Eng ing eng ... capa tuh?
“Very good, Kinara,” puji dokter spesialis sambil tersenyum puas setelah memeriksa hasil pemeriksaan hari ini. Suaranya tenang dan jelas terdengar lega.Hari ini adalah jadwal kontrol pertama Kinara pasca rawat inap dan operasi. Kondisinya membaik cukup signifikan. Pemeriksaan tekanan darah, detak jantung, serta hasil lab terakhir menunjukkan kemajuan.“Luka operasinya membaik, tidak ada tanda infeksi. Kamu cukup kooperatif dan itu sangat membantu proses pemulihan,” lanjut dokter itu sambil mencatat sesuatu di berkas.Kinara mengangguk pelan. Aditama yang duduk di sampingnya ikut memperhatikan dengan seksama, senyum bangga menghiasi wajah lelaki itu.“Jadi … apakah saya masih perlu kontrol lagi, Dok?” tanya Kinara hati-hati, separuh berharap dia bisa segera pulang ke Malaysia dan hidup sendiri lagi.“Tentu saja,” jawab dokter, masih dengan nada profesional. “Kita akan jadwalkan satu kali kontrol lagi dua minggu ke depan. Kalau hasilnya tetap bagus, kamu sudah boleh lepas observasi int
‘Tidur seranjang dan memeluk Aditama erat-erat semalam?’ Omong kosong. Itu hanya akal-akalan Aditama semata. Lelaki itu puas bukan main melihat ekspresi terkejut Kinara. Jangankan tidur di ranjang yang sama, dibukakan pintu pun tidak. Kinara menguncinya rapat-rapat.Aditama heran bukan main—bagaimana bisa Kinara lupa kalau dia sendiri yang mengunci pintu malam itu? ‘Tidur seranjang dan memeluk Aditama erat-erat semalam?’ Bagaimana bisa? Bahkan dalam alam bawah sadarnya pun, Kinara tetap mengusirnya—enggan dekat dengannya. Tapi justru itu yang membuat Aditama semakin gemas. Ia senang menggoda Kinara. Apalagi saat wajah perempuan itu memerah seperti tomat, lucu sekali.Satu hal lain yang disyukuri Aditama adalah kemurahan hati sang mama yang mengirim Bi Isah untuk membantu mereka di apartemen.Seharian ini, meski terus diketusi dan dijudesi oleh Kinara, Aditama tetap berlapang dada. Ia tak sekalipun membalas—justru semakin rajin menunjukkan perhatiannya pada sang istri.Bi Isah sampai ge
“Maksud kamu apa?” tanya Sheila dengan nada kesal.“Sheila… jangan terlalu melambungkan harapan terlalu tinggi. Mungkin kamu cinta pertamanya, tapi aku cinta terakhirnya,” ucap Kinara, sombong.Setelah mengucapkan itu Kinara langsung memukul mulutnya sendiri—lancang sekali dia. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak sudi kalah dari perempuan yang tak tahu diri seperti Sheila.Kinara bahkan memanjangkan lehernya—menengok ke arah pintu, khawatir jika Aditama mendengar kata-katanya barusan—bisa-bisa makin besar kepala lelaki itu.Tawa sinis terdengar dari seberang telepon. Kinara spontan mengernyit.“Sayang sekali,” balas Sheila, angkuh. “Cinta terakhir itu ternodai oleh cinta pertama yang belum usai. Dan aku harus bilang ini Kinara, saat ini aku tengah mengandung buah cinta kami, aku dan Aditama.”Hati Kinara seperti disayat mendengarnya.“Bagaimana kalau anak itu bukan anak Aditama?” tantangnya dingin.Sheila terdiam sesaat. “Te-tentu saja ini anak Aditama,” jawabnya, terdengar tidak yakin.“
Aditama menangkap sinyal keberatan yang terpancar dari sorot mata Kinara. Ia memberi pengertian pada ibunya—mengisyaratkan bahwa istrinya butuh istirahat—karena baru saja diizinkan pulang dari rumah sakit sore ini. Rindu sempat tampak kecewa, tapi akhirnya mengangguk pelan, mencoba memahami.“Ma,” panggil Kinara ragu. Hanya ada dirinya dan sang ibu mertua di ruang tengah itu. Sementara itu, Gania sedang membantu Aditama di dapur, membersihkan ruang makan dan peralatannya usai makan malam.“Soal perceraian—”“Anak itu…,” pangkas Rindu—matanya melirik perut Kinara. “Apakah anak Aditama?” lanjutnya. Kinara menelan salivanya perlahan, tubuhnya menegang mendengar pertanyaan itu.“Ma …,” lirihnya.“Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan padamu, Kinara,” lanjut Rindu. “Tapi saya tahan. Karena... lihatlah,” katanya menunjuk ke arah Aditama yang tengah tertawa bersama Gania. “Saya belum pernah melihatnya sebahagia ini, Kinara. Dan saya tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya. Tapi jawabanmu …
