Si pelacur berdiri dengan wajah memelasnya, si muncikari telah pergi. Perempuan itu memiliki wajah yang sangat cantik. Pipinya sedikit berisi dan bibirnya sangat tipis menggoda. Matanya bulat dengan manik mata cokelat muda, menyatu dengan warna pirang cokelat rambutnya. Dia mengenakan dress biru muda dengan motif berbunga-bunga yang membuatnya semakin cantik dipandang. Lekukan tubuhnya sedikit berisi, perempuan itu sungguh sempurna, tapi Peter tidak tertarik.
“Pergilah,” usir Peter dengan halus.
“A-aku mohon terima aku,” ucap perempuan itu dengan gemetar. Sejujurnya, jiwa laki-laki Peter sedikit tertarik dengan paras cantik dan suara lembut perempuan itu.
“Tidak, tidak. Aku bukan laki-laki seperti itu, Nona. Bila kamu ingin makanan atau uang, aku bisa memberimu sedikit, tapi pergilah,” ucap Peter. Kemudian ia sadar bahwa perkataannya mungkin terdengar bodoh karena menolak tawaran perempuan itu.
“Aku perlu obat,” sahut perempuan itu.
“Aku bukan dokter.”
“Kumohon.” Wajah perempuan itu semakin memelas.
Peter menghela nafasnya dengan kasar, obat sangat diprioritaskan pada tentara Erdan yang terluka. Makanan mungkin bisa dibagi tapi obat-obatan sangat terbatas. Pendiriannya jelas, ia tak akan mengizinkan obat-obat diberikan pada orang-orang Agelan.
“Obat hanya untuk tentara Erdan,” ucap Peter dengan menutup pintu.
“T-tunggu—”
Peter membanting pintu sedikit keras tapi tak terdengar suara kayu yang terbanting, ia merasakan sesuatu yang menganjal di pintu.
“Argh!” pekik suara perempuan terdengar.
Peter spontan membuka pintu itu lagi. Perempuan itu telah menarik tangannya dengan meringis kesakitan. Matanya berkaca-kaca, dia tetap cantik meski wajahnya penuh kesedihan dan kesakitan. Jarinya mungkin tak sengaja terjepit pintu.
“Kamu tidak apa-apa?” ucap Peter dengan rasa bersalah.
“Sakit,” suara perempuan itu terdengar lebih panjang dan sedikit manja, atau mungkin hanya perasaan Peter saja.
“Maaf.”
“Aku perlu obat,” suara perempuan itu seperti meminta obat untuk dirinya sendiri, atau mungkin hanya perasaan Peter saja.
“Aku minta maaf, tapi lukamu hanya terjepit pin—”
“Untuk Ayah,” sela perempuan itu.
Pendirian Peter masih kokoh. Bagaimana jika Ayah perempuan itu adalah seorang gerilyawan? Bagaimana bisa Ayahnya terluka atau sakit, dari mana lukanya? Bagaimana mungkin seorang perempuan mudah mau menukar segala yang ia punya hanya demi sebuah obat yang belum tentu menyembuhkan Ayahnya? Tiba-tiba Peter merasakan persekongkolan licik antara perempuan itu dengan si muncikari tadi.
Suara langkah kaki di anak tangga terdengar melangkah naik. Peter berharap Andrey yang datang, syukur-syukur dia membawa meja untuk menulis itu. Jika tidak, setidaknya ia bisa memberi perintah pada Andrey untuk mengusir perempuan ini.
“Jenderal Zhukov, apakah Anda sudah selesai dengan perempuan itu? Aku tak keberatan bila harus menunggu dan mendapat sisa darimu, Jenderal,” ucap Mayor Nezhkov yang tidak disangka-sangka datang.
Peter mengerutkan alisnya saat melihat tampang bejat laki-laki itu. Ia dengar dari Andrey, setiap desa atau kota yang disinggahi mayor itu dan pasukannya, mereka terkadang menjarah beberapa warga atau memperkosa beberapa wanita. Peter membenci sikap tak bermoral itu. Akan tetapi ia tak bisa menghukum mereka karena hanya akan mengurangi jumlah pasukan.
“Dia milikku, tak kuizinkan siapa pun menyentuhnya,” ucap spontan Peter tanpa pikir panjang. Sikapnya hanya tak ingin mengiyakan perbuatan tak bermoral yang ingin dilakukan mayor itu.
Ekspresi wajah Mayor Nezhkov berubah menjadi masam. Ia tersenyum dengan kecewa, “Aku menghormatimu, Jenderal.”
Peter menarik lengan perempuan itu, kulitnya terasa sungguh lembut dan tubuhnya terasa ringan. Perempuan itu sedikit memekik kaget, langkahnya sempoyongan karena tarikan Peter.
Tangan kiri Peter juga langsung menutup pintu, kini ia mendengar suara bantingan pintu cukup keras. Saat itu pula perempuan itu menubruk dada Peter dengan pelan, tapi kepalanya memantul, dan tangan kiri Peter spontan mencegah kepala perempuan itu terbentur ke dinding.
Peter merasakan rambut perempuan itu sangat lembut dan lebat. Ia mencium semerbak parfum berbau buah apel yang manis dan segara, perempuan itu sungguh wangi. Wajah mereka sangat dekat, tinggi perempuan itu tak lebih tinggi dari hidung Peter. Ia harus sedikit membungkuk dan perempuan itu sedikit mendongkak ke atas, entah mengapa mereka melakukan itu semua.
Semerbak wangi apel yang baru dipetik menghipnotis Peter untuk menelusuri asal baunya. Ia pikir wangi itu berasal dari bibir tipis atau mungkin dari pipi merona itu. Wajah Peter semakin dekat, hidungnya mengendus tepat di pipi perempuan itu.
Semerbak bau apel semakin banyak.
Tebakan Peter benar, wangi apel itu berasal dari pipi perempuan itu. Kulit wajah perempuan itu terasa lembut dan dingin, Peter terbayang buah apel yang segar. Andai perempuan itu adalah sebuah buah apel, ia ingin mencicipnya dengan satu gigitan kecil. Tak sengaja ia mengecup pipi itu dengan lembut.
Peter ingin lebih, ia menarik wajahnya tapi langsung mencium bibir perempuan itu lagi. Ia pikir ciuman itu akan terasa seperti menggigit apel segar yang berair. Sayangnya, bibir itu terasa kering dan tak ada tekstur apel segar. Tapi rasanya lebih enak dari pada menggigit buah apel.
Terasa lembut, kenyal, dan sedikit hangat.
Peter menarik wajahnya, ia ingin lagi. Akan tetapi, lengan perempuan itu menahannya dan setetes air mata mengalir ke pipinya. Peter terbayang perbuatannya tadi sama buruknya dengan Mayor Nezkov dan kompi prajuritnya. Ia pun mundur, “Maafkan aku, kamu bisa pergi.”
Sesaat kemudian, Peter melangkah maju, ia mencoba membukakan pintu tapi tubuh perempuan itu tiba-tiba bergeser untuk menahan pintu agar tidak terbuka. Ia tak mengerti pada sikap perempuan itu. Mungkinkah perempuan itu menginginkannya lagi, Peter tak keberatan.
Navila menggelengkan kepalanya, tubuhnya menahan pintu agar tidak terbuka. Ia tak ingin keluar dari kamar itu tanpa membawa obat. Ia tak mengerti sikap jenderal itu yang mengatakan tidak tertarik, tapi tiba-tiba menarik dirinya dan memberikan ciuman yang tak singkat. Navila tak menyangka bahwa jenderal itu masih berumur muda, mungkin seumuran dengan kakaknya. Ia akui jenderal itu sedikit tampan meski dengan potongan rambut cepak khas gaya tentara. Rambutnya pendeknya berwarna pirang emas seperti beberapa orang-orang dari Kerajaan Erdan. Sorot matanya tajam, serius, dan penuh wibawa, tapi dagunya membentuk wajah yang tampan. Dia memakai kaos dan celana panjang, tubuhnya terlihat berotot dan kekar, tubuh sempurna seperti kesatria di dongeng. Andai bukan dalam situasi rumit dan perang, mungkin Navila akan jatuh cinta pada jenderal itu. Obat dan Ayahnya sakit, hanya itu yang ada dalam pikiran Navila kali ini. Jenderal itu sudah menolak memberikan obat dan bersike
Jenderal itu menutup pintu tanpa menguncinya. Dia memandu Navila berjalan turun. Di lantai tiga hanya ada koridor sepi dan kamar-kamar tertutup, Navila pikir lantai paling atas ini khusus ditempati oleh para perwira tinggi seperti jenderal dan mayor itu. Di lantai dua, ruangannya lebih luas dan ada meja makan yang sangat besar. Hanya ada seorang prajurit yang berbaring santai di lantai dengan bantalan tas. Dia langsung berdiri dengan sikap siap saat melihat jenderalnya. “Hidup untuk Erdan!” ucap prajurit itu sedikit berteriak. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menaikkannya hingga sejajar dengan bahu, salam khas tentara Erdan. “Hidup untuk kedamaian,” balas sang jenderal dengan mengeluarkan tangannya dari balik mantel. Dia juga mengepalkan tangan kananya untuk membalas salam itu. Jenderal itu kemudian melangkah turun ke lantai satu. Ada sebuah perapian dengan nyala api yang hampir padam dan ada sisa botol anggur di meja dekat perapian itu. Dibandingk
Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka. Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi. Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya. Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari meng
