu-satunya yang dia inginkan hanya obat untuk kesembuhan ayahnya, tapi bila mungkin ia harap tidak diperlakukan kasar.
Dua tentara itu tersenyum lebar seperti seorang anak kecil yang mendengar hadiah. Tatapan mereka seperti serigala yang kelaparan. Pria dengan senyum yang paling menjijikkan melangkah ke depan Tuan Deus. Ia berbisik dengan tatapan buasnya, “Meski aku merasakan bekas dari Jenderal Zhukov, aku tak keberatan.”
“Kami. Hahaha,” sahut pria satunya. Dua pria itu tertawa dan memandang Navila dengan penuh nafsu birahi. Navila semakin menundukkan kepalanya, ia terbayang perlakukan yang lebih bejat dari dua pria itu dari pada bayangan sang jenderal tua.
“Permisi, Tuan-tuan,” ucap Tuan Deus menerobos dua pria itu. Navila mengikutinya, salah satu pria mendekat dan mengendus bau parfum yang Navila gunakan, tapi ia tidak memedulikan.
“Aku bisa mencium bau apel yang manis dan segar,” ucap pria itu seperti mabuk. Perkataan itu benar karena Navila menggunakan sisa parfum apelnya. Ia merasa bodoh, harusnya ia tak memakai wewangian yang menarik perhatian.
Langkah Navila telah mencapai teras bangunan dengan lantai kayu. Tuan Deus berhenti tepat di depan pintu dan menoleh ke belakang.
“Percayalah, kamu akan mendapatkan yang lebih baik setelah melayani Jenderal. Tak perlu dengarkan dua orang itu, jika kamu mendapat perhatian Jenderal Zhukov, tak akan ada yang berani menyentuhmu,” ucap Tuan Deus.
“A-aku hanya ingin obat untuk ayah,” ucap Navila singkat.
“Kamu bisa mendapatkan lebih,” ucap Tuan Deus dengan membuka pintu.
Saat pintu terbuka, udara hangat dari perapian menerpa wajah Navila. Bau roti kayu manis tercium samar-samar. Perutnya pun langsung meraung kelaparan tapi tak begitu keras untuk didengar Tuan Deus.
Seorang laki-laki tua sedang duduk di samping perapian itu. Ia mengenakan pakaian dinas militernya, jas yang dia kenakan menandakan dia berpangkat cukup tinggi. Tangannya memegang gelas anggur dan pandangannya menoleh ke arah pintu.
" Selamat malam Mayor Nezhkov ," sapa Tuan Deus.
Sang Mayor tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar. "Kau membawa barang bagus, Tuan Deus."
"Maaf Tuan, nona ini milik Jenderal Zhukov," ucap Tuan Deus dengan sedikit membungkukkan badannya.
Mayor Nezhkov kini tersenyum dan kemudian tertawa sendiri, dia seperti orang gila. Raut wajahnya bengis, ada keriput di bawah lengkungan matanya, dan dia mungkin berumur lebih dari 45 tahunan.
"Percayalah, Jenderal Zhukov tidak tertarik dengan perempuan. Kamu lebih baik memberinya mata-mata musuh dari pada perempuan cantik ini." Mayor Zhukov mulai berdiri dengan gelas anggur di tangannya. Ia mendekat ke Navila dengan senyum binatang buasnya.
Navila bisa merasakan aura bejat dari pria tua itu. Ia sungguh tak menyangka pria itu adalah pria yang diwanti-wanti oleh Gia. Sorot mata pria itu sungguh menjijikkan, Navila tak sedikit pun berniat menggoda pria itu.
"Apa Tuan Nezhkov tahu keberadaan Jenderal Zhukov?" tanya Tuan Deus sambil menutup pintu tanpa membelakangi Mayor Nezhkov.
Mayor Nezhkov terus berjalan dengan mabuk. Ia menunjuk ke atas, "Dia ada di lantai tiga."
