“Pamali lho, Din. Calon pengantin sedang dipingit kok mau keluar rumah,” tegur Salma, ibu dari Adinda. Bukannya mendengar nasihat dari sang ibu, Adin justru melempar senyumnya dengan tenang.
“Insyaallah tidak akan terjadi apa-apa, Ma. Adin hanya keluar sebentar karena ada keperluan,” bantah Adinda tak mau menuruti pemikiran sang ibu.
“Tapi…”
“Apa yang dikatakan putri kita itu benar, Ma. Jangan terlalu khawatir. Tidak perlu terbelenggu dengan pemikiran-pemikiran seperti itu. Perbanyaklah berdoa agar semuanya baik-baik saja,” sambung Ahyan, ayahnya Adinda. Dia menghampiri istrinya dengan kursi roda dan menengahi perbincangan ibu dan anak itu. Senyum semakin mengembang di wajah Adinda lantaran merasa memiliki dukungan dari ayahnya.
“Baiklah kalau begitu,” jawab Salma mengalah. “Kamu boleh keluar. Tapi ingat! Jangan terlalu lama,” imbuhnya memperingati.
“Iya, Mama sayang,” balas Adinda sembari menaruh sebelah tangannya di kepala dengan posisi hormat. “Kalau begitu Adinda pamit dulu ya. Assalamualaikum,” ucap gadis itu sembari menyalami ayah dan ibunya secara bergantian.
Setelah mendapat izin, Adinda pun melenggang keluar dari rumahnya. Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana dan untuk tujuan apa dia pergi. Dia merahasiakan perihal janji pertemuannya dengan Rafli, sang mantan kekasih.
Bukan bermaksud untuk membohongi semua orang. Adinda hanya tak ingin ada kesalah pahaman jika dia berbicara jujur tentang pertemuannya dengan Rafli. Bagaimana pun juga sebentar lagi dia akan menikah dan Rafli adalah mantan kekasihnya di masa lalu. Tak mudah bagi orang lain untuk tidak curiga pada pertemuan mereka.
Padahal bagi Adinda, dia memenuhi ajakan Rafli hanya untuk menyelesaikan semuanya dengan cara yang baik. Dia ingin memutus semua rantai masa lalu yang mungkin masih tersisa antara dirinya dengan Rafli. Dia akan meminta maaf dengan damai atas semua kesalahan yang mungkin terjadi selama mereka masih menjalin hubungan. Sebab setelah nanti diperistri oleh Ardiaz, dia benar-benar ingin membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Adinda pergi dengan mengendarai taksi. Dia merogoh ponsel di dalam tasnya dan memastikan alamat café itu sekali lagi. Café yang akan menjadi tempat pertemuannya dengan Rafli. Dia pun memberitahukan alamat tersebut pada sopir dan menikmati perjalanan dengan tenang. Sama sekali tak ada firasat buruk karena dia terlalu meyakini niat baiknya.
Setelah sekitar dua puluh menit menempuh perjalanan, Adinda akhirnya sampai di tempat yang dituju. Baru saja melangkahkan kaki turun dari mobil, dia sudah mendapatkan notifikasi pesan dari Rafli. Rafli mengabarkan bahwa dia sudah menunggu di dalam lengkap dengan nomor meja yang dia pesan.
Sesaat setelah membayar ongkos, Adinda pun masuk dan mencari sosok pria itu. Dia melangkah mendekat saat melihat seseorang berkemeja biru yang dia kenali sebagai Rafli.
“Assalamuaikum. Maaf, sudah lama menunggu?” sapa Adinda membuat wajah Rafli terdongak dan memperhatikan gadis itu dengan baik.
“Eh, waalaikumsalam. Tidak apa. Ayo silahkan duduk,” balas Rafli berusaha menunjukkan sikap ramah. Dia ingin Adinda benar-benar percaya dengan niat baiknya. Dia tidak mau jika gadis di hadapannya itu sampai merasa curiga dengan tujuan yang sebenarnya.
“Gila, kenapa Adinda terlihat semakin cantik saja,” gerutunya dalam hati dengan posisi masih menatap lekat wajah Adinda. “Sayang sekali sebentar lagi dia akan menjadi milik laki-laki lain. Tapi tidak apa-apa, jika bukan aku yang bisa memilikinya, setidaknya aku masih bisa mengambil keuntungan darinya,” batin Rafli sembari tersenyum licik.
“Bagaimana kabarmu, Adinda?” tanya Rafli mengawali percakapan.
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana?” balas Adinda.
“Tidak cukup baik setelah mendengar tentang rencana pernikahanmu. Padahal tadinya aku sangat ingin kita bisa kembali seperti dulu lagi,” jawab Rafli.
“Tolong jangan seperti itu, Rafli. Ikhlaskan semua yang sudah terjadi. Hubungan kita sudah berakhir. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan berjodoh. Tapi aku doakan semoga kamu mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dari pada aku,” ucap Adinda memberi pengertian.
“Ya terima kasih,” balas Rafli datar seolah menunjukkan kekecewaannya pada keputusan Adinda.
“Meskipun kita tidak bisa bersama lagi sebagai sepasang kekasih, tapi aku harap hubungan kita masih bisa berjalan dengan baik. Setidaknya kita masih bisa berteman bukan?” kata Adinda sembari melempar senyum.
“Mungkin begitu prinsipmu, Adinda. Tapi aku tidak bisa berteman dengan seseorang yang sudah membuatku kecewa. Aku tidak bisa berdamai dengan penolakan,” ujar Rafli tertahan dalam benaknya. Dia tersenyum sinis.
Adinda tidak tahu seberapa berbahayanya Rafli yang sekarang. Sudah sekitar dua tahun sejak mereka berpisah. Sejak saat itu Adinda tidak tahu hal apa saja yang sudah terjadi dalam hidup Rafli. Dia juga tidak tahu bahwa sosok Rafli sudah tidak seperti yang dulu dia kenal.
“Baiklah. Aku hargai keputusanmu dan aku tidak akan memaksa calon pengantin ini untuk melarikan diri dari calon suaminya,” ujar Rafli setengah bercanda.
“Dari pada terus membicarakan masalah itu, lebih baik kita minum saja. Lihatlah! Aku sudah memesan minuman kesukaanmu. Aku masih ingat hal itu,” sambung Rafli. Dia kemudian mengangkat gelasnya dengan isyarat ajakan pada Adinda.
Adinda pun mengangguk tersenyum dan meraih segelas minuman yang sudah tersaji di hadapannya. Tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun, dia langsung menenggak minuman itu hingga tersisa setengah. Selanjutnya, Rafli yang lebih banyak mendominasi percakapan.
Laki-laki itu bercerita sekilas tentang kehidupannya semenjak putus dari Adinda. Sedangkan Adinda sama sekali tidak menangkap dengan baik semua kisah itu. Dia mulai merasakan tidak nyaman pada tubuhnya. Kepalanya terasa berdenyut, pandangannya memburam dan suara Rafli yang masih bercerita juga tidak terdengar dengan jelas.
“Apa yang terjadi padaku? Kenapa tiba-tiba seperti ini?” tanya Adinda dalam benaknya. Dia merasa kepalanya semakin berat dan kemampuan penglihatannya semakin menurun. Sesaat kemudian, semua pun hilang dari pandangan.
***
Gadis itu menggeliat tak nyaman. Tubuhnya terasa remuk. Kelopak matanya masih terasa berat untuk terbuka. Perlahan dia mengusap kepalanya yang masih terasa sedikit berdenyut. Namun saat itu juga ia tersentak kaget karena mendapati jilbabnya sudah terlepas.
Sontak Adinda terbangun dari pembaringannya. Dia menatap sekeliling ruangan yang tidak ia kenali. Tidak ada seorang pun di sana. Namun yang semakin membuatnya tercekat adalah ketika mendapati fakta bahwa kini tubuhnya sudah tak terbalut sehelai benang pun. Hanya ada selimut yang menutupi.
Adinda semakin gusar. Tangannya gemetar meraba rambut panjangnya yang sudah tergerai. Dia sempat melihat ke arah lantai di mana terdapat pakaiannya tercecer tak beraturan. Hatinya semakin berdenyut.
Dia meremas selimut yang menjadi pegangannya. Meski tak pernah mengalami hal itu sebelumnya, tapi sebagai perempuan dewasa, sedikit banyak Adinda bisa menerka apa yang sebenarnya sudah terjadi. Walau dia berharap bahwa dugaannya itu adalah sesuatu yang salah.
Baru ingin beranjak dari posisinya, Adinda merasakan nyeri pada bagian tubuhnya. Perlahan dia menyingkap selimut dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati noda darah di tempat tidur. Seketika wajah perempuan itu langsung memucat.
“Astaghfirullah…apa yang sebenarnya sudah terjadi padaku?” teriaknya sembari membekap mulut. Sekarang perasaannya benar-benar kalut.
“Apa mungkin aku sudah….Tidak! Itu tidak mungkin terjadi,” ucapnya bermonolog dan mengelak dugaannya sendiri. Dia menyurai helaian rambut panjangnya ke belakang. Adinda masih berusaha mengelak kebenaran dan mencoba untuk bersikap tenang.
