Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Pernikahan yang sudah direncanakan akhirnya terlaksana di kediaman sang Nenek. Akan tetapi, pada kenyataannya pernikahan itu tidak tergelar selayaknya pesta pernikahan yang dipenuhi gegap-gempita.
Acara pernikahan digelar dengan sangat tertutup dan sederhana dengan hanya dihadiri oleh sebagian keluarga Afsana. Tidak ada resepsi meriah ataupun suasana syahdu yang seharusnya dirasakan ketika pernikahan dilaksanakan. Bahkan berbagai ornamen cantik yang menghiasi area taman rumah bergaya Joglo itu seakan tak menjadikan suasana menjadi penuh gembira. Nyatanya semua orang menyadari akan suasana membeku di antara kedua pengantin. Seakan tidak ada sedikitpun kebahagiaan yang menyelimuti keduanya. Asmara, yang hanya mengenakan kebaya putih sederhana, duduk termenung dengan mata memerah dan Nanda juga tak jauh berbeda. Kedua wajah mereka tak sedikitpun mengandung senyuman. Tepat setelah pengucapan ijab kabul selesai, Nanda dan Asmara memilih untuk langsung meminta izin kepada sang Nenek untuk meninggalkan tempat acara. Mendahului para tamu itu sendiri. Akan tetapi, seakan setiap orang telah memaklumi keadaan, tak ada seorangpun yang menghentikan mereka. Asmara hanya mampu terdiam mengikuti langkah Nanda yang membawa keduanya menuju apartemen Nanda. Setelah resmi menjadi sepasang suami-istri, Nanda menyetujui permintaan sang Nenek untuk membiarkan Asmara tinggal di apartemennya. Sayangnya, keberadaannya tampaknya tidak diharapkan sedikitpun. Asmara dibiarkan begitu saja di ruang tamu sedangkan Nanda malah langsung memasuki kamar tidurnya. Dengan helaan nafas berat Asmara hanya mampu termenung menatap permukaan pintu yang tertutup. Melepas beberapa kancing atas kebayanya yang sesak, Asmara berjalan untuk duduk di sofa. Sekali lagi bergeming. Sejurus kemudian, Asmara yang hampir saja terlelap di atas sofa setelah Nanda memasuki kamar begitu lama, seketika menegakkan punggung begitu mendengar suara derak dari gesekan 2 benda. "Kamu mau kemana, Om?" Tanya Asmara keheranan ketika menyadari kalau Nanda tengah menggeret koper kecil. pakaian yang ia kenakan semula juga sudah berganti menjadi setelan kantor berwarna biru dongker. "Ada pekerjaan yang harus aku lakukan," jawab Nanda singkat, tanpa sedikitpun menatap wajahnya. "Pekerjaan? Pekerjaan apa?" Asmara jelas tidak mengerti dengan apa yang Nanda pikirkan. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan dan Nanda sudah akan meninggalkannya. Perusahaan sebesar apapun itu juga tidak mungkin memaksa pegawainya untuk bekerja di hari pernikahan mereka bukan? "Maksud kamu apa, Om? Kita baru saja menikah bahkan belum genap satu hari tapi, kamu malah akan pergi begitu saja?!" "Aku sudah menjadwalkan pekerjaan ini sejak tiga bulan lalu, aku tidak bisa membatalkannya." "Benarkah? Ini bukan akal-akalan kamu saja untuk meninggalkan aku 'kan?" Cerca Asmara tak percaya. Nanda mengusap wajahnya secara kasar sebelum berkata. "Aku harus cepat-cepat pergi, Asmara. Penerbanganku dijadwalkan kurang dari satu jam lagi." "Om Nanda!!" Asmara menarik lelaki itu, memaksa Nanda untuk berdiri menghadapnya. Dia sama sekali tidak percaya bahwa Nanda akan meninggalkannya dengan cara seperti itu. "Bisakah kamu sedikit saja menghargai aku, Om? Aku itu istri kamu! Bagaimana kamu bisa meninggalkan aku hanya beberapa jam setelah pernikahan kita?! Dimana hati nurani kamu? Atau ... kamu akan pergi menemui Mbak Maira? Iya 'kan?! Jawab aku, Om Nanda! Kamu pasti akan pergi menemui Mbak Maira bukan? Hah?!" Menghadapi cecaran Asmara, seketika menyulut kemarahan Nanda. Laki-laki itu melepas cekalan Asmara di lengannya lalu mengambil langkah mundur. "Aku tidak peduli dengan apa yang kamu katakan, aku akan pergi sekarang!" "Jangan pergi, aku bilang jangan pergi!!" Asmara meraung kencang. Dia berusaha menghadang langkah Nanda, tak membiarkan lelaki itu pergi meninggalkan apartemennya. "ASMARA!!" Bentak Nanda marah. "Sudah cukup. Aku sudah berkompromi dan mengorbankan egoku untuk menikahimu. Sekarang aku lelah, sangat lelah." Lelah? Jika Nanda lelah, lalu apa yang Asmara rasakan. Pertama dia harus menerima fakta bahwa belahan jiwanya justru jatuh cinta dengan perempuan lain. Dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa perempuan itu jauh lebih baik darinya. Karir dan kecantikannya. Asmara tidak bisa dibandingkan dengannya. Malam yang mereka habiskan di kamar hotel itu menjadi titik mula dari kehancuran dirinya. Berkali-kali dia harus menelan jarum yang menusuk raganya. Dan sekarang Nanda malah akan meninggalkan dirinya hanya berselang beberapa jam setelah pernikahan mereka. Asmara tidak pernah merasa seterhina ini sebelumnya. Dia sangat mencintai Nanda. Namun apa yang Nanda lakukan hanyalah terus mendorongnya menjauh tanpa belas kasihan. "Aku akan pergi sekarang." Tepat setelah mengatakannya, Nanda langsung menarik kopernya dan pergi meninggalkan apartemen. Asmara hanya mampu membeku menatap kepergian Nanda. Laki-laki itu bahkan tidak memiliki keraguan sedikitpun. Nanda tidak menoleh kembali barang sekalipu. Sampai Asmara tak menyadari jika tubuhnya perlahan meluruh jatuh. Dia pikir alasan mengapa Nanda bersedia menikahinya adalah karena Nanda mulai memahami dirinya. Bahwa Nanda bersedia memberi sedikit simpati padanya. Setidaknya meskipun Nanda masih tidak mampu membalas perasaannya, laki-laki itu bersedia berkompromi. Sayangnya segalanya hanyalah khayalannya saja. Pada kenyataannya Nanda masih tidak bisa menerima dirinya. Asmara masih menjadi pihak yang ditinggalkan. "Asmara ada apa?" Suara Ibu tiba-tiba terdengar, diikuti oleh kemunculan sosoknya yang tergopoh-gopoh. Nanda pergi tanpa menutup pintu apartemen sehingga ketika Ibu akan memasuki apartemen miliknya, dia langsung melihat keadaan Asmara yang bersimpuh di atas lantai dengan kebaya yang kusut. Tangisan Asmara membuat perempuan yang berprofesi sebagai pengacara itu seketika dilanda perasaan panik. "Bu, Om Nanda pergi. Dia pergi, Bu!!" Raung Asmara, mengadukan apa yang baru saja menimpa dirinya. "Pergi? Pergi kemana?" "Dia pergi! Om Nanda pergi meninggalkan aku, Bu!!" Meski tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ibu bergegas mengecek seisi apartemen dan ketika ia tak menemukan tanda-tanda kehadiran Nanda, perempuan itu dengan sigap men-dial nomor menantunya. Asmara tidak bisa mendengar apa yang Ibu bicarakan ketika Nanda menerima panggilannya. Dia sudah terlalu jatuh terpuruk ke dalam kesedihan dan kemarahan tak berujung. Tak berapa lama, Ibu kembali menghampiri Asmara. "Nanda bilang dia harus pergi ke Singapura untuk mengikuti perkumpulan para ahli sistem komputer atau sejenisnya. Dan pekerjaan ini bukan pekerjaan yang datang secara mendadak, Nanda sudah mempersiapkan semuanya sejak beberapa bulan lalu. Kamu harus tenang dulu, okay? Ibu tahu kamu sedih, bagaimana pun Ibu juga tidak bisa menerima kenapa Nanda memperlakukan kamu seperti ini. Tapi kita harus sedikit bersabar, ketika Nanda pulang kalian bisa membicarakan semuanya. Untuk saat ini kamu tetap tidur di apartemen kita saja ya." Asmara langsung menolak menolaknya mentah-mentah. Jika memang seperti itu, maka Asmara akan menunggu kepulangan Nanda di apartemen ini. Mungkin saja dengan cara seperti ini ia akan memiliki cukup waktu untuk meredakan kemelut di hatinya. Dan Asmara berharap Nanda juga begitu. Sehingga ketika Nanda kembali pulang, keadaan mereka akan membaik. Melihat kekeras kepalaan putrinya, Ibu berusaha membujuk Asmara sekali lagi. Bagaimanapun dengan kondisi seperti ini, Ibu tidak akan tenang meninggalkan Asmara sendirian. Sebagai seorang Ibu, dia juga merasa tersinggung ketika Nanda pergi begitu saja di hari pernikahannya dengan Asmara. Namun dia tidak bisa berbuat banyak ketika orang yang bersangkutan tidak ada disini. Pada akhirnya Ibu hanya mampu menjaga Asmara dan berharap segala masalah yang menimpa putrinya akan segera selesai."Kamu ada dimana?" Asmara memijat pelipisnya karena sensasi pusing yang mendera kepalanya kini. Segalanya tampak berputar. Tubuhnya terasa mengambang meski Asmara tahu bila ia tengah menapak di atas lantai. Suara-suara yang semula terdengar lantang juga kini secara perlahan terdengar bagai nada terputus-putus. Memberi petunjuk bahwa kini Asmara tak lagi mampu menanggung akibat dari minuman yang ia teguk beberapa waktu lalu."Asmara." Suara di seberang telepon kembali menarik sedikit kesadarannya. Asmara memaksakan tangannya yang berat untuk menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjawab dengan gumamam singkat."Bar.""Bar yang mana?""Music Bar sunshine.""Tunggu di sana, jangan kemana-mana!""Hei!"Asmara berseru keras ketika panggilan terputus begitu saja. Kedua matanya mengerjap cepat memperhatikan layar ponsel, meski begitu penglihatannya yang kabur ditambah sinar yang terlalu silau membuatn