Langka Mayor Nezhkov masih belum berhenti. Ia meneguk sisa angur dan kemudian membuang gelas kosong dari aluminium itu. Gelas itu jatuh memantul beberapa kali, suaranya mengiringi langkah Mayor Nezhkov yang ingin menerkam Navila.
Tuan Deus berhasil menghadang terkaman itu tapi nafas bau alkohol tercium hingga ke hidung Navila.
"Aku mau kau, meski sisa dari Zhukov," ucap Mayor Nezhkov yang sedikit mabuk.
Navila terus menunduk dan diam. Perkataan itu sama menjijikkannya dengan dua tentara tadi. Semua tentara Erdan sama saja, pikiran mereka hanya ingin memuaskan nafsu birahinya.
“Tuan, perempuan ini milik Jenderal,” ulang Tuan Deus dengan sorot mata yang serius. Kedua pria itu saling menatap sangat dekat, tatapan mereka saling menantang dan siap berkelahi.
Mayor Nezhkov mundur satu langkah tapi sorot matanya masih menatap Tuan Deus dengan sangat tajam. “Agelan busuk.”
Tuan Deus melangkah tanpa memedulikan makian itu. Navila mengikuti langka pria itu ke tangga. Ia tak berani menoleh ke Mayor Nezhkov karena merasa wajah bengis dan bejatnya masih mengawasi.
“Aku tahu ini pertama kalinya untukmu,” kata Tuan Deus saat menaiki anak tangga menuju lantai tiga.
“Saranku, jangan bersikap kaku atau menolak. Ikuti saja permainannya saat dia menyentuhmu. Aku yakin malam akan berlalu dengan cepat. Mungkin kamu akan terbiasa nantinya.” Tuan Deus kemudian berhenti di sebuah pintu kamar. Ia mengetuk pintu itu tapi setiap ketukan yang ia dengar rasanya menabuh jantung Navila.
Pintu terbuka, ketakutan menghampirinya, tapi Navila harus melayani pria itu.
Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”Ia menganggukkan kepala.“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.Navila menganggukkan kepalanya, lima
Di dalam bak truk yang mengangkut para pelacur pulang, Navila hanya diam dan menggenggam erat kantong obatnya. Adeline sayup-sayup tertidur bersandar di bahunya, beberapa perempuan juga kelelahan dengan tertidur dalam mantelnya yang hangat, dan beberapa yang lain tampak tertawa atau menikmati rokok mereka.Di seberang tempat duduknya, Alisa tampak sedang berbisik serius dengan Gia, Navila merasakan hal buruk dari bisikan yang tak terdengar itu. Tiba-tiba mata Gia melotot, seperti terkejut dan kesal, ia melirik ke arah Navila dengan tatapan tajam kemudian berbisik pada Illona. Perasaan buruk Navila semakin menjadi-jadi karena tiga perempuan itu jika disatukan biasanya akan merundung dirinya.“Dia melakukannya dengan seorang jenderal?” ucap Illona kaget saat mendapat bisikan dari Gia.“Sialan, meskipun jenderal itu bandot tua, dia hanya anak baru, bisa-bisanya dia langsung mendapatkan posisi dengan seorang jenderal,” gerutu Illona lagi. Mes
“Bagaimana dengan Batalion 805?” tanya Peter. Batalion itu merupakan salah satu kunci dari operasi ini karena mereka berisikan beberapa kendaraan lapis baja. Jika beruntung, harusnya ada 12 tank dalam batalion itu.Wajah mayor itu tampak pucat, setelah mendengar pertanyaan itu. Dari pengalaman Peter, mungkin mayor itu tahu atau memiliki informasi.“Dari informan kami di lapangan, Batalion 805 tidak menemui titik temu seharusnya,” ucapnya semakin pucat.“Maksudmu?” Itu benar-benar kabar yang sangat buruk, seharusnya Batalion 804 dan 805 bertemu bersama dalam sebuah kota.“Para prajurit dari batalion 804 mengalami pertempuran yang sangat berat,” ucap prajurit tersebut. Peter sedikit tak mengagasnya, ia berbalik dan kembali ke tempat ranselnya. Sambil berjongkok ia merogok-rogoh ke dalam tasnya, perasaannya di penuh campur aduk. Kekhawatiran, rasa penasaran, dan tanggung jawab menjadi tak karuan karena batalion