“Mas, aku keceplosan bilang mau ke apartemenmu. Jadinya Mama mau ikut, katanya,” ujar Gania meringis dari ujung telepon. “Biar Mas saja yang bicara sama Mama, Dek,” jawab Aditama, meminta Gania menyerahkan ponsel pada sang ibu. Aditama mencoba memberi pengertian pada Rindu. Ia berjanji akan mempertemukan Kinara dengan sang ibu di waktu yang lebih tepat. Tapi Rindu bersikeras. Ia ingin ikut. Katanya, ingin melihat langsung menantunya. “Kamu ini kenapa sih, Mas?” tanya Rindu curiga, menyadari kegelisahan anaknya. “Mas banyak salah sama Kinara, Ma. Mas takut kehilangan dia untuk kedua kalinya.” Rindu terdiam. Lalu bertanya lirih, “Sebegitunya kamu bela dia? Lalu bagaimana dengan anak dalam kandungannya itu, Mas? Apa kamu bisa menerima itu?” “Itu anak Mas, Ma. Cucu Mama.” Rindu terperangah. Aditama tahu Kinara membantah hal itu, tapi entah kenapa ia yakin itu anaknya. “Tapi... cucu Mama sudah nggak ada, Ma. Kinara keguguran.” Seketika, dada Rindu sesak. Meski bingung, tapi tak bis
Seminggu kemudian“Saya pasti bakaln kangen dengan Bu Kinara,” ucap perawat lirih sambil membantu Aditama merapikan barang-barang.“Hanya ini, Pak?” tanyanya, memastikan.Aditama mengangguk. “Iya. Terima kasih, ya.”Perawat itu lalu berjongkok di hadapan Kinara yang duduk di kursi roda. “Saya pasti kangen sama Ibu. Tapi, semoga kita bertemu lagi di tempat yang lebih baik, bukan di rumah sakit, ya.”“Terima kasih, Suster. Sudah merawat dan menemani saya selama di sini,” ujar Kinara tulus.“Semu aini berkat Bapak yang sabar,” kata perawat menatap Aditama yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Semoga Bapak dan Ibu baik-baik saja, ya. Selalu sehat dan bahagia.”“Pasti,” jawab Aditama. Kinara hanya diam, tidak menanggapi—menjelingkan matanya jengah.Dengan hati-hati, Aditama membantu Kinara masuk ke dalam mobil. Namun, Kinara menolak duduk di kursi penumpang depan dan memilih duduk di bangku belakang.“Ponselku,” pinta Kinara sesaat setelah Aditama masuk ke sisi kemudi.“Sampai rumah, ya,” j
"Dia bukan anakmu, Mas," ucap Kinara, membuat Aditama menggeleng, tak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu diam saja? Mana semua caci maki yang biasanya kamu lontarkan padaku?"Entah mengapa, kali ini Aditama tak sanggup berpikir jernih. Kalimat Kinara terasa menamparnya, tapi hatinya masih menolak percaya. Kinara bukan wanita seperti itu, pikirnya.Kinara mulai menggebu-gebu dengan emosinya. Itu membuat Aditama panik, khawatir kondisinya yang tak stabil bisa memburuk."Ra, tolong tenang," pintanya lembut. "Aku salah, aku akui itu. Aku mohon maaf. Tapi tolong ingat kesehatan kamu."Air mata yang sejak tadi Kinara tahan akhirnya pecah juga. Ia menangis sejadi-jadinya, mengguncang suasana."Kamu jahat, Mas!" teriaknya pilu.Aditama berusaha menggenggam tangannya, tapi Kinara menepis. Ia mencoba lagi, kali ini berhasil, dan ia mengecupnya penuh penyesalan.“Beri aku kesempatan, Ra.”"Tinggalkan aku, Mas.""Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Jangan pernah minta itu, Ra." Aditama
Aditama punya teman baru, siapa lagi kalau bukan dokter Sagara. Banyak hal seputar kondisi Kinara yang bisa dibagi bersama, tentunya seputar kesehatannya.“Saya mau kamar itu, Dok. Tolong tunjukkan,” pinta Aditama saat dokter sagara mengatakan Kinara sudah bisa dipindahkan ke ruangan perawatan. Dokter residen itu menawarkan kamar VIP yang memiliki ruangan khusus untuk wali pasien. Namun, masalahnya … apa wanita itu mau seruangannya dengannya? Seminggu pasca operasi, dalam tiga hari terakhir Aditama tidak muncul di hadapan Kinara. Bukan berarti dia menyerah. Dia hanya memberi jeda Kinara untuk beristirahat. Dan benar saja, kini wanita itu sudah lebih membaik dan akan dipindahkan ke ruang perawatan.Kinara meminta ponselnya pada pihak rumah sakit, tapi jawabannya membuat ia kesal karena semua barang pribadinya ada pada Aditama.Hanya Kinara orang yang habis operasi besar memikirkan barang-barangnya. Pasalnya waktu dia menginap di sebuah hotel sudah habis. Rencana habis sidang, dia akan j
Tatapan penuh kebencian dari Kinara membuat hati Aditama runtuh seketika. Belum sempat ia membujuk, Kinara sudah mengusirnya berulang kali—dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan.Kinara menatap lurus ke depan, menolak bertemu mata dengan Aditama yang masih berdiri di sisinya, tampak ragu untuk benar-benar pergi.“Maafkan aku, Ra.” Suara Aditama terdengar berat, bergetar. Ia menunduk, tak kuasa menatap wajah wanita yang telihat begittu tersakiti. Ingin rasanya memeluknya, tapi tangan itu tak berdaya. Jarak yang Kinara buat terasa lebih tajam dari pisau.“Pergi!” seru Kinara karena Aditama tidak kunjung meninggalkannya.Aditama akhirnya melangkah mundur, perlahan membalikkan badan menuju pintu. Tepat saat ia melangkah keluar, air mata Kinara jatuh tanpa bisa ditahan.Bohong kalau tidak rindu, tapi rasanya semua sudah tidak ada artinya lagi. Aditama dan Kinara sudah selesai, bahkan sebelum semua ini dimulai.‘Kamu bisa, Kinara. Semua ini sudah berakhir,’ batinnya.Aditama keluar, tapi