Uuuulala ...
“Papa sudah tanya Aditama belum? Dia mau apa ketemu Kinara?” tanya Rindu, pada sang suami.“Bukannya kamu sudah bilang pada mereka, kalau kita nggak sabar pengin punya cucu? Ya tentu itu tujuan mereka ketemu, apa lagi coba?” jawab Tama santai, tak tahu kalau sampai hari ini anak dan menantunya bahkan belum pernah bertatap muka.“Kan Mama baru ngomong ke Kinaranya, Pa. Ke Aditamanya belum,” sahut Rindu, kesal.“Biarin aja mereka, Ma. Kita tunggu kabar baiknya aja,” balas Tama.'Kabar baik apaan?' batin Rindu makin kesal.Aditama memang mengabari ibunya kalau hari ini ia akan bertemu Kinara. Tapi, dia sendiri nggak tahu persis akan membahas apa. Biasanya, si sulung itu selalu terbuka dan menceritakan semuanya. Tapi kali ini, dia cuma menyebutkan lokasi pertemuan—itu pun karena dipaksa. Saat ditanya lebih jauh, Aditama malah terkesan menghindar. Rindu mulai khawatir, jangan-jangan Kinara dan keluarganya sudah mulai mencuci otak anaknya.***“Gini aja mau ketemu suami?” sindir Ve dengan al
Kinara menyimpan cepat ponselnya menatap datar wanita yang kini duduk di hadapannya tanpa dipersilakan. Siapa lagi kalau bukan Sheila?“Sayang sekali selisih jalan sama Adit,” kata Sheila, sementara Kinara menatap wanita itu begitu dalam.“Aditama?” tanya Kinara, mencoba menyakinkan.Sheila mengangguk membenarkan membuat darah Kinara berdesir. Kenyataan seperti apa ini? Jadi, selama ini Kinara berhubungan dengan suaminya sendiri? Suami gaib itu nyata wujudnya, tapi kenapa kepribadiannya berbeda? Lalu, apa Aditama juga tidak mengenali dirinya? Pernikahan seperti apa ini, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Jika Kinara memilih bersikap acuh karena kekecewaan yang sudah ada sejak awal pernikahan, lalu apa alasan Aditama untuk tidak berusaha mencari tahu tentang dirinya?Kinara tak mampu berpikir jernih—terlalu diliputi rasa takut.Takut jika Adit-nya akan membencinya saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.Apalagi, Aditama sudah sejak awal menunjukkan kebencian yang begitu dala
“Ra, so proud of you, Cantik,” ujar mentor Kinara tulus.Pujian demi pujian mengalir, menghampiri Kinara satu per satu. Senyum tak lepas dari wajahnya.Pandangan matanya kemudian jatuh pada Ve dan Aji yang duduk di kejauhan, melambaikan tangan padanya. Kinara membalas lambaian itu dengan penuh suka.Mereka, Ve dan Aji, adalah saksi perjalanan hidupnya. Dan Kinara merasa sungguh beruntung memiliki keduanya.“Kami langsung balik ke hotel, ya. Kamu lanjut dinner, ‘kan?” tanya Ve, yang akhirnya bisa mendekat setelah sejak tadi Kinara dikerumuni teman-teman desainer yang bergantian menyapa dan mengajaknya berswafoto.“Oke. Besok lunch bareng, ‘kan?” sahut Kinara memastikan. Ve mengangguk cepat, mengiyakan.***Kinara menginap di hotel yang letaknya tak jauh dari lokasi acara. Banyak desainer lain juga menginap di hotel yang sama—hotel yang memang telah ditunjuk oleh pihak penyelenggara. Malam ini, makan malam penghargaan pun diadakan di ballroom hotel tersebut.Kinara tampil begitu memesona