Bagai rembulan yang kehilangan sumber sinarnya, Asmara telah kehilangan ketenangannya selama beberapa hari belakangan. Sejak malam dimana ia menghabiskan makan malam bersama Nanda dan teman-temannya, isi pikiran Asmara telah dipenuhi oleh beragam kebimbangan. Terutama jika ia mengingat percakapannya dengan Nanda waktu itu. "Apa gunanya mencari orang lain jika sejak awal aku tahu bukan dia orangnya?" Air muka Nanda tampak berubah tepat setelah Asmara melontarkan kalimat itu. Seolah sesuatu yang tak kasat mata telah memasuki relung jiwanya. Nanda terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke atas langit dan Asmara dapat merasakan kegelisahaan pada setiap kedipan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa orang yang kita cari bukan orang yang tepat?" Lalu apa yang Nanda katakan di lantai dasar gedung apartemennya sekali lagi membuat detak waktu seakan terhenti. Sesak hingga tak tercegah. Asmara terpaku, memperhatikan Nanda
Asmara terkadang heran dengan perjalanan takdir. Di saat ia begitu mengingini sesuatu, takdir malah menjauhkan hal itu darinya. Jangankan membiarkannya menggenggam harapan barang sedetikpun, Asmara bahkan tak diperbolehkan untuk menyentuhnya. Seakan semesta tak sudi membiarkan manusia rendahan sepertinya mendapat segalanya dengan mudah. Dan bahkan jika ia telah melalui beragam kesakitan, belum tentu takdir akan bersimpati padanya.Tapi kini, ketika Asmara tak lagi bertekad memilikinya dan cenderung menjauhkan diri, tangan-tangan takdir justru mendorong hal itu ke depan matanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali mempermainkannya dengan kekuatannya yang maha kuat.Lalu ketika ia kembali tergoda, akankah takdir kembali menarik harapannya?Asmara merasakan suatu kehampaan yang mengganjal di dadanya, membuatnya hanya mampu tersenyum nanar memikirkan hidupnya. Dengan perasaan tergulung sendu, Asmara menatap seseorang yang kini duduk tepat di sa
"Asmara, boleh aku tanya sesuatu?"Asmara yang baru saja akan melangkah memasuki pintu kaca sebuah restoran, seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan memasang raut penuh tanya kepada sang penanya, Sari. Tidak hanya dirinya, gerakan Sari juga turut menarik perhatian ketiga orang lainnya, Gania, Farhan serta Anton yang sudah lebih dulu membuka pintu. Masing-masing dari mereka memandang Sari penuh ingin tahu."Ada apa, Ri?" Tanya Gania penasaran. Sari segera memasang senyum kikuk, berusaha menegaskan bahwa tidak ada hal penting yang terjadi. Gadis itu menarik pergelangan tangan Asmara, seolah takut seseorang akan menghalanginya untuk berbicara. "Mbak sama yang lainnya bisa masuk ke dalam duluan saja, aku mau ngobrol sebentar sama Asmara.""Memangnya ada apa, Ri? Tidak biasanya kamu main rahasia-rahasiaan.""Bukan apa-apa kok, Mbak. Boleh ya, Mbak? Kalau mau kalian bisa makan duluan saja.""Ya sudah, janga
Asmara terbangun ketika suara percakapan samar disertai lantunan musik klasik terdengar di telinganya. Gadis itu mengerang pelan, memaksakan dirinya untuk membuka kedua mata dan mengerjap ketika cahaya silau dari jendela yang terbuka terasa menusuk penglihatannya.Kedua alisnya menukik tajam ketika Asmara menemukan dimana ia kini. Seingatnya Asmara masih berada di ruang kerja Kakeknya sampai ia tak sengaja terlelap ketika dini hari tiba. Tapi sekarang, ia malah terbangun di atas ranjang dengan sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya rapat-rapat. Tidak hanya itu, jepit rambutnya yang semula masih menggantung di rambut ikalnya kini telah teronggok di atas nakas. Tertata rapi bersama ponselnya.Aneh, pikirnya.Namun Asmara tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya ia sampai ke kamar tidur, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir mendekati waktu kerjanya. Buru-buru Asmara melompat ke kamar mandi guna membersihkan diri dan ber
Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang. Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada san