Share

6. Navila: Hidup Untuk Erdan!

Jenderal itu menutup pintu tanpa menguncinya. Dia memandu Navila berjalan turun. Di lantai tiga hanya ada koridor sepi dan kamar-kamar tertutup, Navila pikir lantai paling atas ini khusus ditempati oleh para perwira tinggi seperti jenderal dan mayor itu.

Di lantai dua, ruangannya lebih luas dan ada meja makan yang sangat besar. Hanya ada seorang prajurit yang berbaring santai di lantai dengan bantalan tas. Dia langsung berdiri dengan sikap siap saat melihat jenderalnya.

“Hidup untuk Erdan!” ucap prajurit itu sedikit berteriak. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menaikkannya hingga sejajar dengan bahu, salam khas tentara Erdan.

“Hidup untuk kedamaian,” balas sang jenderal dengan mengeluarkan tangannya dari balik mantel. Dia juga mengepalkan tangan kananya untuk membalas salam itu.

Jenderal itu kemudian melangkah turun ke lantai satu. Ada sebuah perapian dengan nyala api yang hampir padam dan ada sisa botol anggur di meja dekat perapian itu. Dibandingkan lantai-lantai yang lain, ruangan itu paling hangat.

Jenderal itu melewati ruang perapian itu begitu saja, ia mulai membuka pintu untuk keluar. Udara dingin langsung menerpa wajah Navila, ia langsung bersedekap agar lengannya tetap hangat.

Di remang-remangnya lampu teras, seorang pria sedang berdiri menghadap langit malam yang berawan. Asap rokok mengepul di sekitar wajah pria itu.

“Jenderal Zhukov,” sapa Tuan Deus berseri-seri.

Raut wajah Tuan Deus tiba-tiba berubah menjadi canggung. Dia melangkah mendekat dengan rentetan pertanyaan. “Dia masih perawan bukan? Aku memilihnya khusus untukmu, Jenderal. Maaf bila dia kurang terlatih, dia tak bersikap kasar, bukan?”

“Aku akan membayarmu nanti,” jawab singkat jenderal itu.

Tuan Deus membuang puntung rokoknya, ia mencoba bersikap sopan di hadapan jenderal itu. Dia menggelengkan kepalanya, “Kerajaan Erdan telah membayarku. Aku harap Anda bersedia merekomendasikanku nantinya, aku siap setia padamu, Jenderal. Bila kamu butuh gadis lagi atau telah bosan, aku siap membantu.”

“Dia cukup,” lirik jenderal itu ke Navila.

Navila tak mengeri tentang percakapan yang mereka maksud, ia tak mengerti tentang tawar menawar itu. Yang dia tahu, Tuan Deus melakukan pekerjaannya menjadi muncikari seperti biasa. Navila tak mengerti dengan ungkapan jenderal itu yang mengatakan ‘dia cukup’.

“Aku sempat khawatir bila membuang gadis ini ke tangan prajuritmu, Jenderal. Berlian ini pantas untukmu.” Tuan Deus melambaikan tangannya dengan penuh sanjungan.

Navila bergidik ngeri, perkataan Tuan Deus tepat terucap saat dirinya tak sengaja melihat dua orang tentara bejat yang menjengkelkan itu. Kemudian jenderal itu melangkah tanpa sepatah kata pun, Navila mengikutinya dan mulai melangkah keluar dari teras.

“Malam ini hujan salju pertama, Jenderal. Seperti cerita orang-orang Erdan, kalian akan hidup bahagia!” ucap Tuan Deus penuh semangat.

‘Itu buruk!’ pikir Navila. Orang-orang Erdan percaya, bila sepasang kekasih saling berpelukan di bawah hujan salju pertama di musim dingin, maka mereka akan terus hidup bersama, menikah dan saling mencintai sampai tua. Ada yang mengartikan bila bercinta di malam itu, ada yang mengartikan cukup saling berpelukan atau berciuman saja di malam itu.

