Share

Siapa gadis itu?

Pagi hari semua penghuni pondok sibuk dengan aktivitas belajarnya begitupun dengan Rey dan Claudya. Disaat itu lah Jona melihat Claudya.

Karena Claudya sudah berhijrah dan sudah lama melupakan peristiwa yang merubah seluruh hidupnya. Ia juga sudah melupakan pelaku pembunuh sang Ayah. Tapi tidak dengan Jona. Ia masih ingat betul dengan gadis yang ia lihat di ruang persidangan waktu itu. Jona meyakinkan diri jika benar dia adalah gadis yang sama. Hal itu membuat ia penasaran. Ia pun bertanya pada salah satu pengurus pondok pesantren.

"Assalamualaikum ustaz, maaf boleh saya bertanya?"

"Waalaikumsalam, iya silahkan."

"Siapa gadis itu? Kenapa dia bisa keluar masuk ke rumah Umi Nissa."

"Oh, itu Claudya, anak angkat ustaz Yusuf dan Umi Nissa. Memangnya kenapa? Kamu kenal?" ustaz Reza balik bertanya.

"Ah, tidak ustaz hanya seperti pernah melihatnya saja," jawab Jona dengan kikuk.

"Apa dia sudah lama di pesantren ini?"

"Hayooo, kenapa nanya-nanya? Mas suka sama Claudya?" ustaz Reza menggoda Jona.

"E-e tidak ustaz cuma penasaran saja," jawab Jona gugup sambil menggaruk tengkuk leher yang tak gatal.

Dengan wajah baru dan identitas baru, Jona yakin jika Claudya tidak akan mengenalinya.

"Kira-kira sudah tiga tahun ia berada di sini. Kasian Claudya, ia datang ke sini karena merasa terguncang. Ia kehilangan Ayahnya dalam semalam. Rumahnya disatroni para perampok. Ayah dan adiknya jadi korban perampokan. Alhamdulillah sang adik masih bisa diselamatkan. Tapi tidak dengan Ayahnya."

Jona terkejut dengan penjelasan ustaz Reza. Ia tak menyangka jika Claudya adalah kakak dari gadis yang ia tikam sekaligus anak dari seorang laki-laki yang ia bunuh.

Hati Jona terenyuh dan kembali merasakan sesak karena rasa bersalahnya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Seperti itu lah peribahasa yang menggambarkan Jona dan Claudya.

"Mas, mas Jo! Ada apa kok malah melamun?" tegur ustaz Reza yang ternyata mereka seumuran.

"Eh i-iya, ustaz, maaf. Saya hanya merasa kasian padanya," ucap Jona dengan jujur.

"Iya, Umi dan Abi Yusuf cukup lama membimbing Claudya hingga sekarang ini. Claudya gadis yang pendiam. Beberapa bulan belakangan ini Claudya sudah ceria dan mau berbaur dengan para santriwati," tutur ustaz Reza sambil menaikkan sorban yang merosot ke bahunya.

"Terima kasih, ustaz. Maaf sudah mengganggu."

"Sama-sama, Mas. Tidak apa-apa."

"Kalau gitu saya permisi mau ke kamar dulu." lanjutnya.

"Iya, silahkan!"

Di dalam kamar Jona melangkah ke lemari. Ia merogoh ke sela-sela bajunya untuk mengambil sebungkus rokok yang ia sembunyikan di sana. Di pesantren ini ada peraturan dilarang merokok untuk semua penghuni pondok tanpa terkecuali.

Jona pergi ke belakang asrama. Ia duduk di bawah pohon mangga yang cukup rindang. Tempat itu sudah menjadi tempat favorit Jona kala ia sedang ingin sendiri.

Jona mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam kantong celana di balik kain sarung yang ia kenakan. Sebatang rokok ia secara perlahan dan menghembuskan asap ke udara. Benda yang berada di celah jarinya ia biarkan habis tertiup angin.

Jona terlihat makin frustasi setelah mendengar penjelasan tentang Claudya dari ustaz Reza. Kembali ia hisap rokok itu dan menghembuskan asap ke udara hingga menguar entah ke mana. Ia bertekad ingin melakukan pendekatan pada Claudya.

Pagi hari setelah sholat subuh umi Nissa menyuruh Claudya untuk berbelanja ke pasar.

