“Ya Allah…bukankah aku perempuan baik-baik? Aku sudah berusaha menjadi hamba-Mu yang baik. Lantas mengapa Engkau berikan takdir seburuk ini kepadaku? Mengapa Engkau timpakan cobaan yang merusak kesucian diriku di hadapan-Mu? Bukankah dosa besar ini tidak Engkau sukai? Aku yang selama ini berlari untuk semakin dekat kepada-Mu, kenapa Engkau berikan jarak berupa dosa besar yang semakin membentang. Sekarang mungkinkah aku masih bisa meraih ridha-Mu dengan kondisi yang sudah berada dalam kubangan lumpur seperti ini? Bahkan untuk bersanding dengan salah satu makhluk terbaikmu saja aku merasa malu.”
Perempuan itu terus termenung menatap kosong pada langit gelap yang berbintang. Dia berdiri di dekat jendela kamarnya yang terbuka. Dia sedang sibuk berdialog dengan dirinya sendiri mengenai kejadian buruk yang baru saja ia alami. Memikirkan tentang nasib dirinya dan rencana pernikahannya.
Semakin wajah Ardiaz berkelindan di pelupuk mata, semakin pula Adinda terbayang kejadian buruk yang sudah merenggut hal berharga dalam hidupnya. Ia merasa sudah tidak pantas untuk Ardiaz. Berkali-kali perempuan itu berpikir apakah kejadian yang menimpanya adalah cobaan atau justru hukuman. Jika memang hukuman, dia kembali mempertanyakan kesalahan apa yang pernah dia lakukan hingga dihukum sedemikian beratnya.
Adinda tidak pernah menyangka semuanya akan terjadi. Seandainya dia bisa mengetahui kejadian beberapa jam setelah pertemuannya dengan Rafli, tentu hari itu dia tidak akan menerima ajakan untuk bertemu walau dengan alasan niat baik apa pun. Sayangnya dia juga hanya manusia biasa yang akan terus menari mengikuti alunan takdir. Dia tidak bisa memprediksi sesuatu lebih cepat.
Hotel Gardenia kamar nomor 304. Masih lekat ingatan Adinda mengenai tempat terjadinya bencana itu. Sejak pulang dari sana, sikapnya berubah menjadi lebih pendiam dan murung. Dia sering menghabiskan waktunya sendirian di dalam kamar. Terkadang dia hanya keluar ketika dipanggil untuk makan.
Hari itu setelah menghabiskan waktu dengan menangis berjam-jam di kamar hotel, Adinda memutuskan untuk pulang. Sampai saat itu pun, dia tidak bertemu orang lain lagi yang mendatanginya ke dalam kamar. Adinda tidak punya jejak pasti tentang siapa pelakunya.
Dia juga tidak ingat bagaimana semuanya terjadi. Bahkan wajah laki-laki itu juga tidak dia ketahui. Menyadari hal itu membuatnya semakin merutuki kebodohannya sendiri. Meski begitu, ada satu orang yang jelas menjadi sasaran kecurigaan Adinda.
Ya. Siapa lagi kalau bukan Rafli, mantan kekasih yang hari itu sudah mengajaknya bertemu. Adinda hanya ingat terakhir kali ia sedang bertemu Rafli di sebuah café hingga kemudian ia merasa pusing dan kehilangan kesadaran. Kejadian setelahnya, Adinda sama sekali tidak mengingat apa pun.
Jika mengingat semua itu, Adinda sangat menyesal memenuhi ajakan Rafli. Dia berpikir jika dia tidak pergi mungkin kejadian buruk tidak akan terjadi. Dia melupakan bahwa jatuhnya sehelai daun dari pohon pun sudah diatur oleh Tuhan.
“Rafli sudah mengkhianatiku,” ucap Adinda bermonolog.
Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menghubungi Rafli dan meminta penjelasan atas semuanya. Namun sayang laki-laki itu bak hilang ditelan bumi. Tak ada satu panggilan atau satu pesan pun yang terbalas.
