Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka.
Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi.
Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya.
Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari mengatakan perempuan itu masih gadis. Akan tetapi perang masih berkecamuk, mungkin ia tak akan lama tinggal di benteng itu. Kurang dari seminggu mungkin ia akan bergerak maju ke ibukota Kerajaan Agelan. Mungkin juga, perempuan itu tak kembali ke sini, jadi sampai jumpa cinta sesaat mereka.
‘Maaf aku belum bisa memasukkanmu ke dalam hatiku,’ batin Peter dengan bayangan buruk seperti tempat yang ia tuju.
Pintu aula terbuka, puluhan korban terluka terbaring di lantai. Bau amis darah dan hawa kematian melekat di ruangan itu. Beberapa orang menatap Peter dengan tatapan kosong dan semangat yang hancur, mereka adalah orang-orang yang terluka parah hingga cacat. Sedangkan orang-orang yang terluka ringan, mereka masih sempat memberikan salam kepada Peter, itulah orang-orang Erdan sejatinya.
Seorang perawat wanita datang menghampiri, dia tersenyum sama seperti semua wanita yang bertemu dengan Peter. “Ada yang saya bisa bantu, Jenderal Zhukov?”
“Di mana Dokter Leniski?” tanya Peter.
“Dokter sedang melakukan operasi,” jawab perawat itu.
Sial. Peter tidak punya pilihan lain selain menunggu. Ia bukan tipe pejabat tinggi militer yang suka diagung-agungkan. Ia sadar para prajuritnya lebih membutuhkan peran dokter itu.
“Aku akan menunggu di ruangannya, katakan bahwa aku datang tapi aku ingin dia menyelesaikan pekerjaannya,” ucap Peter pada perawat itu. Ia cukup mengenal Dokter Leniski dan sebaliknya, dokter itu tahu bahwa Peter akan sabar menunggu.
“Baik, Jenderal. Aku akan mengantar Anda ke ruangan Dokter Leniski.” Perawat itu kembali tersenyum dan kemudian berbalik mengantar ke sebuah ruangan di lantai dua. Dia membuka sebuah ruangan yang tak terkunci.
“Maafkan aku, Jenderal. Aku tidak bisa menyuguhkan minuman atau anggur di sini. Aku izin kembali, Jenderal.” ucap perawat itu.
“Ya, tak apa-apa,” ucap Peter singkat dan perawat itu pergi.
Peter duduk di sofa ruangan itu, sedangkan si perempuan itu masih berdiri. Tubuh perempuan itu sepenuhnya tertutup oleh mantel hitam, menyisakan wajah mungilnya yang putih dan cantik. Sedikit rona merah di pipinya terlihat manis seperti rona merah apel. Tatapan perempuan itu terus merunduk. Peter lebih suka melihat perempuan itu menegakkan wajahnya seperti tadi, saat mereka saling menatap dari dekat.
“Duduklah,” ucap Peter. Perempuan itu menurut.
Peter tak berniat berbasa-basi toh perempuan itu akan pergi malam ini. Ia rasa perempuan itu seorang yang penurut, hampir setiap kata-katanya dituruti oleh perempuan itu. Mungkin dia memiliki tekad yang kuat, dia melacurkan diri untuk mendapatkan obat untuk Ayahnya, sungguh perempuan yang kuat. Peter menyukai sifat-sifat perempuan itu.
Empat puluh lima menit berlalu, tak satu pun kata-kata terucap dari mereka. Bagi Peter menunggu seperti ini tidak masalah. Ia pernah berdiri dua jam penuh, di sebuah parit pertahanan saat menghadapi tank-tank Kerajaan Agelan. Ia pernah menunggu berjam-jam di sebuah bangunan yang terkepung musuh hingga bantuan pasukan tiba. Jadi hanya duduk menunggu dan menghabiskan waktu dengan memandang gadis manis itu, Peter malah menikmatinya.
Perempuan itu pun hanya diam dan menundukkan kepalanya. Sesekali ia melirikkan matanya tapi saat perempuan itu tahu bahwa Peter tak mengalihkan pandangannya, perempuan itu kembali merunduk. Dia terlihat semakin manis ketika salah tingkah.
Tok! Tok! Tok! Pintu diketuk dan langsung terbuka, Dokter Leniski datang dengan jas putihnya. Dia mengenakan kaca mata sepeti biasanya, wajahnya keriput karena umurnya sekitar 50 tahun, dan kini dia tampak kelelahan.
“Jenderal Zhukov. Maaf membuatmu menunggu,” ucap Dokter Leniski dengan senyum seperti biasanya.
“Duduklah. Bagaimana operasimu,” basa-basi Peter.
“Tidak begitu melelahkan. Kita dapat tempat yang bagus untuk merawat tentara-tentara yang terluka.” Dokter Leniski mula memandang ke arah perempuan itu.
