“Apakah kamu sudah mendapatkan rekaman CCTVnya?” tanya pemuda yang masih duduk di kursi kebesarannya. Sementara laki-laki lain yang turut berada di ruangan itu langsung melangkah mendekat dengan tangan memegang laptop yang terbuka. Dia siap menunjukkan rekaman yang diinginkan oleh sang atasan.
“Itu adalah rekaman CCTV di Hotel Gardenia kamar nomor 304 pada hari kejadian. Bos bisa melihatnya sendiri,” ujar laki-laki itu setelah meletakkan laptopnya tepat di hadapan atasannya.
Tanpa membuang waktu lebih lama, gemetar tangan pemuda itu langsung menekan tombol untuk memutar isi rekaman. Dia bisa melihat segala adegan dalam ruangan persegi empat itu. Segala yang terjadi antara dirinya dengan perempuan yang bahkan tidak dia kenali dengan baik identitasnya.
Kedua mata laki-laki itu tak lepas memperhatikan tontonannya. Sesekali dia menelan ludah kasar dan menghembuskan napas berat jika mengingat kesalahan yang sudah dia lakukan. Terlebih saat melihat bagaimana sosok perempuan itu menangis histeris di depan cermin, hatinya semakin kalut disudutkan oleh rasa bersalah yang kian mendalam.
“Andre, apakah kamu sudah mengetahui identitas perempuan itu?” tanyanya setelah rekaman selesai diputar. Lebih tepatnya dia sengaja menghentikannya lebih cepat karena sudah tidak tega menyaksikan tangisan sang korban.
“Belum, Bos” jawab Andre.
“Kalau begitu sekarang tugas barumu adalah mencari informasi tentang perempuan itu. Temukan siapa dia, di mana tempat tinggalnya dan bagaimana kehidupannya,” titah laki-laki itu lagi.
“Tapi apa ini tidak terlalu berlebihan, Bos?” ujar Andre langsung mendapat tatapan tajam dari sang atasan. Laki-laki itu tidak menyukai penolakan.
“Maksud saya, mohon maaf kalau saya terlalu lancang, tapi apa yang sebenarnya ingin bos lakukan pada perempuan itu? Apa bos ingin bertanggung jawab padanya? Saya pikir semua kejadian buruk itu bisa dilupakan dan anggap saja sebagai ketidak sengajaan satu malam. Lagi pula kalian juga tidak saling mengenal jadi perempuan itu tidak akan menuntut apa pun.”
“Tutup mulutmu, Andre!” bentak laki-laki itu membuat Andre langsung bungkam.
“Memang benar apa yang terjadi adalah kesalahan satu malam. Tapi jika aku tidak bertanggung jawab, mungkin aku akan melakukan kesalahan untuk seumur hidupku. Bagaimana pun juga aku sudah merusak seseorang. Kamu tidak perlu banyak protes. Laksanakan saja perintahku dan segera selidiki tentang perempuan itu,” titahnya sekali lagi.
“Mohon maaf, Bos. Tapi bagaimana dengan Nona Alvia? Bukankah sudah ada dia dalam kehidupan anda?”
“Keluar dari ruanganku sekarang juga, Andre! Kau semakin banyak bicara dan membuatku pusing saja,” usirnya. Mendapat bentakan sekali lagi dari atasannya, laki-laki bernama Andre itu pun langsung keluar sesuai perintah.
Sementara laki-laki itu masih duduk bersandar di kursinya. Tangannya terulur memijat pelipis. Berharap pening kepalanya dapat sedikit dikurangi. Apalagi setelah mendengar nama Alvia, rasanya beban berat di kepalanya semakin bertambah hingga terasa ingin pecah.
Laki-laki itu memang sedang dilanda gelisah akibat kesalahan yang sudah tidak sengaja ia lakukan. Arrasya Alvarendra. Dia merupakan putra dari seorang pemilik salah satu perusahaan besar di kota itu. Walau hidup dengan gerlimang harta dan tahta, tapi untuk masalah pergaulan, Rasya dikenal sebagai orang yang bersih.
Karakter Rasya yang sudah banyak diketahui secara umum adalah sikapnya yang terkadang angkuh dan ambisius. Dia selalu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Meski begitu untuk masalah yang berkaitan dengan perempuan, dia tidak pernah ingin bermain-main.
Hal itu karena Rasya sangat menyayangi sang ibu yaitu Rehana. Baginya menyakiti perempuan sama saja menyakiti ibunya sendiri. Prinsip itulah yang membuat Rasya menjadi putra kebanggaan keluarga. Terlebih karena memang otak dan kemampuannya yang cemerlang dalam urusan bisnis. Bahkan Ardito Sanjaya, sang ayah, sudah tidak ragu menjadikan Rasya sebagai penggantinya untuk memimpin perusahaan.
Ketika merasa sudah memiliki rasa sayang pada seorang perempuan, Rasya pun tak segan untuk mengenalkannya pada keluarga dan meresmikan hubungan mereka. Itu sebabnya dia langsung memilih bertunangan dengan Alvia, gadis cantik dan sederhana yang berhasil merebut hatinya. Dia jatuh hati pada Alvia saat gadis itu menjadi relawan pada salah satu program CSR yang diselenggarakan oleh perusahaan milik ayahnya Rasya.
Selama ini kisah cinta mereka berjalan tanpa halang rintang yang berarti. Tak ada masalah dengan restu keluarga. Kedua orang tua Rasya bisa menerima Alvia dengan tangan terbuka walau pun gadis itu tidak berasal dari keluarga kaya seperti mereka.
Pada hakikatnya orang tua Rasya memang tidak terlalu memandang dari sisi kesetaraan materi dalam memilih calon pendamping untuk putranya. Sebab bagi mereka, hal yang terpenting adalah kebahagiaan Rasya. Oleh karena itu mereka memberi kebebasan bagi Rasya untuk menentukan pilihannya sendiri.
Tak peduli walau banyak rekan bisnis yang menawarkan putrinya sebagai pertukaran untuk sebuah kerja sama. Mereka percaya Rasya bisa memilih yang terbaik untuk dirinya. Ketika dikenalkan pada Alvia pun mereka langsung setuju karena bisa melihat sosok Alvia yang baik hati.
Sudah hampir dua tahun mereka bertunangan. Mereka berencana untuk menikah tapi masih menunggu kelulusan Alvia dari pendidikan jenjang magisternya. Rasya tidak menghalangi niat kekasihnya itu untuk berpendidikan tinggi. Dia bisa menunggu. Sejauh itu tidak ada masalah dan hubungan mereka berjalan baik-baik saja.
Namun pada suatu malam ketika menghadiri acara jamuan bisnis, tanpa sengaja Rasya melakukan kesalahan besar. Dia tidak tahu pasti bagaimana semuanya bisa terjadi. Dia tidak ingat detail kejadiannya. Hanya saja ketika membuka mata di pagi hari, dia merasa syok karena mendapati dirinya sedang memeluk seorang perempuan asing di kamar hotel. Itu pun dalam posisi tanpa sehelai pakaian yang melekat pada tubuh.
Waktu itu Rasya yang begitu panik langsung beringsut dari tempat tidur. Sementara perempuan yang membersamainya masih terlelap. Rasya tidak memperhatikan dengan jelas wajah perempuan itu lagi. Dia segera membenahi dirinya sendiri dan pergi dari tempat terkutuk itu sesegera mungkin. Seolah dia ingin melarikan diri dari kebenaran yang sedang ditunjukkan oleh takdir.
Selama dalam perjalanan pulang, pikirannya masih gelisah memikirkan apa yang sebenarnya sudah terjadi antara dirinya dan perempuan itu. Sesekali dia mengacak rambutnya yang frustasi. Dia tidak tahu siapa dan dari mana perempuan itu berasal. Dia juga tidak ingat sudah melakukan apa saja.
Berkali-kali dia berusaha menepis dugaan bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan. Dia membantah pikirannya sendiri yang mengatakan bahwa dia sudah melewati sebuah batasan. Tapi nyatanya, pertarungan itu dimenangkan oleh nuraninya.
Dia kemudian meminta asistennya yaitu Andre untuk mencari rekaman CCTV di kamar hotel yang ia tempati. Setelah melihat semuanya dengan jelas, Rasya semakin merutuki kesalahannya sendiri. Dia sudah menodai seorang perempuan yang tak bersalah.
Apalagi setelah menyaksikan tangisan perempuan dalam rekaman itu, dia tercekat karena seolah sudah menyalahi prinsipnya untuk tidak menyakiti perempuan. Dia bukan laki-laki pengecut yang tidak bertanggung jawab. Dia memikirkan segala konsekuensi yang mungkin harus dihadapi perempuan itu setelah kehilangan kehormatannya. Mungkin saja tidak akan ada laki-laki lain yang bersedia menjalin hubungan dengannya.
Tapi setelah kembali teringat tentang Alvia, kini pikiran Rasya semakin berkabut. Di satu sisi dia ingin bertanggung jawab karena sudah menghancurkan masa depan seseorang. Tapi di sisi lain dia memiliki Alvia yang sudah dia siapkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Laki-laki itu benar-benar kebingungan.
“Arghhh...apa yang harus aku lakukan sekarang? Bisakah aku tetap bertanggung jawab pada perempuan itu tanpa harus meninggalkan Alvia? Kenapa pula aku bisa melakukan kesalahan sebesar itu?” teriak Rasya sembari mengacak rambutnya karena frustasi.
“Tunggu dulu, anggap saja aku terlalu banyak minum hingga mabuk dan masuk ke salah satu kamar hotel. Tapi bagaimana dengan perempuan itu? Bagaimana dia bisa ada di sana juga? Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimnya?”
“Mungkin dengan mudahnya orang lain akan berkata, untuk apa mengejar setangkai bunga layu jika masih bisa mendapatkan bunga yang baru. Tapi aku tidak begitu. Bagaimana pun juga aku lah penyebab bunga itu menjadi layu dan aku berjanji akan mendapatkan bungaku itu. Setidaknya mungkin aku bisa membuatnya tidak terlalu menderita karena perbuatanku yang sudah merusaknya.”Rasya gelisah menanti kabar lanjutan dari Andre. Asistennya itu baru saja mengabari bahwa dia sudah menemukan identitas perempuan yang menjadi korban Rasya. Rasya pun segera memanggil Andre ke ruangannya.“Jadi katakan, siapa sebenarnya perempuan yang membersamaiku di hotel malam itu?” tanya Rasya sangat penasaran.“Saya sudah menyelidikinya, Bos. Perempuan itu bernama Adinda Dwi Ersalina. Dia bekerja sebagai marketing di salah satu perbankan. Dia adalah putri tunggal dari sepasang suami istri. Ayahnya mengalami kelumpuhan karena sebuah kecelakaan. Selama ini dia yang membantu roda perekonomian keluarga. Selain itu dia d
Hari itu Adinda dihubungi pihak butik terkait fitting baju pengantin untuk pernikahannya dengan Ardiaz. Hampir delapan puluh persen persiapan telah terlaksana. Hari demi hari yang terlewati juga semakin mengikis waktu hingga sampai pada hari yang seharusnya bahagia itu. Semua orang begitu bahagia dan tak sabar menantikan hari besar bagi dua keluarga. Tapi berbeda bagi Adinda yang dipenuhi dengan ketakutan dalam batinnya. Harapan terlaksananya akad nikah perlahan dia hapuskan dari angan. Belum tentu impiannya untuk menjadi istri Ardiaz akan menjadi kenyataan setelah kejujuran yang akan dia sampaikan. Setelah menimbang berkali-kali, Adinda memutuskan hari itu akan menyampaikan segalanya pada sang calon suami. Dia dan Ardiaz berjanji akan bertemu langsung di butik. Adinda berniat menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan kebenaran dirinya pada Ardiaz. Adinda bahkan tidak terlalu bersemangat untuk pergi ke sana. Dia takut dirinya belum benar-benar siap dengan kemungkinan buruk yang
Ardiaz menatap lekat perempuan bergamis abu-abu yang sedang terisak di hadapannya. Dia sadar butuh keberanian yang besar bagi Adinda untuk mengutarakan kejujuran seburuk itu pada laki-laki yang merupakan calon suaminya.Ardiaz bisa mengerti ketakutan Adinda. Hanya saja dia tidak menyangka jika ternyata pakaian longgar dan panjang itu bahkan tak mampu melindungi kehormatan calon istrinya. Sesungguhnya tanpa membutuhkan penjelasan dari Adinda, Ardiaz sudah bisa memahami bahwa semua itu terjadi tanpa keinginan dari Adinda sendiri.Ardiaz sudah cukup mengenal pribadi baik Adinda. Tapi tetap saja kali ini dia ingin mendengar cerita hingga kejadian naas itu menimpa Adinda. Ardiaz pun bertanya dengan hati-hati karena tak ingin semakin menyinggung perasaan Adinda yang jelas sedang terluka.“Bagaimana semua itu bisa terjadi padamu, Din?” tanya Ardiaz setelah memberikan jeda yang cukup lama bagi Adinda untuk mengurai tangisnya.“Aku tidak berniat untuk mengkhianatimu dengan sengaja, Mas. Maafka
“Gawat, Bos! Saya baru saja mendapat informasi terbaru mengenai perempuan bernama Adinda itu,” ujar Andre yang tiba-tiba datang dengan tergesa ke ruangan Rasya.Rasya yang sedang memeriksa beberapa berkas laporan pun mengalihkan perhatiannya. Entah mengapa selama beberapa waktu belakangan, topik Adinda menjadi sesuatu yang seolah tak ingin dia lewatkan. Dia memang memerintahkan Andre untuk selalu mengawasi perempuan yang merupakan korbannya itu.“Ada apa dengan perempuan itu? Apa dia frustasi dan ingin bunuh diri?” ujar Rasya menduga hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan oleh seorang korban pelecehan.“Bukan itu, Bos” elak Andre.“Lalu apa?”“Ternyata Nona Adinda sudah memiliki calon suami dan sebentar lagi mereka akan menikah.”“Apa?” ucap Rasya refleks.Laki-laki itu langsung terdiam begitu mendengar penuturan dari Andre. Entah mengapa ada gejolak tak nyaman saat mendengar tentang pernikahan Adinda. Walau tak mengenal Adinda dengan baik, tapi kejadian malam itu sudah membuat Ras
“Sekarang pengantinnya sudah siap. Wah...Mbak Adinda cantik sekali. Pasti Mas Ardiaz akan pangling melihatnya,” puji seorang perias pengantin yang membantu menyiapkan Adinda. Tarian jemarinya sudah menyulap Adinda bak ratu sehari. Adinda yang memang aslinya cantik dibuat semakin cantik.Adinda hanya menanggapi pujian itu dengan senyum datar. Dia tak begitu bersemangat menyongsong hari pernikahan karena keadaannya sudah berbeda. Setiap diamnya dipenuhi gelisah dan takut. Keraguan di hati menari-nari tanpa henti.Adinda menatap lekat dirinya di cermin. Binar kebahagiaan tak memancar di sana. Batinnya bermonolog tanpa ada seorang pun yang mampu memahaminya.“Awalnya aku adalah sebuah bunga yang indah tapi berduri. Aku tidak membiarkan seseorang menyentuh apalagi merenggut kelopakku dengan mudah. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apakah duriku sudah tidak lagi tajam hingga tak mampu menghalau tangan jahat yang ingin menghancurkan? Oh bahkan sekarang aku hanya seperti setangkai bunga layu ta
Malam itu Adinda mematung di dekat jendela kamarnya. Kini dia sudah tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Setelah resmi menjadi istri dari Ardiaz, sore harinya setelah acara selesai, Ardiaz langsung memboyong Adinda ke rumah pribadinya. Rumah yang memang disiapkan untuk dihuni mereka berdua.Ardiaz adalah laki-laki yang memiliki pemikiran dewasa. Sejak awal dia bertekad untuk hidup mandiri dan membangun rumah tangganya sendiri. Itu sebabnya dia memilih tinggal terpisah dari orang tua maupun mertuanya.Sebenarnya rencana awal Ardiaz tidak ingin langsung memisahkan Adinda secepat itu dari keluarganya. Namun kini kondisinya sudah berbeda. Dia berpikir keputusan untuk pindah rumah akan lebih baik jika segera dilakukan. Ardiaz tidak mau ada orang lain yang tahu tentang aib sang istri yang dia sembunyikan.Sejak masih berlangsungnya acara pernikahan saja Adinda sudah menunjukkan gelagat yang berbeda. Beban pikiran mungkin tak bisa ditutupinya. Beberapa kali ia mendapati Adinda melamun s
Hidup baru Ardiaz dan Adinda sudah dimulai. Mereka menjalani hari-hari bersama di rumah baru. Sudah satu minggu mereka resmi menjadi suami istri. Tapi sampai saat itu Adinda tetap tak juga memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri untuk menyerahkan diri pada Ardiaz. Semua upaya dia lakukan agar bisa menjadi istri yang baik. Dia menyiapkan segala kebutuhan Ardiaz setiap hari. Hanya saja untuk urusan ranjang, dia masih belum bisa memenuhi. Ardiaz rupanya juga sangat memahami. Setelah penolakan Adinda di malam pertama mereka, Ardiaz tidak pernah meminta hal itu lagi. Membahasnya pun tidak. Ardiaz seolah benar-benar berlapang dada menyikapi ketidak siapan istrinya. Namun sikap Ardiaz itu justru membuat Adinda tidak enak sendiri. Adinda mulai menyadari ada yang tidak normal dalam hubungan pernikahannya. Dia tidak mau ketakutan dan trauma masa lalu mempengaruhi rumah tangganya. Adinda berpikir dia harus berusaha untuk melawan rasa takutnya sendiri dan menjadi istri Ardiaz seutuhnya. “M
Setelah kejadian ketika Adinda menangis histeris malam itu, Ardiaz pun berpikir untuk mulai berkonsultasi dengan dokter atau psikolog. Dia tidak tega membiarkan istrinya terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bukan demi kepentingannya, semua dia lakukan semata demi membuat sang istri bisa hidup normal kembali.Meski begitu Ardiaz tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Bagaimana pun juga dia tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan dari Adinda. Oleh karena itu dia pun menyampaikan niatnya pada Adinda ketika mereka hendak sarapan bersama pada suatu pagi.“Setelah kejadian malam itu, aku berpikir untuk membawamu ke rumah sakit,” ujar Ardiaz membuat Adinda menghentikan aktivitasnya yang sibuk menata makanan di meja makan. Adinda menatap lekat pada Ardiaz.“Bagaimana pendapatmu?” imbuh Ardiaz merasa suasana di antara mereka mulai cukup tegang. Ardiaz sadar membicarakan masalah itu harus dilakukan dengan hati-hati agar Adinda tidak tersinggung atau pun salah paham.Adinda hanya diam.