Tidak hanya pada Rafli, Adinda sudah mencoba menghubungi beberapa teman atau saudara Rafli yang masih dikenalnya. Namun sayang semua itu tetap tak menunjukkan hasil. Tidak ada titik terang tentang keberadaan Rafli. Sikap Rafli yang seolah melarikan diri semakin memperkuat dugaan Adinda bahwa Rafli adalah pelakunya.
“Dia melarikan diri setelah membuat seorang perempuan tak suci lagi. Pengecut!” umpat Adinda mengingat perbuatan Rafli kepadanya.
Kini sehari-harinya Adinda hanya bisa meratapi diri. Rafli pergi dengan sangat tidak bertanggung jawab. Adinda kerap merasa tidak adil mengapa dia harus mendapatkan kejadian buruk itu pada saat dirinya akan menikah dengan Ardiaz tak lama lagi.
Sudah lama dia mengimpikan seorang laki-laki baik seperti Ardiaz untuk mengimami diri. Tapi saat sejengkal lagi mimpi itu hendak menjadi kenyataan, semua justru hancur berantakan hanya dengan satu kejadian.
Sebenarnya tidak ada yang tahu tentang kejadian itu selain Adinda sendiri. Tidak orang tua Adinda, tidak juga Ardiaz dan keluarganya. Sebenarnya Adinda bisa saja terus merahasiakan aib itu hingga pernikahan mereka selesai. Namun sayangnya dia merasa tidak tega membohongi dan mengkhianati laki-laki sebaik Ardiaz.
“Ini tidak adil untuk Mas Ardiaz. Aku tidak bisa mengawali hubungan suci ini dengan kebohongan. Bagaimana pun juga Mas Ardiaz berhak tahu perempuan seperti apa yang akan dia nikahi nantinya,” ujar Adinda. Pikirannya bingung menimbang dua hal.
Dia tahu benar apa resikonya jika dia berkata jujur pada Ardiaz. Dia harus siap jika pernikahan mereka dibatalkan dan dia akan kehilangan Ardiaz mungkin untuk selamanya. Tidak hanya kehilangan mungkin juga kebencian Ardiaz yang akan dia dapatkan. Tapi di sisi lain dia merasa kejujuran adalah langkah yang tepat.
Jika pun dia terus menyembunyikan semuanya, pada akhirnya Ardiaz akan tahu setelah pernikahan mereka. Mungkin saat itu hubungan mereka sudah resmi sebagai suami istri. Tapi jika ternyata Ardiaz kecewa dan tidak bisa menerimanya, maka rumah tangga mereka hanya akan menjadi seperti neraka nantinya.
Setelah meneguhkan tekadnya, Adinda pun memutuskan untuk jujur pada calon suaminya. Dia berniat untuk menghubungi Ardiaz. Bahkan kalau perlu dia akan mendatangi laki-laki itu secara langsung. Dia akan meminta maaf dan menjelaskan semuanya.
Adinda sudah pasrah akan hasil akhirnya. Dia hanya tidak ingin menyakiti hati Ardiaz dengan kebohongan yang besar. Setelah menyusun tekad, Adinda pun mulai memikirkan waktu yang tepat. Waktu ketika dia sudah memiliki keberanian untuk mengungkapkan.
“Ya Allah…sekarang aku pasrahkan semuanya pada-Mu. Sungguh aku sudah kehilangan harap untuk sekarang,” keluh Adinda sebelum pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Sesaat kemudian terdengar panggilan ibunya yang mengajak untuk makan malam.
Salma bukannya tidak bisa melihat perubahan sikap putrinya beberapa hari belakangan. Dia juga pernah menyampaikan kekhawatirannya itu pada sang suami. Namun seperti biasa Ahyan lebih bersikap tenang dan mengurai kecemasan istrinya.
“Tidak perlu dipikirkan. Wajar saja jika sikap Adin sedikit aneh. Sebentar lagi dia akan menikah dan statusnya akan berubah. Mungkin ini demam sebelum pernikahan. Bukankah dulu kau juga merasa gugup saat akan menikah denganku?” ujar Ahyan malah setengah menggoda.
