Share

5. Navila: Terjepit

Navila menggelengkan kepalanya, tubuhnya menahan pintu agar tidak terbuka. Ia tak ingin keluar dari kamar itu tanpa membawa obat. Ia tak mengerti sikap jenderal itu yang mengatakan tidak tertarik, tapi tiba-tiba menarik dirinya dan memberikan ciuman yang tak singkat.

Navila tak menyangka bahwa jenderal itu masih berumur muda, mungkin seumuran dengan kakaknya. Ia akui jenderal itu sedikit tampan meski dengan potongan rambut cepak khas gaya tentara. Rambutnya pendeknya berwarna pirang emas seperti beberapa orang-orang dari Kerajaan Erdan. Sorot matanya tajam, serius, dan penuh wibawa, tapi dagunya membentuk wajah yang tampan.

Dia memakai kaos dan celana panjang, tubuhnya terlihat berotot dan kekar, tubuh sempurna seperti kesatria di dongeng. Andai bukan dalam situasi rumit dan perang, mungkin Navila akan jatuh cinta pada jenderal itu.

Obat dan Ayahnya sakit, hanya itu yang ada dalam pikiran Navila kali ini. Jenderal itu sudah menolak memberikan obat dan bersikeras bahwa obat hanya untuk tentara Erdan. Akan tetapi jenderal itu tadi juga menolak tawaran kedatangan Navila, kemudian tiba-tiba menariknya dalam ruangan. Navila pikir jenderal itu bisa berubah pikiran.

“Aku tidak mau keluar jika kamu tidak memberiku obat,” ucap Navila memberanikan diri. Harusnya jenderal itu mudah ditaklukkan, harusnya dia meminta apa yang diinginkan dari Navila seperti ciuman tadi atau lebih. Navila sudah pasrah bila itu yang diminta sang jenderal.

Jenderal itu perlahan mundur dan duduk di sisi ranjangnya. Dia tersenyum dan tertawa tanpa suara, sorotan mata tajamnya hilang. Jenderal itu terlihat lebih tampan ketika tersenyum. Dia kembali berdiri tapi sorotan matanya kembali tajam dan terus melangkah mendekat ke Navila.

“Apa kamu tak takut, sesuatu yang lebih buruk menimpamu?” suara sang jenderal berubah sedikit menggoda.

“Tidak.” Hal terburuk bagi Navila ada sakit Ayahnya yang semakin memburuk. Ia tak ingin kehilangan Ayahnya— satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini. Mungkin kakaknya masih hidup, tapi dia ikut bergerilya seperti perintah sang raja.

“Jika kamu tak takut, mengapa kamu menangis?” Jemari jenderal itu datang mengusap ke pipi Navila dengan singkat, kemudian turun untuk meraih tangan kirinya. Navila tak keberatan disentuh oleh jenderal itu, asal ia bisa mendapatkan obat untuk Ayahnya.

“Apa ini sakit?” Jenderal itu mencoba membuka jemari Navila yang baru saja terjepit pintu.

‘Ya!’ teriak Navila dalam hati. Jari telunjuknya terasa sakit sepeti patah, ada luka gores gara-gara ia menariknya saat spontan. Ia tak menyangka jenderal itu menutup pintu sangat kencang.

Navila menganggukkan kepalanya, ia tak ingin berdebat untuk menyalahkan jenderal itu. Jari jenderal itu terasa sangat kasar dan hangat saat menyentuh dirinya, tapi sentuhannya sangat lembut dan penuh perhatian.

Jari Navila berdenyut sakit karena terjepit pintu, tapi jantungnya berdegup lebih kencang karena gugup disentuh oleh jenderal itu. Ia tak mengeri, tiba-tiba perasaannya terasa seperti dicampur-adukan gara-gara sentuhan penuh perhatian jenderal itu.

“Duduklah.” Jenderal itu melepas sentuhannya dan berbalik ke sisi ranjang dengan berjongkok. Dia mengotak-atik isi dalam tas besarnya. Navila menuruti perintah jenderal itu.

Ia duduk tepat di samping makanan sang jenderal yang tak tersentuh. Roti, semangkuk bubur gandum, satu kentang rebus besar, dan botol anggur, masih belum tersentuh. Ia tak mengira jenderal itu tahan tidak menyentuh secuil makanannya, atau mungkin Navila telah mengganggu makan malam jenderal itu.

Navila tertegun melihat hidangan lezat itu, terakhir kali ia memakan roti yaitu satu bulan yang lalu. Setiap harinya ia memakan kentang rebus, atau sup kentang, atau pie kentang. Semua yang ia makan satu bulan terakhir ini hanyalah kentang. Ia paham mengapa para perempuan kota mau melacurkan diri di tempat ini, para tentara Erdan memiliki makanan yang lebih baik.

“Kau boleh memakannya, aku tidak keberatan,” ucap sang jenderal sedikit mengagetkan Navila. Jenderal itu masih sibuk merogoh-rogoh dalam tasnya. Navila tak menjawab perkataan sang jenderal karena ia datang tak seperti para perempuan kota yang ingin mendapatkan makanan.

Jenderal itu tiba-tiba duduk di samping Navila, dia membuka botol salepnya yang lebih kecil dari botol selai. Dia berkata, “Ulurkan jarimu.”

Navila mengulurkan jarinya yang terluka. Jenderal itu mengoleskan salep berwarna seputih susu. Salep itu tidak terasa perih tapi terasa sangat dingin tepat di luka gores itu.

“Kamu sudah mendapatkan obatmu,” canda sang jenderal saat menutup salepnya.

“Aku mohon, hanya kamu yang bisa mengizinkan para dokter untuk memberi obat.”

“Dari mana kamu tahu?” Jenderal itu terlihat tidak senang.

Navila menundukkan kepalanya, ia tak ingin memperburuk suasana jenderal itu. “Tuan Deus yang memberitahu.”

“Ah pria menyebalkan itu,” maki sang jenderal. Dia berdiri dan berjalan ke sudut ruangan tempat baju seragam, jas, dan mantelnya mengantung. Jenderal itu meraih kemeja abu-abu khas warna tentara kerajaan Erdan.

“Kuberi obat, tapi kamu harus segera pergi,” ucap sang jenderal saat membetulkan kencing bajunya.

“Terima kasih,” sahut Navila dengan bahagia.

Sang jenderal telah lengkap memakai pakaian dan sepatu botnya, dia tidak mengambil jas yang dipenuhi atribut, dia lebih memilih mengenakan mantel panjangnya. Dia juga tak mengenakan topi jenderalnya, yang masih menggantung dengan jasnya.

“Ayo,” ucap jenderal itu sambil membuka pintu.

Navila seperti terhipnotis oleh perkataan jenderal itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sesungguhnya orang yang baik, tidak seperti cerita yang beredar bahwa semua tentara Erdan adalah orang yang kejam. Tidak semua tentara Erdan bertampang bengis, bejat, dan menakutkan. Navila sedikit menyukai jenderal itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status