Navila menggelengkan kepalanya, tubuhnya menahan pintu agar tidak terbuka. Ia tak ingin keluar dari kamar itu tanpa membawa obat. Ia tak mengerti sikap jenderal itu yang mengatakan tidak tertarik, tapi tiba-tiba menarik dirinya dan memberikan ciuman yang tak singkat.
Navila tak menyangka bahwa jenderal itu masih berumur muda, mungkin seumuran dengan kakaknya. Ia akui jenderal itu sedikit tampan meski dengan potongan rambut cepak khas gaya tentara. Rambutnya pendeknya berwarna pirang emas seperti beberapa orang-orang dari Kerajaan Erdan. Sorot matanya tajam, serius, dan penuh wibawa, tapi dagunya membentuk wajah yang tampan.
Dia memakai kaos dan celana panjang, tubuhnya terlihat berotot dan kekar, tubuh sempurna seperti kesatria di dongeng. Andai bukan dalam situasi rumit dan perang, mungkin Navila akan jatuh cinta pada jenderal itu.
Obat dan Ayahnya sakit, hanya itu yang ada dalam pikiran Navila kali ini. Jenderal itu sudah menolak memberikan obat dan bersikeras bahwa obat hanya untuk tentara Erdan. Akan tetapi jenderal itu tadi juga menolak tawaran kedatangan Navila, kemudian tiba-tiba menariknya dalam ruangan. Navila pikir jenderal itu bisa berubah pikiran.
“Aku tidak mau keluar jika kamu tidak memberiku obat,” ucap Navila memberanikan diri. Harusnya jenderal itu mudah ditaklukkan, harusnya dia meminta apa yang diinginkan dari Navila seperti ciuman tadi atau lebih. Navila sudah pasrah bila itu yang diminta sang jenderal.
Jenderal itu perlahan mundur dan duduk di sisi ranjangnya. Dia tersenyum dan tertawa tanpa suara, sorotan mata tajamnya hilang. Jenderal itu terlihat lebih tampan ketika tersenyum. Dia kembali berdiri tapi sorotan matanya kembali tajam dan terus melangkah mendekat ke Navila.
“Apa kamu tak takut, sesuatu yang lebih buruk menimpamu?” suara sang jenderal berubah sedikit menggoda.
“Tidak.” Hal terburuk bagi Navila ada sakit Ayahnya yang semakin memburuk. Ia tak ingin kehilangan Ayahnya— satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini. Mungkin kakaknya masih hidup, tapi dia ikut bergerilya seperti perintah sang raja.
“Jika kamu tak takut, mengapa kamu menangis?” Jemari jenderal itu datang mengusap ke pipi Navila dengan singkat, kemudian turun untuk meraih tangan kirinya. Navila tak keberatan disentuh oleh jenderal itu, asal ia bisa mendapatkan obat untuk Ayahnya.
“Apa ini sakit?” Jenderal itu mencoba membuka jemari Navila yang baru saja terjepit pintu.
‘Ya!’ teriak Navila dalam hati. Jari telunjuknya terasa sakit sepeti patah, ada luka gores gara-gara ia menariknya saat spontan. Ia tak menyangka jenderal itu menutup pintu sangat kencang.
Navila menganggukkan kepalanya, ia tak ingin berdebat untuk menyalahkan jenderal itu. Jari jenderal itu terasa sangat kasar dan hangat saat menyentuh dirinya, tapi sentuhannya sangat lembut dan penuh perhatian.
Jari Navila berdenyut sakit karena terjepit pintu, tapi jantungnya berdegup lebih kencang karena gugup disentuh oleh jenderal itu. Ia tak mengeri, tiba-tiba perasaannya terasa seperti dicampur-adukan gara-gara sentuhan penuh perhatian jenderal itu.
“Duduklah.” Jenderal itu melepas sentuhannya dan berbalik ke sisi ranjang dengan berjongkok. Dia mengotak-atik isi dalam tas besarnya. Navila menuruti perintah jenderal itu.
Ia duduk tepat di samping makanan sang jenderal yang tak tersentuh. Roti, semangkuk bubur gandum, satu kentang rebus besar, dan botol anggur, masih belum tersentuh. Ia tak mengira jenderal itu tahan tidak menyentuh secuil makanannya, atau mungkin Navila telah mengganggu makan malam jenderal itu.
Navila tertegun melihat hidangan lezat itu, terakhir kali ia memakan roti yaitu satu bulan yang lalu. Setiap harinya ia memakan kentang rebus, atau sup kentang, atau pie kentang. Semua yang ia makan satu bulan terakhir ini hanyalah kentang. Ia paham mengapa para perempuan kota mau melacurkan diri di tempat ini, para tentara Erdan memiliki makanan yang lebih baik.
“Kau boleh memakannya, aku tidak keberatan,” ucap sang jenderal sedikit mengagetkan Navila. Jenderal itu masih sibuk merogoh-rogoh dalam tasnya. Navila tak menjawab perkataan sang jenderal karena ia datang tak seperti para perempuan kota yang ingin mendapatkan makanan.