“Ini beda, Pa. Insting seorang ibu itu sangat kuat. Mama merasa apa yang dialami Adinda bukan sekedar kegugupan menjelang hari pernikahan. Seperti ada hal lain dia sembunyikan. Bahkan mama juga pernah mendapati dia habis menangis. Mama khawatir terjadi sesuatu yang buruk, Pa” keluh Salma.
“Mama, jaga ucapan ya. Kalau ada malaikat lewat dan mengamini bagaimana? Mama mau sesuatu yang buruk benar-benar terjadi pada putri kita?” kata Ahyan membuat Salma sontak menggeleng dengan cepat.
“Ya sudah. Cukup berprasangka baik saja pada takdir Allah. Allah lebih tahu yang terbaik untuk semuanya,” hibur Ahyan hanya disambut anggukan kecil oleh Salma. Dia menuruti perkataan sang suami dan menganggap pikirannya saja yang terlalu khawatir berlebihan. Mereka pun mengambil posisi lebih dulu dan menunggu Adinda di meja makan.
Setibanya di rumah sakit, Adinda langsung menemui mertuanya. Hani dan Hairi cukup terkejut dengan kedatangan Adinda yang tiba-tiba. Apalagi mereka melihat Adinda kembali ditemani oleh Rasya. Ada perasaan tak suka yang Hani pendam dalam hatinya ketika melihat menantunya pergi bersama laki-laki lain.“Lho Adinda kok bisa datang ke sini? Sama Pak Ahyan?” sapa Hairi ketika Adinda menyalami mereka.“Iya, Pa. Adin ingin menjenguk Mas Ardiaz. Adin diantar teman,” jawab Adinda.“Bayimu bagaimana, Sayang? Maaf kami belum sempat menjenguknya sama sekali. Lagi pula seharusnya kamu tidak bepergian jauh dalam masa pemulihan seperti ini,” ujar Hani. Dia berusaha untuk menyampingkan rasa tidak sukanya pada Rasya.“Tidak masalah, Ma. Aku juga mengerti kondisinya. Bayiku aku tinggalkan bersama mama di rumah,” jawab Adinda.“Bagaimana keadaan Mas Ardiaz?” tanya Adinda langsung pada intinya.Adinda sudah mendengar semuanya dari penuturan Rasya. Tapi dia ingin mendengar jawaban langsung dari kedua mertua
“Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang perkembangan kondisi Ardiaz?” tanya Rasya langsung disambut gelengan cepat oleh Adinda.“Maksudnya setiap hari saya memang mendapat kabar tentang Mas Ardiaz dari keluarga mertua saya. Tapi sejujurnya saya merasa ada yang aneh dan sedang mereka sembunyikan dari saya,” kata Adinda.Rasya tampak menghela napas sejenak. Dia sudah menebak jika pihak keluarga tidak memberitahu Adinda dengan jujur. Dia bisa maklum karena mungkin kondisi Adinda masih dalam proses pemulihan pasca melahirkan.“Jadi kamu tidak tahu kalau Ardiaz akan dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri?”“Apa?” ujar Adinda jelas merasa syok. Dia tidak pernah mendengar apa pun tentang hal itu.Rasya mengerti kebingungan di wajah Adinda. Dia pun menjelaskan seperti informasi yang dia dapat dari orang suruhannya. Ardiaz sudah dioperasi berkali-kali namun belum juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dokter di rumah sakit itu sudah angkat tangan dan memberi rujukan agar Ardiaz dip
“Mas Rasya pasti hanya bercanda. Semua itu tidak mungkin benar,” elak Adinda.“Saya serius, Adinda. Saya adalah ayah kandung dari bayi ini,” tegas Rasya. Dia sudah tahu bahwa Adinda tidak akan percaya begitu saja dengan perkataannya.“Tidak, Mas. Mohon maaf jika kesannya ini terlalu vulgar. Tapi saya tidak pernah tidur dengan Mas Rasya jadi bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Mengenai anak ini, mungkin Mas Rasya tahu dari Alvia kalau dia bukanlah anak kandung saya dengan Mas Ardiaz. Tapi saya tahu betul siapa laki-laki yang sudah menjebak dan menodai saya pada malam itu,” ucap Adinda dengan nada bergetar pada ujung kalimatnya. Hatinya masih terasa nyeri setiap kali mengingat malam naas yang dia alami.“Hotel Gardenia kamar nomor 304.”“Apa? Kenapa Mas Rasya bisa tahu tempat itu?” ujar Adinda dengan perasaan yang semakin melesak tak karuan.“Karena saya adalah pelakunya, Adinda. Saya yang sudah merenggut kesucianmu malam itu,” jawab Rasya mengakui segala rahasia dan beban yang se