Sheila memberanikan diri. Ini kali pertamanya, tapi ia rela jika harus menyerahkan segalanya kepada Aditama. Mereka akan kembali bersama hingga tak ada satu pun yang mampu memisahkan.Wanita itu tersenyum puas saat melihat langkah lunglai Adit mendekatinya. Ia sengaja tidak menutup pintu, memberi jalan agar pria itu bisa masuk dengan mudah. Tidak tega melihat langkah lemah itu, Sheila mendekatkan diri—memapah tubuh yang hampir tumbang itu.Namun aroma menyengat menyergap hidungnya dalam temaram cahaya lampu, Sheila tertegun. Itu bukan Aditama. Ia tahu betul, ia tak pernah memberinya alkohol.Sheila segera mendorongnya perlahan, malah menyadarkan si pria. Saat wajah pria itu terangkat, mata Sheila membulat. Di hadapannya berdiri atasannya sendiri—menatapnya nanar. Pria itu mabuk dan kehilangan arah.“Mr. Andro?”“Kamu?” Suara pria itu terdengar serak. “Kamu yang dengan sukarela menawarkan tubuhmu, Sheila?”Sheila membeku. Bukan seperti ini rencananya. Ia seharusnya mengarahkan Mr. Andro
“Bukan kamu yang bersamaku tadi malam. Aku yakin sekali,” sangkal Aditama, suaranya rendah tapi tegas. Jemarinya mencengkeram lengan Sheila, keras, seolah ingin menemukan jawaban yang dia harapkan.Namun jujur Aditama tak sepenuhnya yakin, tapi dalam ingatannya, hanya ada Ara. Sentuhan itu, suara lembut yang memanggil namanya—semuanya milik Ara. Tapi mengapa pagi ini, Sheila yang berdiri di hadapannya?“Kalau begitu siapa? Ara?” Sheila menatapnya tak percaya. “Kamu terus menyebut namanya setiap kali menyentuhku. Aku tak menyangka kamu bisa seperti ini, Dit. Apa kalian sudah terbiasa melakukan hal seperti itu? Sampai-sampai kamu dengan mudah melupakan apa yang terjadi antara kita semalam?”“Cukup, Sheila!”Aditama memejamkan mata, memijat pangkal hidungnya, berusaha keras menata napas dan pikirannya yang porak-poranda. Ia menggali ingatannya dalam-dalam, mencari jejak Sheila di sana, tapi yang ia temukan hanya kekosongan. Tidak ada Sheila. Tidak sepotong pun.Namun yang lebih membingung
“Mas Dito?” Kinara menoleh ke arah dua sahabatnya, lalu kembali memandang pria yang masih menggenggam tangannya. “Kok bisa di sini?”“Perfect timing! Wait a moment.”Dito memamerkan hasil foto candid yang diam-diam ia ambil saat Kinara tengah bersama para desainer di KLFW kemarin.“Mas Dito datang?” tanya Kinara dengan mata membulat.“Proud of you, Adik.” Dito mengusap lembut puncak kepala Kinara, membuat senyum merekah di wajah keduanya. “Let’s go!”Dito belum juga melepaskan genggamannya—Kinara menarik tangan Ve ikut bersama mereka.Mereka mendekati pasangan yang berdiri di sudut ruangan. Ternyata mereka adalah teman Mas Dito dan kekasihnya, yang rupanya seorang desainer asal Indonesia. Kinara tentu mengenalnya. Bersama Ve, keduanya nyaris melompat girang melihat sosok desainer terkenal itu berdiri di hadapan mereka.“Vena, ini adikku yang aku ceritakan waktu itu,” kata Mas Dito memperkenalkan Kinara kepada kekasih temannya.“Hi,” sapa Vena ramah.“Mas, kenalin aku juga dong, calon d
Dua minggu kemudianTidak ada angin segar bagi Aditama. Hilangnya rekaman CCTV hari itu menimbulkan keresahan, membuat langkahnya terasa penuh rintangan."Memang bukan hanya CCTV hari itu yang hilang, tapi aku tetap curiga," kata Mahesa Rein. "Sepertinya mereka sengaja melindungi orang besar yang terlibat di hotel itu. Sialnya, kejadianmu juga terjadi di hari yang sama," lanjutnya.Aditama mengusap wajahnya dengan kasar, tak tahu harus berkata apa. Ia gelisah, terlebih lagi karena tidak bisa menghubungi Ara. Entah kenapa, wanita itu menghilang seperti ditelan bumi dan akses Aditama terasa semakin terbatas."Aku akan tetap melanjutkan ini," kata Mahesa Rein.Aditama mengangguk setuju.***“How are you today, dear?” sapa Dito, pada Kinara yang menjeling matanya jengah. “Jelek sekali. Mas serius, how your feeling?” tanya Dito.“Jauh lebih baik, Mas,” balas Kinara, membuat senyum di wajah Dito merekah.Hari itu, saat Dito mengajak Kinara pergi bersamanya, tentu saja Kinara menolak. Bukan K