Jenderal itu tiba-tiba duduk di samping Navila, dia membuka botol salepnya yang lebih kecil dari botol selai. Dia berkata, “Ulurkan jarimu.”
Navila mengulurkan jarinya yang terluka. Jenderal itu mengoleskan salep berwarna seputih susu. Salep itu tidak terasa perih tapi terasa sangat dingin tepat di luka gores itu.
“Kamu sudah mendapatkan obatmu,” canda sang jenderal saat menutup salepnya.
“Aku mohon, hanya kamu yang bisa mengizinkan para dokter untuk memberi obat.”
“Dari mana kamu tahu?” Jenderal itu terlihat tidak senang.
Navila menundukkan kepalanya, ia tak ingin memperburuk suasana jenderal itu. “Tuan Deus yang memberitahu.”
“Ah pria menyebalkan itu,” maki sang jenderal. Dia berdiri dan berjalan ke sudut ruangan tempat baju seragam, jas, dan mantelnya mengantung. Jenderal itu meraih kemeja abu-abu khas warna tentara kerajaan Erdan.
“Kuberi obat, tapi kamu harus segera pergi,” ucap sang jenderal saat membetulkan kencing bajunya.
“Terima kasih,” sahut Navila dengan bahagia.
Sang jenderal telah lengkap memakai pakaian dan sepatu botnya, dia tidak mengambil jas yang dipenuhi atribut, dia lebih memilih mengenakan mantel panjangnya. Dia juga tak mengenakan topi jenderalnya, yang masih menggantung dengan jasnya.
“Ayo,” ucap jenderal itu sambil membuka pintu.
Navila seperti terhipnotis oleh perkataan jenderal itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sesungguhnya orang yang baik, tidak seperti cerita yang beredar bahwa semua tentara Erdan adalah orang yang kejam. Tidak semua tentara Erdan bertampang bengis, bejat, dan menakutkan. Navila sedikit menyukai jenderal itu.
Jenderal itu menutup pintu tanpa menguncinya. Dia memandu Navila berjalan turun. Di lantai tiga hanya ada koridor sepi dan kamar-kamar tertutup, Navila pikir lantai paling atas ini khusus ditempati oleh para perwira tinggi seperti jenderal dan mayor itu. Di lantai dua, ruangannya lebih luas dan ada meja makan yang sangat besar. Hanya ada seorang prajurit yang berbaring santai di lantai dengan bantalan tas. Dia langsung berdiri dengan sikap siap saat melihat jenderalnya. “Hidup untuk Erdan!” ucap prajurit itu sedikit berteriak. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menaikkannya hingga sejajar dengan bahu, salam khas tentara Erdan. “Hidup untuk kedamaian,” balas sang jenderal dengan mengeluarkan tangannya dari balik mantel. Dia juga mengepalkan tangan kananya untuk membalas salam itu. Jenderal itu kemudian melangkah turun ke lantai satu. Ada sebuah perapian dengan nyala api yang hampir padam dan ada sisa botol anggur di meja dekat perapian itu. Dibandingk
Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka. Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi. Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya. Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari meng
Peter beranjak duduk di samping perempuan itu, tatapan mereka tak putus, tapi perempuan itu terlihat sedikit canggung atau mungkin gugup. Peter juga sama, perasaannya tidak karuan. Di sisi lain hatinya, ia ingin ciuman itu atau bahkan lebih. Di sisi lain hatinya juga, ia ingin perempuan itu segera pergi agar dirinya tidak bersikap lebih buruk. Bibir bawah perempuan tiba-tiba menekuk ke dalam. Perempuan itu seperti sedang menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang mencicipi rasa dari bekas ciuman tadi. Peter merasa ingin tertawa saat melihat tingkat polos perempuan itu. “Beri aku sekali lagi,” minta Peter. Perempuan itu tiba-tiba merapatkan bibirnya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya sekali. Peter anggap perempuan itu telah setuju. Ia langsung menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat. Tatapan mereka masih belum putus. Rona di pipi perempuan itu semakin memerah seperti ingin meledak. Wajah Peter semakin menjulurkan ke depan, perempuan itu
Navila mengenakan kembali mantel itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sangat baik pada dirinya. Meski beberapa kali jenderal itu menciumnya tanpa permintaan sepatah kata pun. Ia merasa bahwa ciuman itu sangat tulus dari hati sang jenderal. Andai sang jenderal meminta lebih, Navila tak keberatan karena ia telah mendapatkan obat untuk ayahnya. Lagi pula jenderal itu sedikit tampan. ‘Hihihi,’ tawa Navila dalam hatinya. “Ayo, mengapa diam?” Sang jenderal menoleh ke belakang. Navila menganggukkan kepalanya tanpa menjawab alasan dia melamun. Saat mulai melangkah, pijakkannya seperti kosong. Ia melangkah melewati dua anak tangga sekaligus, tubuhnya terhuyung ke depan akan jatuh. Navila membayangkan tangan dan tubuhnya yang akan jatuh ke tanah. Tak diduga-duga ia malah mendarat ke tubuh sang jenderal. “Berhati-hatilah,” ucap sang jenderal. Navila bisa merasakan tubuh sang jenderal itu sangat kokoh, lengan dan dadanya memiliki otot seorang kesatri
Jenderal itu menjawab, “Aku takut kamu tersesat.”“Aku tak mungkin tersesat, Jenderal,” ucap balik Navila.Sang jenderal membuka genggaman tangannya, tapi Navila malah semakin menggenggam erat tanpa sedikit pun niat melepaskannya.“Aku tak ingin melihatmu disentuh oleh mereka,” ucap sang jenderal dengan menggenggam kembali tangan Navila.“Mengapa?” Navila merasa jenderal itu sedikit kikuk. Sang jenderal tak menjawab tapi malah semakin berjalan dengan cepat. Navila mencoba mengimbangi kecepatan langkahnya sesuai tarikan tangan sang jenderal, tapi pijakannya terlalu cepat di setiap anak tangga.“Argh!” Navila terpeleset, ia jatuh tersungkur ke depan. Beruntung sang jenderal tak tertarik ke belakang, dia hanya tertarik sampai berjongkok saja.“Kamu tidak apa-apa?”“Sakit.”“Maaf berjalan terlalu cepat. Kamu bisa berdiri atau aku perlu mengend
Perempuan itu bertingkah lucu sekali, dia memakan rotinya dengan mengayun-ayunkan kakinya di tepi ranjang. Dia terlihat bahagia dengan tingkah mengemaskan. Peter menebak kaki perempuan itu akan diam ketika memakan bubur gandum itu. Ia tahu bubur itu sangat buruk rasanya: hambar, biji gandumnya terasa setengah matang, dan rasanya sangat mirip dengan lem.Tebakan Peter benar. Ayunan kaki yang bahagia itu berhenti. Perempuan itu memakan bubur gandum itu dengan wajah terpaksa.“Apa yang lucu?” ucap perempuan itu dengan nada yang kesal.“Bubur itu rasanya aneh, bukan? Tidak enak dan hambar.”“Aku menyukainya, Jenderal. Aku bersyukur bisa memakannya, makanan sangat sulit, aku tidak ingin mencelanya.” Ucapan itu terbalik dengan sikapnya, wajahnya sedikit cemberut dan tak ada ayunan kaki bahagianya.Peter sedikit senang mendengar ucapan itu, ia sendiri juga tak suka mencela makanan dalam situasi perang ini. Ia pun kembal
Peter melangkah mengambil mantelnya, kemudian membentangkannya di lantai sebagai alas tidur. Ia juga menarik ranselnya sebagai bantal. Sejujurnya hasratnya masih bergejolak, tapi ia tak ingin mengganggu tidurnya si gadis apel. Ya, Peter memiliki julukan baru untuk perempuan itu yaitu si gadis apel.Ia mulai berbaring. Semerbak wangi apel kembali tercium sama-samar, wangi si gadis apel masih membekas di mantel itu. Peter menyukainya dan matanya mulai terpejam.Boom! Suara ledakan roket terdengar meledak di tempat yang cukup jauh, tapi getarannya merambat hingga tempatnya tidur. Peter terbangun di sebuah ruangan bekas gedung. Suara roda besi mulai terdengar bergerak mendekat, semua orang kenal suara mesin yang berat itu, itu adalah suara tank.Peter bangkit dengan kepala pening sama seperti di setiap bangun tidurnya. Ia berjalan mendekat ke jendela dengan dinding sebagai rambatannya. Jendela itu menghadap tepat di persimpangan jalan, ia berada di lantai tingkat ti
Navila terbangun oleh suara nafas pria yang terengah-engah, ia merasa tubuhnya diselimuti sesuatu yang hangat. Ia spontan terperanjat bangun dan terbayang sesuatu hal yang buruk terjadi padanya. Ia begitu bodoh menerima tawaran tidur di kamar seorang pria yang tak dikenal. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ia duduk dengan selimut hangat yang melorot. Sedangkan suara nafas terengah-engah itu berasal dari sang jenderal.Jenderal itu sedang duduk beralaskan mantelnya di lantai. Tangan kanannya menjulur ke depan seperti sedang mengacungkan pistol. Kening, kepala, baju, dan tubuhnya basah oleh keringat. Jenderal itu seperti baru saja berlari berkilo-kilo meter.“Kamu baik-baik saja, Jenderal?” tanya Navila.Lengan kanannya yang mengacung ke depan tiba-tiba berputar ke arah Navila. Meski dengan tangan kosong, Jenderal itu seolah-olah sedang mengacungkan pistol ke hadapan Navila. Mata jenderal itu terbuka lebar, tapi pandang