Doa-doa keluarga dan orang tercinta seolah tak bekerja. Hari demi hari kondisi Ardiaz semakin memburuk dan menunjukkan penurunan. Orang tuanya khawatir berkepanjangan. Kondisi genting itu menyebabkan mereka tidak terlalu peduli pada Adinda dan bayinya yang baru saja dilahirkan.Perasaan Adinda pun tak jauh berbeda. Dia dan bayinya sudah dipulangkan dari rumah sakit. Tapi setiap hari pikirannya hanya tertuju pada Ardiaz. Dia sedikit mengalami kesulitan menghadapi peran sebagai ibu baru tanpa adanya sang suami di sisinya.Adinda sangat butuh dukungan. Hal itu membuatnya semakin merindukan Ardiaz. Untung saja Adinda pulang ke rumah orang tuanya sehingga ada ayah ibu yang membantunya bergantian mengurus si kecil. Bahkan anak itu belum juga diberi nama karena Adinda tetap teguh masih ingin menunggu Ardiaz.Adinda belum diizinkan pergi jauh untuk menjenguk Ardiaz secara langsung. Dia masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan. Apalagi bayinya juga tidak bisa ditinggalkan dalam waktu ya
Adinda hanya saling pandangan Salma. Mereka cukup terkejut dengan permintaan Rasya yang ingin mengadzani anak pertama Adinda. Hening untuk beberapa saat. Tapi Salma langsung mengkondisikan situasi agar tidak terlalu canggung lebih lama.“Silahkan saja, Nak Rasya. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain yang bisa mengadzani si kecil,” ujar Salma memperbolehkan. Rasya tampak tersenyum senang. Dia melakukan peran pertamanya sebagai ayah kandung si bayi walau dua perempuan di hadapannya sama sekali tidak mengetahui.Adinda turut mendengarkan lantunan adzan dari Rasya. Meski bacaannya juga tak semerdu dan sebagus Ardiaz. Hati Adinda kembali terasa pilu mengingat kondisi suaminya. Dia benar-benar melahirkan tanpa didampingi oleh Ardiaz.Hati Adinda sedih karena bukan Ardiaz yang pertama kali menggendong dan mengadzani anak mereka. Tapi semua itu justru dilakukan oleh orang lain yang menurut Adinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Sebenarnya Adinda merasa keberatan dengan izin yang diberi
Sudah tiga hari Adinda berada di rumah orang tuanya. Hampir setiap lima kali sehari dia menghubungi mertuanya untuk bertanya perkembangan kondisi Ardiaz. Dia terlalu fokus memikirkan kondisi suaminya hingga melupakan keadaannya sendiri yang sudah mendekati waktu persalinan.Hari itu rencananya orang tua Adinda akan pergi menjenguk Ardiaz sebab mereka memang belum berkunjung sama sekali. Lokasi rumah sakit yang masih termasuk daerah luar kota menyulitkan mereka untuk pulang pergi. Sebenarnya Adinda ingin ikut, tapi sejak pagi badannya terasa kurang sehat. Akhirnya dia pasrah tetap di rumah.Hanya Ahyan yang akan pergi ke sana. Sementara Salma akan tetap di rumah menemani putrinya. Mereka tidak bisa meninggalkan Adinda sendirian. Salma hanya menitipkan salam dan permohonan maafnya untuk keluarga besan.Sejak habis subuh Adinda merasa sakit pinggang. Salma yang tahu keadaan itu menduga sebagai tanda-tanda kelahiran yang semakin dekat. Dia pun sibuk memasak dan memaksa putrinya untuk mak