“Hidup untuk Erdan!” ucap dua orang prajurit yang kompak. Perkataan mereka mengagetkan Navila.

“Hidup untuk kedamaian,” jawab sang jenderal pelan.

Dua tampang bejat tentara itu kembali memandang ke arah Navila. Setelah sang jenderal menurunkan tangan dan membalas salam, mereka kembali tersenyum seperti binatang buas.

Navila memalingkan pandangannya, ia sedikit setuju dengan ucap Tuan Deus, sesungguhnya dirinyalah yang beruntung tidak dibuang ke dua prajurit berwajah bejat itu. Betapa buruknya, bila itu dilakukan di malam hujan salju pertama.

Udara malam berhembus semakin dingin, Navila masih bersedekap dan menggosok-gosok lengannya yang kedinginan. Ia berjalan tepat di belakang tubuh sang jenderal, lumayan menghalau udara dingin yang menerpa dari arah depan. Tiba-tiba tubuh besar pria itu berhenti.

Navila tak sempat menghentikan langkahnya, ia menubruk tubuh sang jenderal. Punggung jenderal itu terasa keras dan kaku, mantel kulit hitamnya terasa sangat dingin. Sang jenderal tiba-tiba berbalik, dia telah melepas kancing-kancing mantelnya.

Sekelebat bayangan hitam menutupi pandangan Navila, ia langsung menutup matanya karena ketakutan. Ia merasakan sebuah kain hangat menutup tubuhnya. Saat Navila kembali membuka mata, ia melihat jenderal itu telah berbalik dan melepas mantel hitamnya.

Dua tangannya menjulur ke depan, Navila harap itu bukan sebuah pelukan di malam hujan salju pertama seperti ucapan Tuan Deus tadi.

Jenderal itu sedang mengaitkan sebuah kancing di mantel yang telah berpindah ke Navila. Ia merasakan mantel itu sedikit berat, tapi mantel bagian dalamnya terasa lebih lembut dan hangat dibandingkan selimut di rumahnya. Mantel itu sedikit bau keringat, tapi Navila tak keberatan karena sangat hangat.

“Terima kasih,” ucap Navila kepada sang jenderal.

Dari dekat wajah jenderal itu terus menatap ke wajah Navila. Ia tak keberatan bahkan bersedia memberikan lebih dari ciuman, selama Navila mendapatkan obat untuk ayahnya. Navila pun membalas tatapan itu sebagai tanda bersedia dan pasrah. Saat gerak wajah jenderal ingin mendekat, tiba-tiba jenderal itu membuang mukanya dan berbalik.

Jenderal itu terus berjalan tanpa sepatah kata pun, ia hanya beberapa kali berbicara saat membalas salam dari anak buahnya. Navila rasa jenderal itu seorang yang pendiam. Dia mungkin orang yang sangat kuat karena punggungnya sangat keras dan kokoh. Cara berjalannya tegap dan sorotan matanya selalu waspada, mungkin jenderal itu seorang yang tegas.

Sekilas telapak tangan jenderal itu terlihat luka kapal bekas dari memegang senjata yang cukup lama. Navila sulit mengira-ngira sosok jenderal itu sekarang, umurnya masih muda dan banyak bekas luka di tangan seperti seorang tentara-tentara di baris terdepan.

Jika benar, dia bukan seorang jenderal yang duduk santai di balik meja kerja yang nyaman. Mungkin jenderal itu seorang sosok tentara sejati bagi Kerajaan Erdan, mungkin pula dia merupakan sosok jenderal kejam yang telah banyak membantai bagi Kerajaan Agelan.

Seorang tentara dengan ban lengan putih dan palang merah terlihat masuk ke dalam sebuah bangunan, dia seorang tentara medis. Navila merasa semakin dekat ke tempat yang dituju jenderal, ia yakin akan segera mendapatkan obat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status