Peter beranjak duduk di samping perempuan itu, tatapan mereka tak putus, tapi perempuan itu terlihat sedikit canggung atau mungkin gugup. Peter juga sama, perasaannya tidak karuan. Di sisi lain hatinya, ia ingin ciuman itu atau bahkan lebih. Di sisi lain hatinya juga, ia ingin perempuan itu segera pergi agar dirinya tidak bersikap lebih buruk. Bibir bawah perempuan tiba-tiba menekuk ke dalam. Perempuan itu seperti sedang menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang mencicipi rasa dari bekas ciuman tadi. Peter merasa ingin tertawa saat melihat tingkat polos perempuan itu. “Beri aku sekali lagi,” minta Peter. Perempuan itu tiba-tiba merapatkan bibirnya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya sekali. Peter anggap perempuan itu telah setuju. Ia langsung menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat. Tatapan mereka masih belum putus. Rona di pipi perempuan itu semakin memerah seperti ingin meledak. Wajah Peter semakin menjulurkan ke depan, perempuan itu
Navila mengenakan kembali mantel itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sangat baik pada dirinya. Meski beberapa kali jenderal itu menciumnya tanpa permintaan sepatah kata pun. Ia merasa bahwa ciuman itu sangat tulus dari hati sang jenderal. Andai sang jenderal meminta lebih, Navila tak keberatan karena ia telah mendapatkan obat untuk ayahnya. Lagi pula jenderal itu sedikit tampan. ‘Hihihi,’ tawa Navila dalam hatinya. “Ayo, mengapa diam?” Sang jenderal menoleh ke belakang. Navila menganggukkan kepalanya tanpa menjawab alasan dia melamun. Saat mulai melangkah, pijakkannya seperti kosong. Ia melangkah melewati dua anak tangga sekaligus, tubuhnya terhuyung ke depan akan jatuh. Navila membayangkan tangan dan tubuhnya yang akan jatuh ke tanah. Tak diduga-duga ia malah mendarat ke tubuh sang jenderal. “Berhati-hatilah,” ucap sang jenderal. Navila bisa merasakan tubuh sang jenderal itu sangat kokoh, lengan dan dadanya memiliki otot seorang kesatri
Jenderal itu menjawab, “Aku takut kamu tersesat.”“Aku tak mungkin tersesat, Jenderal,” ucap balik Navila.Sang jenderal membuka genggaman tangannya, tapi Navila malah semakin menggenggam erat tanpa sedikit pun niat melepaskannya.“Aku tak ingin melihatmu disentuh oleh mereka,” ucap sang jenderal dengan menggenggam kembali tangan Navila.“Mengapa?” Navila merasa jenderal itu sedikit kikuk. Sang jenderal tak menjawab tapi malah semakin berjalan dengan cepat. Navila mencoba mengimbangi kecepatan langkahnya sesuai tarikan tangan sang jenderal, tapi pijakannya terlalu cepat di setiap anak tangga.“Argh!” Navila terpeleset, ia jatuh tersungkur ke depan. Beruntung sang jenderal tak tertarik ke belakang, dia hanya tertarik sampai berjongkok saja.“Kamu tidak apa-apa?”“Sakit.”“Maaf berjalan terlalu cepat. Kamu bisa berdiri atau aku perlu mengend
Perempuan itu bertingkah lucu sekali, dia memakan rotinya dengan mengayun-ayunkan kakinya di tepi ranjang. Dia terlihat bahagia dengan tingkah mengemaskan. Peter menebak kaki perempuan itu akan diam ketika memakan bubur gandum itu. Ia tahu bubur itu sangat buruk rasanya: hambar, biji gandumnya terasa setengah matang, dan rasanya sangat mirip dengan lem.Tebakan Peter benar. Ayunan kaki yang bahagia itu berhenti. Perempuan itu memakan bubur gandum itu dengan wajah terpaksa.“Apa yang lucu?” ucap perempuan itu dengan nada yang kesal.“Bubur itu rasanya aneh, bukan? Tidak enak dan hambar.”“Aku menyukainya, Jenderal. Aku bersyukur bisa memakannya, makanan sangat sulit, aku tidak ingin mencelanya.” Ucapan itu terbalik dengan sikapnya, wajahnya sedikit cemberut dan tak ada ayunan kaki bahagianya.Peter sedikit senang mendengar ucapan itu, ia sendiri juga tak suka mencela makanan dalam situasi perang ini. Ia pun kembal
Peter melangkah mengambil mantelnya, kemudian membentangkannya di lantai sebagai alas tidur. Ia juga menarik ranselnya sebagai bantal. Sejujurnya hasratnya masih bergejolak, tapi ia tak ingin mengganggu tidurnya si gadis apel. Ya, Peter memiliki julukan baru untuk perempuan itu yaitu si gadis apel.Ia mulai berbaring. Semerbak wangi apel kembali tercium sama-samar, wangi si gadis apel masih membekas di mantel itu. Peter menyukainya dan matanya mulai terpejam.Boom! Suara ledakan roket terdengar meledak di tempat yang cukup jauh, tapi getarannya merambat hingga tempatnya tidur. Peter terbangun di sebuah ruangan bekas gedung. Suara roda besi mulai terdengar bergerak mendekat, semua orang kenal suara mesin yang berat itu, itu adalah suara tank.Peter bangkit dengan kepala pening sama seperti di setiap bangun tidurnya. Ia berjalan mendekat ke jendela dengan dinding sebagai rambatannya. Jendela itu menghadap tepat di persimpangan jalan, ia berada di lantai tingkat ti