Kinara semakin gelisah. Sebanyak apa pun ia mencoba berpikir positif, hatinya tetap saja tak tenang. Ia menggigit bibir bawah, menatap testpack yang tergeletak di sisi wastafel. Ya, akhirnya Kinara memberanikan diri untuk melakukan tes.‘Pregnant.’Tangannya bergetar saat meraih testpack lain. Darahnya seolah berdesir melihat dua garis, meski salah satunya tampak samar. Saking penasarannya tadi ia membeli dua testpack sekaligus."Ha–hamil?" lirihnya.Ia menutup mulut, matanya membulat tak percaya. Kakinya terasa lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.'Bagaimana ini?' batinnya.Dalam sekejap, semua rencana yang sudah disusunnya runtuh begitu saja.***Untuk memastikan kehamilannya, Kinara membuat janji temu dengan dokter obgyn. Sepanjang konsultasi, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia ingat, dokter hanya mengatakan bahwa kandungannya masih sangat muda—baru terbentuk sebuah kantung janin.Ingin rasanya bertanya, 'Apakah masih bisa digugurkan?'Namun lidahnya kelu, tak san
Tatapan penuh kebencian dari Kinara membuat hati Aditama runtuh seketika. Belum sempat ia membujuk, Kinara sudah mengusirnya berulang kali—dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan.Kinara menatap lurus ke depan, menolak bertemu mata dengan Aditama yang masih berdiri di sisinya, tampak ragu untuk benar-benar pergi.“Maafkan aku, Ra.” Suara Aditama terdengar berat, bergetar. Ia menunduk, tak kuasa menatap wajah wanita yang telihat begittu tersakiti. Ingin rasanya memeluknya, tapi tangan itu tak berdaya. Jarak yang Kinara buat terasa lebih tajam dari pisau.“Pergi!” seru Kinara karena Aditama tidak kunjung meninggalkannya.Aditama akhirnya melangkah mundur, perlahan membalikkan badan menuju pintu. Tepat saat ia melangkah keluar, air mata Kinara jatuh tanpa bisa ditahan.Bohong kalau tidak rindu, tapi rasanya semua sudah tidak ada artinya lagi. Aditama dan Kinara sudah selesai, bahkan sebelum semua ini dimulai.‘Kamu bisa, Kinara. Semua ini sudah berakhir,’ batinnya.Aditama keluar, tapi
Air mata Aditama jatuh saat melihat kelopak mata Kinara perlahan terbuka. Dari balik dinding kaca ruang ICU, ia menyaksikan wanita yang dicintainya mulai merespons arahan dokter—kepala yang sedikit mengangguk, jemari yang bergerak perlahan. Kinara sadar, ini adalah anugerah terindah bagi Aditama.Sesaat kemudian, dokter spesialis keluar dari ruang ICU. Senyum puas terpancar di wajahnya, disertai anggukan mantap sebagai isyarat bahwa semuanya berjalan baik. Di belakangnya, dr. Sagara juga mengangguk, memberi keyakinan tambahan kepada Aditama.“Istri Anda sudah sadar dan kondisinya stabil, Pak. Silakan jika ingin menemuinya,” ujar sang dokter ramah.Namun Aditama hanya diam terpaku. Matanya masih memandang ke dalam ruang ICU, dadanya sesak oleh rasa haru dan bersalah yang saling berebut ruang.“Saya… saya takut memperburuk keadaannya, Pak,” lirihnya, nyaris tak terdengar.Kedua dokter saling bertukar pandang. Lalu, dokter spesialis menepuk pelan pundak Aditama dan berkata lembut, “Masukl
Panggilan telepon itu terputus begitu saja, meninggalkan Aditama dalam kepanikan. Percakapan tadi singkat, padat, dan sangat jelas—menyisakan tekanan yang luar biasa.Aditama tidak ingin berpisah. Apa pun caranya, ia akan memperjuangkan Kinara.Ia mencoba menghubungi sang ayah, tapi panggilannya berulang kali diabaikan.Frustrasi membuncah dalam diri Aditama, tapi di sisi lain, ia sedikit lega—paling tidak, sang ayah tidak membahas soal Sheila. Mungkin memang belum tahu.Tama lebih sering berada di Jepang, menjalani hidup terpisah dari keluarganya—bekerja. Sesekali, istri dan anaknya menyusul hanya untuk melepas rindu.***Sudah dua hari ini Aditama hanya beristirahat di ruang tunggu khusus wali pasien yang disediakan rumah sakit. Rindu, sang ibu, mengirim asisten untuk membawa mobil anak sulungnya ke rumah sakit sekaligus mengantar keperluan pribadinya. Ia sempat menyarankan Aditama untuk pulang dan beristirahat dengan layak—tapi Aditama menolak. Ia tidak sanggup meninggalkan Kinara s
Seorang dokter muda menawarkan diri untuk mendonorkan darah setelah mengetahui golongan darahnya sama dengan Kinara dan berhasil.“Satria Sagara,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Aditama.Aditama langsung menggenggam tangan itu erat, suaranya bergetar menahan haru. “Terima kasih... terima kasih banyak, Dok.”Dokter Sagara hanya tersenyum hangat, berusaha menenangkan Aditama yang terlihat kalut. Kehadirannya membawa sedikit ketenangan di tengah situasi mencekam itu.Dua jam berlalu dalam kecemasan. Hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka dan salah satu dokter keluar.“Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita masuk tahap observasi pasca operasi,” ujar dokter tersebut. Dokter Sagara yang masih menemani Aditama—menoleh seraya mengangguk.“Istirahatlah,” saran Dokter Sagara.Aditama menghela napas panjang, menolak saran itu. Mana bisa dia beristirahat sementara wanitanya terbaring lemah di dalam sana.“Paling tidak, sebaiknya kamu ganti dulu bajumu. Lihatlah itu penuh noda da
Bau antiseptik memenuhi ruangan.“Tolong selamatkan istri saya, Dok,” pinta Aditama dengan suara serak kepada dokter yang akan menangani Kinara—tak sabaran.“Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Silakan menuju administrasi sementara saya lakukan pemeriksaan awal,” jawab dokter itu.Sementara perawat meminta Aditama untuk memberikan tanda pengenal Kinara, perhatian Aditama justru teralih pada sesuatu yang ia temukan di dalam tas sang istri. Ia mengeluarkan botol obat dan menyerahkannya kepada perawat.“Ini ada di dalam tas istri saya, Dok,” lirih Aditama. “Obat apa ini?”Perawat memeriksa botol obat tersebut dengan teliti, sementara Aditama mencari tanda pengenal Kinara. Hatinya terasa terkoyak saat ia melihat kartu identitas Kinara.‘Kinara Ayudia Riyani’, tertulis jelas.Aditama memejamkan matanya saat melihat kartu nama Kinara sebagai desainer muda bertuliskan ‘Ara Riyani’.Bagaimana bisa takdir seperti ini yang menghampirinya? Aditama merutuki dirinya atas semua yang terjadi pada
“Silakan dilanjutkan, Pak—”“Mohon beri saya waktu untuk bicara, Pak,” potong Aditama, menghentikan ucapan Kinara sambil memohon pada petugas. Hakim dan para pihak saling bertukar pandang—berdiskusi singkat sejenak sebelum akhirnya mengangguk, mempersilakan Aditama berbicara.Tanpa membuang waktu, Aditama melangkah menuju meja Kinara. Namun, wanita itu sama sekali enggan menoleh—tatapannya lurus, dingin, dan tegas.“Kita perlu bicara,” ucap Aditama pelan tapi terdengar mantap.“Bicara saja di sini, di depan hakim,” balas Kinara tajam. Nada suaranya ketus, menyiratkan luka dan kekecewaan yang mendalam.“Saya ingin membatalkan perceraian ini, Pak,” ujar Aditama, tegas dan penuh keyakinan.“Mas…!” suara Kinara meninggi, matanya menatap Aditama dengan syok yang tidak bisa ia sembunyikan.“Saya tidak bersedia bercerai dari Kinara Ayudia Riyani,” lanjut Aditama, tetap berdiri tegak meski jelas wajahnya menyimpan gentar.Kinara menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan ucapan lelaki itu. Ia