“Aku datang kemari untuk perempuan ini, dia perlu obat,” ucap Peter langsung ke tujuannya.
“Dia sakit atau terluka?” tanya dokter itu yang langsung merogoh stetoskopnya di saku jas.
“Ayahnya sakit,” jawab Peter.
“Ah... begitu,” nada dan lirikkan Dokter Leniski terasa menyindir. Peter merasa dokter itu sedang menganggap dirinya sedang memanfaatkan alasan perempuan itu.
“Beri dia obat.” Peter berdiri dan melangkah ke dekat jendela. Ia memberi kesempatan pada perempuan itu untuk berkonsultasi pada Dokter Leniski.
Perempuan itu menceritakan bahwa ayahnya kemungkinan terkena tifus atau gejala yang mirip tifus. Ayah perempuan itu telah demam lebih dari satu minggu, mengeluhkan sakit kepala dan perut, mual, dan tak nafsu makan.
“Tunggu sebentar,” ucap Dokter Leniski yang berdiri dan mendekat ke Peter.
“Seberapa buruk,” bisik Peter.
“Tifus sering menjangkit saat perang. Aku bisa memberinya beberapa obat, tapi mungkin perlu beberapa suntikan,” jawab Dokter Leniski dengan berbisik.
Peter paham maksud dokter itu, dia bersedia memberi tablet obat tapi lebih baik menggunakan suntikkan. Artinya pula, dokter itu harus memberikan suntikkan langsung, tapi Peter tidak setuju jika dokter itu pergi karena tugasnya adalah merawat dan berjaga di sini.
“Beri dia beberapa obat saja,” ucap Peter sebagai keputusannya.
“Baiklah, aku akan ambilkan beberapa obat. Mungkin Jenderal bisa memberinya beberapa makanan, itu bagus untuk perempuan itu dan Ayahnya,” ucap Dokter Leniski yang kemudian pergi.
Saat dokter itu telah pergi, Peter menghampiri perempuan itu dan berdiri tempat di hadapannya. Perempuan itu mulai mendongakkan kepalanya, rambutnya terbelah memperlihatkan dahinya yang putih mulus, dan rona merah di pipi perempuan itu semakin memerah. Perasaan Peter mulai bergejolak, tapi ia tetap mencoba menguatkan hatinya.
“Kamu harus pergi malam ini,” ucap Peter saat menatap manik mata perempuan itu. Pandangannya mengarah sedikit turun ke bibir tipis perempuan itu. Ia kembali mencium semerbak bau apel ketika perempuan itu tersenyum dan menganggukkan kepalnya.
‘Sial,’ kutuk Peter pada dirinya. Peter tak tahan lagi, tangannya mulai bergerak untuk menyentuh wajah perempuan itu. Pipi perempuan itu terasa dingin seperti kulit apel yang segar, tapi lembut seperti roti yang sering ia makan. Jari jempolnya tak sengaja menyentuh bibir perempuan itu, terasa sedikit kering tapi tetap kenyal. Peter kembali terbayang rasa bibir mereka ketika saling berciuman tadi.
Peter menjatuhkan tubuhnya dan menerjunkan kepalanya, bibirnya mendarat tepat di hembusan nafas perempuan itu. Nafas mereka saling berhenti beberapa detik dalam ciuman itu. Peter sedikit menarik wajahnya, ia memberi kesempatan agar mereka saling bernafas.
Semerbak wangi apel kembal tercium. Tatapan perempuan itu hanya pasrah, kali ini beruntung tak ada satu pun air mata yang menetes dari perempuan itu. Jadi Peter tak begitu merasa bersalah, ia ingin lagi. Ia ingin lebih.
Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”Ia menganggukkan kepala.“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.Navila menganggukkan kepalanya, lima
Di dalam bak truk yang mengangkut para pelacur pulang, Navila hanya diam dan menggenggam erat kantong obatnya. Adeline sayup-sayup tertidur bersandar di bahunya, beberapa perempuan juga kelelahan dengan tertidur dalam mantelnya yang hangat, dan beberapa yang lain tampak tertawa atau menikmati rokok mereka.Di seberang tempat duduknya, Alisa tampak sedang berbisik serius dengan Gia, Navila merasakan hal buruk dari bisikan yang tak terdengar itu. Tiba-tiba mata Gia melotot, seperti terkejut dan kesal, ia melirik ke arah Navila dengan tatapan tajam kemudian berbisik pada Illona. Perasaan buruk Navila semakin menjadi-jadi karena tiga perempuan itu jika disatukan biasanya akan merundung dirinya.“Dia melakukannya dengan seorang jenderal?” ucap Illona kaget saat mendapat bisikan dari Gia.“Sialan, meskipun jenderal itu bandot tua, dia hanya anak baru, bisa-bisanya dia langsung mendapatkan posisi dengan seorang jenderal,” gerutu Illona lagi. Mes
“Bagaimana dengan Batalion 805?” tanya Peter. Batalion itu merupakan salah satu kunci dari operasi ini karena mereka berisikan beberapa kendaraan lapis baja. Jika beruntung, harusnya ada 12 tank dalam batalion itu.Wajah mayor itu tampak pucat, setelah mendengar pertanyaan itu. Dari pengalaman Peter, mungkin mayor itu tahu atau memiliki informasi.“Dari informan kami di lapangan, Batalion 805 tidak menemui titik temu seharusnya,” ucapnya semakin pucat.“Maksudmu?” Itu benar-benar kabar yang sangat buruk, seharusnya Batalion 804 dan 805 bertemu bersama dalam sebuah kota.“Para prajurit dari batalion 804 mengalami pertempuran yang sangat berat,” ucap prajurit tersebut. Peter sedikit tak mengagasnya, ia berbalik dan kembali ke tempat ranselnya. Sambil berjongkok ia merogok-rogoh ke dalam tasnya, perasaannya di penuh campur aduk. Kekhawatiran, rasa penasaran, dan tanggung jawab menjadi tak karuan karena batalion
Peter membasuh tubuhnya dengan kain yang dicelupkan dalam ember. Itulah cara mandinya selama ini, hanya dengan membasuh keringatnya tanpa mengguyur dengan air. Ia mulai mengelap tubuhnya dengan handuk bersih yang sebenarnya tidak ia duga bahwa Andrey bisa mendapatkannya.Ia mengelap wajahnya, ketika handuk itu menyentuh bibirnya, tercium pula bau apek bekas badanya. Ia teringat kejadian malam tadi, si gadis apel dengan wangi parfumnya, tapi bagaimana dengan bau dirinya sendiri? Rasanya dia telah menjadi laki-laki yang buruk, semoga si gadis apel tidak merasa kecewa dengan bau dirinya.Agendanya hari ini, ia berniat untuk mengecek kondisi dari Batalion 803 yang baru saja tiba. Lima ratus prajurit yang selamat artinya cukup banyak yang masih hidup sejak Operasi Tsunami dimulai. Sebuah serangan besar-besaran dan terpusat dilakukan menuju Kota Kostrov— Ibukota Kerajaan Agelan.Jam di tangannya menujukan pukul 07.05, artinya pula sepuluh menit lagi apel p
“Aku baik-baik saja,” jawab Adeline dengan senyum palsu dan manik mata yang berkaca-kaca. Navila kini sedikit paham bahwa sesungguhnya Adeline tak ingin menceritakannya, lagi pula ia tak ingin memaksa.Navila menggenggam tangan Adeline dengan dua tangannya, sama seperti Adeline ketika menguatkan dirinya saat turun dari truk.“Aku harap perang ini segera berakhir,” ucap Navila. Tiba-tiba Adeline menatap Navila dengan mata berkaca-kaca yang rapuh. Air mata Adeline mulai mengalir, Navila tak begitu mengerti mengapa sahabatnya itu tiba-tiba menangis. Bukankah harapan yang ia ucapkan tadi adalah baik?Navila makin menggenggam erat Adeline. “Ayo, kita segera pulang.”Mereka terus berjalan di jalan yang sedikit bersalju. Dinginnya udara menerpa wajah mereka dan hampir membekukan kaki Navila yang tak tertutup roknya. Para tentara Erdan yang tidur di pinggir-pinggir koridor dan halaman mulai terbangun. Matahari di ufuk timur mas
“Apa yang dia katakan?” tanya ulang sang jenderal itu. Navila mencoba berpikir sejenak, ia tak mungkin mengatakan perkataan Adeline yang menebak seolah tahu perasaannya.‘Jangan sampai kamu jatuh cinta,’ bisik Adeline tadi dengan bercanda.Bagaimana bisa Adeline tahu? Apa dia hanya bercanda? Apa dia juga berpikir bahwa jenderal itu tampan juga? Entah mengapa pikirannya berkecamuk sendiri. Sang jenderal itu masih menanti jawaban, sedangkan Navila masih memikirkannya.“D-dia bertanya, apakah aku akan kemari lagi?” bohong Navila.“Seperti itu? Baguslah, tempat ini sangat buruk itu perempuan sepertimu,” ucap sang jenderal dengan nada kecewa.Mereka diam sejenak di pintu yang setengah terbuka. Udara dingin sedikit menerpa lengan Navila, tapi ia mencoba tetap kuat. Ia tak ingin terlihat sedikit lemah atau kedinginan, ia tak ingin merepotkan lagi jenderal itu.Suara Adeline yang sedikit lantang bahkan