"Ndok, Umi minta tolong boleh?" tanya umi Nissa ragu.

"Umi kok ngomong gitu, tentu aja boleh. Apa itu, Umi?"

"Claudya bisa kan pergi ke pasar? belanja kebutuhan dapur, untuk keperluan para santri. Mbok Ijah yang biasanya belanja, tapi beliau lagi sakit."

"Bisa dong, Umi. Jadi apa aja yang harus dibeli?" Claudya mengambil secarik kertas siap untuk mencatat.

"Ini daftar belanjanya." umi Nissa menyodorkan catatan belanjaan pada Claudya.

"Ini banyak banget, Umi! Gimana bawanya?" Claudya mengerutkan keningnya.

"Saya bisa antar, Umi." potong Jona yang tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.

"Eh, nak Jo, betul bisa antar Claudya belanja ke pasar?"

"Insya Allah bisa, Umi."

"Emang kamu bisa bawa mobil?"

"Jangankan bawa mobil, angkat mobil pun saya bisa ...." canda Jona.

Jona seperti orang yang mempunyai dua kepribadian. Di kala sendiri ia menjadi pendiam di kala bersama orang lain ia akan menjadi periang.

"Nak Jo bisa saja." umi Nissa menutup mulutnya menahan tawa.

"Tapi kalian tidak bisa pergi berdua saja. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Nak Jona ajaklah temanmu untuk ikut dengan kalian ke pasar."

"Siap, Umi. Nanti saya ajak Rizal untuk ikut."

"Nah, sayang masalah terselesaikan. Nak Jo datang. Bagaikan datang tak dijemput pulang tak diantar."

"Eh, jelangkung dong saya. Umi bisa juga bercandanya." tawa Jona pecah.

Umi Nissa dan Jona saling pandang dan akhirnya tertawa bersama. Lain halnya dengan Claudya. Di dalam hati sebenarnya ia keberatan jika harus diantar oleh Jona. Pasalnya ia belum nyaman dengan orang yang belum ia kenal dekat.

"Ya udah, sekarang pergilah nanti kesiangan."

"Inggih, kami brangkat ya, Umi, Assalamualaikum."

Mereka bertiga berjalan ke tempat di mana mobil Claudya di parkirkan. Claudya menghembuskan nafasnya kasar. Ia kesal dengan ulah Jona.

"Kamu ngapain, sih, pake nawarin segala buat anterin aku? Kamu nguping, ya?" tuding Claudya.

"Gak, siapa juga yang nguping. Kebetulan aku lewat tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Lagian kan aku cuma mau menawarkan jasa." bantah Rey.

Rizal yang mendengar pertikaian kecil antara Jona dan Claudya hanya bisa diam.

"Halah, sok baik kamu." Claudya membuang muka ke sisi yang lain.

"Aku kan memang cowok yang baik dan tidak sombong," ucap Jona dengan tertawa kecil.

Claudya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengar ocehan dari Jona. Claudya tidak mengenali pria yang baru saja ia ajak bicara. Karena penampilan Jona sangat berbeda. Pria itu teringat saat sebuah batu mendarat di pelipisnya. Itu karena ulah Claudya yang sangat membencinya. Bagaimana jika Claudya tahu siapa Jona sebenarnya.

"Claudya...tunggu, jutek amat jadi cewek. Nanti jauh jodohnya, looh."

Claudya melirik dengan tajam. Matanya mengisyaratkan untuk diam.

"Ayo, Zal, nanti si nyonya marah-marah lagi."

Jona dan Rizal juga mempercepat langkah mereka agar tak ketinggalan jauh dengan Claudya. Setibanya di mobil mereka berselisih lagi. Siapa yang akan menyetir mobil. Persis seperti kucing dan tikus yang tak pernah akur. Akhirnya Claudya pun mengalah dia duduk di samping Supir sedangkan Rizal duduk di belakang supir.

Di dalam mobil Jona curi-curi pandang dengan Claudya. Rizal berpikir jika Jona menyukai Claudya. Dan Jona juga tahu jika Claudya tidak menyukainya. Tapi ia tak akan pernah menyerah dan terus berusaha mendekati Claudya apapun yang terjadi.

Selama perjalanan ke pasar mereka hanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Jona mencoba mencairkan suasana dengan membuat lelucon berharap Claudya bisa tertawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status