“Saya tidak akan lama di Bandung. Mengenai perusahaan keluarga Kinara, saya tetap ingin melanjutkan partisipasi dalam putaran investasinya,” kata Aditama kepada Vano, asistennya.Kinara mempercepat proses perceraian. Aditama tidak tahu apa rencana wanita itu, tapi ia tidak keberatan. Ia setuju. Namun, Aditama bukan pria licik. Meski akan bercerai, ia tetap memilih untuk tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Ada satu hal yang terus mengganjal pikirannya, mengapa orang-orang di dalam perusahaan itu tampak tidak becus menjalankan perusahaan yang sudah punya itu dengan baik?Meski bercerai, Aditama telah menyiapkan banyak untuk Kinara. Ia memastikan wanita itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Uang tunai, aset, semuanya sudah dibagi. Jadi dia tidak terlalu heran kenapa Kinara memilih untuk mempercepat perceraian, karena apa yang ia berikan sangat menggiurkan, begitulah pikirnya.Di tengah kekacauan hidupnya, Aditama tak tahu bahwa Rindu sedang bersemangat menyambut cucu pertamanya.
Kinara tersenyum getir. Dimadu? Rasanya ia ingin tertawa saja. Dengan mantap, ia menegaskan bahwa mama mertuanya tak perlu khawatir akan keberadaannya—karena ia telah sepakat untuk berpisah dari Aditama. Rindu mengatakan bahwa ada seorang wanita dari masa lalu Aditama yang kembali hadir dalam hidup putranya. Sheila. Ya, Sheila adalah wanita itu. Di tengah kekacauan hubungannya dengan Aditama—baik sebagai Ara maupun sebagai Kinara—kehadiran Sheila seolah memberi warna pikir Kinara. Terlebih, mama mertuanya tampak begitu mendukung kehadiran Sheila. Terlihat jelas, ia seperti ingin Kinara segera menyingkir dari kehidupan Aditama. “Apa kamu sengaja menunda semua ini sampai putaran investasi selesai?” tanya Rindu. “Tidak, Tante. Kinara bersedia memproses perpisahan ini bahkan sebelum putaran investasi berlangsung,” jawabnya tenang. Rindu menghela napas lega, seolah mendapat angin segar. 'Sheila hamil, Tante," ujar Sheila, waktu itu. Rindu kembali teringat percakapannya dengan Sheila,
Kinara semakin gelisah. Sebanyak apa pun ia mencoba berpikir positif, hatinya tetap saja tak tenang. Ia menggigit bibir bawah, menatap testpack yang tergeletak di sisi wastafel. Ya, akhirnya Kinara memberanikan diri untuk melakukan tes.‘Pregnant.’Tangannya bergetar saat meraih testpack lain. Darahnya seolah berdesir melihat dua garis, meski salah satunya tampak samar. Saking penasarannya tadi ia membeli dua testpack sekaligus."Ha–hamil?" lirihnya.Ia menutup mulut, matanya membulat tak percaya. Kakinya terasa lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.'Bagaimana ini?' batinnya.Dalam sekejap, semua rencana yang sudah disusunnya runtuh begitu saja.***Untuk memastikan kehamilannya, Kinara membuat janji temu dengan dokter obgyn. Sepanjang konsultasi, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia ingat, dokter hanya mengatakan bahwa kandungannya masih sangat muda—baru terbentuk sebuah kantung janin.Ingin rasanya bertanya, 'Apakah masih bisa digugurkan?'Namun lidahnya kelu, tak san