Jenderal itu menutup pintu tanpa menguncinya. Dia memandu Navila berjalan turun. Di lantai tiga hanya ada koridor sepi dan kamar-kamar tertutup, Navila pikir lantai paling atas ini khusus ditempati oleh para perwira tinggi seperti jenderal dan mayor itu.
Di lantai dua, ruangannya lebih luas dan ada meja makan yang sangat besar. Hanya ada seorang prajurit yang berbaring santai di lantai dengan bantalan tas. Dia langsung berdiri dengan sikap siap saat melihat jenderalnya.
“Hidup untuk Erdan!” ucap prajurit itu sedikit berteriak. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menaikkannya hingga sejajar dengan bahu, salam khas tentara Erdan.
“Hidup untuk kedamaian,” balas sang jenderal dengan mengeluarkan tangannya dari balik mantel. Dia juga mengepalkan tangan kananya untuk membalas salam itu.
Jenderal itu kemudian melangkah turun ke lantai satu. Ada sebuah perapian dengan nyala api yang hampir padam dan ada sisa botol anggur di meja dekat perapian itu. Dibandingkan lantai-lantai yang lain, ruangan itu paling hangat.
Jenderal itu melewati ruang perapian itu begitu saja, ia mulai membuka pintu untuk keluar. Udara dingin langsung menerpa wajah Navila, ia langsung bersedekap agar lengannya tetap hangat.
Di remang-remangnya lampu teras, seorang pria sedang berdiri menghadap langit malam yang berawan. Asap rokok mengepul di sekitar wajah pria itu.
“Jenderal Zhukov,” sapa Tuan Deus berseri-seri.
Raut wajah Tuan Deus tiba-tiba berubah menjadi canggung. Dia melangkah mendekat dengan rentetan pertanyaan. “Dia masih perawan bukan? Aku memilihnya khusus untukmu, Jenderal. Maaf bila dia kurang terlatih, dia tak bersikap kasar, bukan?”
“Aku akan membayarmu nanti,” jawab singkat jenderal itu.
Tuan Deus membuang puntung rokoknya, ia mencoba bersikap sopan di hadapan jenderal itu. Dia menggelengkan kepalanya, “Kerajaan Erdan telah membayarku. Aku harap Anda bersedia merekomendasikanku nantinya, aku siap setia padamu, Jenderal. Bila kamu butuh gadis lagi atau telah bosan, aku siap membantu.”
“Dia cukup,” lirik jenderal itu ke Navila.
Navila tak mengeri tentang percakapan yang mereka maksud, ia tak mengerti tentang tawar menawar itu. Yang dia tahu, Tuan Deus melakukan pekerjaannya menjadi muncikari seperti biasa. Navila tak mengerti dengan ungkapan jenderal itu yang mengatakan ‘dia cukup’.
“Aku sempat khawatir bila membuang gadis ini ke tangan prajuritmu, Jenderal. Berlian ini pantas untukmu.” Tuan Deus melambaikan tangannya dengan penuh sanjungan.
Navila bergidik ngeri, perkataan Tuan Deus tepat terucap saat dirinya tak sengaja melihat dua orang tentara bejat yang menjengkelkan itu. Kemudian jenderal itu melangkah tanpa sepatah kata pun, Navila mengikutinya dan mulai melangkah keluar dari teras.
“Malam ini hujan salju pertama, Jenderal. Seperti cerita orang-orang Erdan, kalian akan hidup bahagia!” ucap Tuan Deus penuh semangat.
‘Itu buruk!’ pikir Navila. Orang-orang Erdan percaya, bila sepasang kekasih saling berpelukan di bawah hujan salju pertama di musim dingin, maka mereka akan terus hidup bersama, menikah dan saling mencintai sampai tua. Ada yang mengartikan bila bercinta di malam itu, ada yang mengartikan cukup saling berpelukan atau berciuman saja di malam itu.