Peter membasuh tubuhnya dengan kain yang dicelupkan dalam ember. Itulah cara mandinya selama ini, hanya dengan membasuh keringatnya tanpa mengguyur dengan air. Ia mulai mengelap tubuhnya dengan handuk bersih yang sebenarnya tidak ia duga bahwa Andrey bisa mendapatkannya.Ia mengelap wajahnya, ketika handuk itu menyentuh bibirnya, tercium pula bau apek bekas badanya. Ia teringat kejadian malam tadi, si gadis apel dengan wangi parfumnya, tapi bagaimana dengan bau dirinya sendiri? Rasanya dia telah menjadi laki-laki yang buruk, semoga si gadis apel tidak merasa kecewa dengan bau dirinya.Agendanya hari ini, ia berniat untuk mengecek kondisi dari Batalion 803 yang baru saja tiba. Lima ratus prajurit yang selamat artinya cukup banyak yang masih hidup sejak Operasi Tsunami dimulai. Sebuah serangan besar-besaran dan terpusat dilakukan menuju Kota Kostrov— Ibukota Kerajaan Agelan.Jam di tangannya menujukan pukul 07.05, artinya pula sepuluh menit lagi apel p
“Aku baik-baik saja,” jawab Adeline dengan senyum palsu dan manik mata yang berkaca-kaca. Navila kini sedikit paham bahwa sesungguhnya Adeline tak ingin menceritakannya, lagi pula ia tak ingin memaksa.Navila menggenggam tangan Adeline dengan dua tangannya, sama seperti Adeline ketika menguatkan dirinya saat turun dari truk.“Aku harap perang ini segera berakhir,” ucap Navila. Tiba-tiba Adeline menatap Navila dengan mata berkaca-kaca yang rapuh. Air mata Adeline mulai mengalir, Navila tak begitu mengerti mengapa sahabatnya itu tiba-tiba menangis. Bukankah harapan yang ia ucapkan tadi adalah baik?Navila makin menggenggam erat Adeline. “Ayo, kita segera pulang.”Mereka terus berjalan di jalan yang sedikit bersalju. Dinginnya udara menerpa wajah mereka dan hampir membekukan kaki Navila yang tak tertutup roknya. Para tentara Erdan yang tidur di pinggir-pinggir koridor dan halaman mulai terbangun. Matahari di ufuk timur mas
“Apa yang dia katakan?” tanya ulang sang jenderal itu. Navila mencoba berpikir sejenak, ia tak mungkin mengatakan perkataan Adeline yang menebak seolah tahu perasaannya.‘Jangan sampai kamu jatuh cinta,’ bisik Adeline tadi dengan bercanda.Bagaimana bisa Adeline tahu? Apa dia hanya bercanda? Apa dia juga berpikir bahwa jenderal itu tampan juga? Entah mengapa pikirannya berkecamuk sendiri. Sang jenderal itu masih menanti jawaban, sedangkan Navila masih memikirkannya.“D-dia bertanya, apakah aku akan kemari lagi?” bohong Navila.“Seperti itu? Baguslah, tempat ini sangat buruk itu perempuan sepertimu,” ucap sang jenderal dengan nada kecewa.Mereka diam sejenak di pintu yang setengah terbuka. Udara dingin sedikit menerpa lengan Navila, tapi ia mencoba tetap kuat. Ia tak ingin terlihat sedikit lemah atau kedinginan, ia tak ingin merepotkan lagi jenderal itu.Suara Adeline yang sedikit lantang bahkan