“Hidup untuk Erdan!” ucap dua orang prajurit yang kompak. Perkataan mereka mengagetkan Navila.
“Hidup untuk kedamaian,” jawab sang jenderal pelan.
Dua tampang bejat tentara itu kembali memandang ke arah Navila. Setelah sang jenderal menurunkan tangan dan membalas salam, mereka kembali tersenyum seperti binatang buas.
Navila memalingkan pandangannya, ia sedikit setuju dengan ucap Tuan Deus, sesungguhnya dirinyalah yang beruntung tidak dibuang ke dua prajurit berwajah bejat itu. Betapa buruknya, bila itu dilakukan di malam hujan salju pertama.
Udara malam berhembus semakin dingin, Navila masih bersedekap dan menggosok-gosok lengannya yang kedinginan. Ia berjalan tepat di belakang tubuh sang jenderal, lumayan menghalau udara dingin yang menerpa dari arah depan. Tiba-tiba tubuh besar pria itu berhenti.
Navila tak sempat menghentikan langkahnya, ia menubruk tubuh sang jenderal. Punggung jenderal itu terasa keras dan kaku, mantel kulit hitamnya terasa sangat dingin. Sang jenderal tiba-tiba berbalik, dia telah melepas kancing-kancing mantelnya.
Sekelebat bayangan hitam menutupi pandangan Navila, ia langsung menutup matanya karena ketakutan. Ia merasakan sebuah kain hangat menutup tubuhnya. Saat Navila kembali membuka mata, ia melihat jenderal itu telah berbalik dan melepas mantel hitamnya.
Dua tangannya menjulur ke depan, Navila harap itu bukan sebuah pelukan di malam hujan salju pertama seperti ucapan Tuan Deus tadi.
Jenderal itu sedang mengaitkan sebuah kancing di mantel yang telah berpindah ke Navila. Ia merasakan mantel itu sedikit berat, tapi mantel bagian dalamnya terasa lebih lembut dan hangat dibandingkan selimut di rumahnya. Mantel itu sedikit bau keringat, tapi Navila tak keberatan karena sangat hangat.
“Terima kasih,” ucap Navila kepada sang jenderal.
Dari dekat wajah jenderal itu terus menatap ke wajah Navila. Ia tak keberatan bahkan bersedia memberikan lebih dari ciuman, selama Navila mendapatkan obat untuk ayahnya. Navila pun membalas tatapan itu sebagai tanda bersedia dan pasrah. Saat gerak wajah jenderal ingin mendekat, tiba-tiba jenderal itu membuang mukanya dan berbalik.
Jenderal itu terus berjalan tanpa sepatah kata pun, ia hanya beberapa kali berbicara saat membalas salam dari anak buahnya. Navila rasa jenderal itu seorang yang pendiam. Dia mungkin orang yang sangat kuat karena punggungnya sangat keras dan kokoh. Cara berjalannya tegap dan sorotan matanya selalu waspada, mungkin jenderal itu seorang yang tegas.
Sekilas telapak tangan jenderal itu terlihat luka kapal bekas dari memegang senjata yang cukup lama. Navila sulit mengira-ngira sosok jenderal itu sekarang, umurnya masih muda dan banyak bekas luka di tangan seperti seorang tentara-tentara di baris terdepan.
Jika benar, dia bukan seorang jenderal yang duduk santai di balik meja kerja yang nyaman. Mungkin jenderal itu seorang sosok tentara sejati bagi Kerajaan Erdan, mungkin pula dia merupakan sosok jenderal kejam yang telah banyak membantai bagi Kerajaan Agelan.
Seorang tentara dengan ban lengan putih dan palang merah terlihat masuk ke dalam sebuah bangunan, dia seorang tentara medis. Navila merasa semakin dekat ke tempat yang dituju jenderal, ia yakin akan segera mendapatkan obat.
Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka. Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi. Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya. Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari meng
Peter beranjak duduk di samping perempuan itu, tatapan mereka tak putus, tapi perempuan itu terlihat sedikit canggung atau mungkin gugup. Peter juga sama, perasaannya tidak karuan. Di sisi lain hatinya, ia ingin ciuman itu atau bahkan lebih. Di sisi lain hatinya juga, ia ingin perempuan itu segera pergi agar dirinya tidak bersikap lebih buruk. Bibir bawah perempuan tiba-tiba menekuk ke dalam. Perempuan itu seperti sedang menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang mencicipi rasa dari bekas ciuman tadi. Peter merasa ingin tertawa saat melihat tingkat polos perempuan itu. “Beri aku sekali lagi,” minta Peter. Perempuan itu tiba-tiba merapatkan bibirnya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya sekali. Peter anggap perempuan itu telah setuju. Ia langsung menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat. Tatapan mereka masih belum putus. Rona di pipi perempuan itu semakin memerah seperti ingin meledak. Wajah Peter semakin menjulurkan ke depan, perempuan itu
Navila mengenakan kembali mantel itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sangat baik pada dirinya. Meski beberapa kali jenderal itu menciumnya tanpa permintaan sepatah kata pun. Ia merasa bahwa ciuman itu sangat tulus dari hati sang jenderal. Andai sang jenderal meminta lebih, Navila tak keberatan karena ia telah mendapatkan obat untuk ayahnya. Lagi pula jenderal itu sedikit tampan. ‘Hihihi,’ tawa Navila dalam hatinya. “Ayo, mengapa diam?” Sang jenderal menoleh ke belakang. Navila menganggukkan kepalanya tanpa menjawab alasan dia melamun. Saat mulai melangkah, pijakkannya seperti kosong. Ia melangkah melewati dua anak tangga sekaligus, tubuhnya terhuyung ke depan akan jatuh. Navila membayangkan tangan dan tubuhnya yang akan jatuh ke tanah. Tak diduga-duga ia malah mendarat ke tubuh sang jenderal. “Berhati-hatilah,” ucap sang jenderal. Navila bisa merasakan tubuh sang jenderal itu sangat kokoh, lengan dan dadanya memiliki otot seorang kesatri
Jenderal itu menjawab, “Aku takut kamu tersesat.”“Aku tak mungkin tersesat, Jenderal,” ucap balik Navila.Sang jenderal membuka genggaman tangannya, tapi Navila malah semakin menggenggam erat tanpa sedikit pun niat melepaskannya.“Aku tak ingin melihatmu disentuh oleh mereka,” ucap sang jenderal dengan menggenggam kembali tangan Navila.“Mengapa?” Navila merasa jenderal itu sedikit kikuk. Sang jenderal tak menjawab tapi malah semakin berjalan dengan cepat. Navila mencoba mengimbangi kecepatan langkahnya sesuai tarikan tangan sang jenderal, tapi pijakannya terlalu cepat di setiap anak tangga.“Argh!” Navila terpeleset, ia jatuh tersungkur ke depan. Beruntung sang jenderal tak tertarik ke belakang, dia hanya tertarik sampai berjongkok saja.“Kamu tidak apa-apa?”“Sakit.”“Maaf berjalan terlalu cepat. Kamu bisa berdiri atau aku perlu mengend
Perempuan itu bertingkah lucu sekali, dia memakan rotinya dengan mengayun-ayunkan kakinya di tepi ranjang. Dia terlihat bahagia dengan tingkah mengemaskan. Peter menebak kaki perempuan itu akan diam ketika memakan bubur gandum itu. Ia tahu bubur itu sangat buruk rasanya: hambar, biji gandumnya terasa setengah matang, dan rasanya sangat mirip dengan lem.Tebakan Peter benar. Ayunan kaki yang bahagia itu berhenti. Perempuan itu memakan bubur gandum itu dengan wajah terpaksa.“Apa yang lucu?” ucap perempuan itu dengan nada yang kesal.“Bubur itu rasanya aneh, bukan? Tidak enak dan hambar.”“Aku menyukainya, Jenderal. Aku bersyukur bisa memakannya, makanan sangat sulit, aku tidak ingin mencelanya.” Ucapan itu terbalik dengan sikapnya, wajahnya sedikit cemberut dan tak ada ayunan kaki bahagianya.Peter sedikit senang mendengar ucapan itu, ia sendiri juga tak suka mencela makanan dalam situasi perang ini. Ia pun kembal
Peter melangkah mengambil mantelnya, kemudian membentangkannya di lantai sebagai alas tidur. Ia juga menarik ranselnya sebagai bantal. Sejujurnya hasratnya masih bergejolak, tapi ia tak ingin mengganggu tidurnya si gadis apel. Ya, Peter memiliki julukan baru untuk perempuan itu yaitu si gadis apel.Ia mulai berbaring. Semerbak wangi apel kembali tercium sama-samar, wangi si gadis apel masih membekas di mantel itu. Peter menyukainya dan matanya mulai terpejam.Boom! Suara ledakan roket terdengar meledak di tempat yang cukup jauh, tapi getarannya merambat hingga tempatnya tidur. Peter terbangun di sebuah ruangan bekas gedung. Suara roda besi mulai terdengar bergerak mendekat, semua orang kenal suara mesin yang berat itu, itu adalah suara tank.Peter bangkit dengan kepala pening sama seperti di setiap bangun tidurnya. Ia berjalan mendekat ke jendela dengan dinding sebagai rambatannya. Jendela itu menghadap tepat di persimpangan jalan, ia berada di lantai tingkat ti
Navila terbangun oleh suara nafas pria yang terengah-engah, ia merasa tubuhnya diselimuti sesuatu yang hangat. Ia spontan terperanjat bangun dan terbayang sesuatu hal yang buruk terjadi padanya. Ia begitu bodoh menerima tawaran tidur di kamar seorang pria yang tak dikenal. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ia duduk dengan selimut hangat yang melorot. Sedangkan suara nafas terengah-engah itu berasal dari sang jenderal.Jenderal itu sedang duduk beralaskan mantelnya di lantai. Tangan kanannya menjulur ke depan seperti sedang mengacungkan pistol. Kening, kepala, baju, dan tubuhnya basah oleh keringat. Jenderal itu seperti baru saja berlari berkilo-kilo meter.“Kamu baik-baik saja, Jenderal?” tanya Navila.Lengan kanannya yang mengacung ke depan tiba-tiba berputar ke arah Navila. Meski dengan tangan kosong, Jenderal itu seolah-olah sedang mengacungkan pistol ke hadapan Navila. Mata jenderal itu terbuka lebar, tapi pandang
Navila kembali ke posisinya seperti tadi, ia duduk di samping jenderal itu dengan mengelus-elus lengan sang jenderal. Ia tak merasa keberatan, mungkin cara itulah bagi Navila untuk membayar harga obat yang dia minta. Lagi pula, ia senang bisa lebih lama memandang wajah tampan itu sebelum pergi. Mungkin, esok ia tak akan kembali ke kamar sang jenderal. Ia sudah mendapatkan obat dan tak memiliki niat kembali ke benteng Esthaz. Sebenarnya, ada sedikit harapannya ingin bertemu kembali pada sang jenderal.Lima menit berlalu, ia sedikit merasa bosan. Karena itu, ia mencoba bersenandung, berharap sang jenderal itu lekas tidur seperti ibunya yang meninabobokan Navila ketika kecil.Tidur, tidurlah burung kecilDi bawah pohon rindangBerselimut angin sejukDisenandungkan padang rumputTidur, tidurlah burung kecilLangit biru terbentang luasPertualangan esok akan hebatTerbang, terbanglah dengan bebas