Perlahan dia bangkit dari tempat tidur. Masih dengan tubuh berbalut selimut, dia melangkah perlahan menuju meja rias. Adinda semakin tercekat saat melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Rambutnya terurai berantakan. Bahkan di leher dan beberapa bagian lainnya terdapat bekas merah keunguan.
Seketika itu juga pertahanan Adinda luruh. Tubuhnya meluncur bebas ke lantai yang dingin. Air matanya sudah tak terbendung. Sesak di dadanya tak dapat dia gambarkan. Seumur hidup dia tidak pernah bermimpi akan mengalami hal seburuk itu.
“Siapa yang sudah tega melakukan semua ini padaku? Laki-laki mana yang sudah sejahat ini dan apa kesalahanku padanya?” ucap Adinda dengan tangisnya yang semakin menderas. Bahunya berguncang tak mampu dia sembunyikan. Dia frustasi menghadapi kenyataan nasib yang begitu menyakitkan.
Teriakan, penyesalan, kemarahan, tangisan. Semuanya Adinda luapkan di kamar kosong itu. Sudah tak terhitung berapa banyak debet air mata yang ia keluarkan. Dia hanya berusaha mengurangi beban hatinya yang begitu terpukul. Dia tidak menyadari jika sedari tadi CCTV ruangan yang masih menyala sudah merekam semua gerak-geriknya.
Setibanya di rumah sakit, Adinda langsung menemui mertuanya. Hani dan Hairi cukup terkejut dengan kedatangan Adinda yang tiba-tiba. Apalagi mereka melihat Adinda kembali ditemani oleh Rasya. Ada perasaan tak suka yang Hani pendam dalam hatinya ketika melihat menantunya pergi bersama laki-laki lain.“Lho Adinda kok bisa datang ke sini? Sama Pak Ahyan?” sapa Hairi ketika Adinda menyalami mereka.“Iya, Pa. Adin ingin menjenguk Mas Ardiaz. Adin diantar teman,” jawab Adinda.“Bayimu bagaimana, Sayang? Maaf kami belum sempat menjenguknya sama sekali. Lagi pula seharusnya kamu tidak bepergian jauh dalam masa pemulihan seperti ini,” ujar Hani. Dia berusaha untuk menyampingkan rasa tidak sukanya pada Rasya.“Tidak masalah, Ma. Aku juga mengerti kondisinya. Bayiku aku tinggalkan bersama mama di rumah,” jawab Adinda.“Bagaimana keadaan Mas Ardiaz?” tanya Adinda langsung pada intinya.Adinda sudah mendengar semuanya dari penuturan Rasya. Tapi dia ingin mendengar jawaban langsung dari kedua mertua
“Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang perkembangan kondisi Ardiaz?” tanya Rasya langsung disambut gelengan cepat oleh Adinda.“Maksudnya setiap hari saya memang mendapat kabar tentang Mas Ardiaz dari keluarga mertua saya. Tapi sejujurnya saya merasa ada yang aneh dan sedang mereka sembunyikan dari saya,” kata Adinda.Rasya tampak menghela napas sejenak. Dia sudah menebak jika pihak keluarga tidak memberitahu Adinda dengan jujur. Dia bisa maklum karena mungkin kondisi Adinda masih dalam proses pemulihan pasca melahirkan.“Jadi kamu tidak tahu kalau Ardiaz akan dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri?”“Apa?” ujar Adinda jelas merasa syok. Dia tidak pernah mendengar apa pun tentang hal itu.Rasya mengerti kebingungan di wajah Adinda. Dia pun menjelaskan seperti informasi yang dia dapat dari orang suruhannya. Ardiaz sudah dioperasi berkali-kali namun belum juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dokter di rumah sakit itu sudah angkat tangan dan memberi rujukan agar Ardiaz dip
“Mas Rasya pasti hanya bercanda. Semua itu tidak mungkin benar,” elak Adinda.“Saya serius, Adinda. Saya adalah ayah kandung dari bayi ini,” tegas Rasya. Dia sudah tahu bahwa Adinda tidak akan percaya begitu saja dengan perkataannya.“Tidak, Mas. Mohon maaf jika kesannya ini terlalu vulgar. Tapi saya tidak pernah tidur dengan Mas Rasya jadi bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Mengenai anak ini, mungkin Mas Rasya tahu dari Alvia kalau dia bukanlah anak kandung saya dengan Mas Ardiaz. Tapi saya tahu betul siapa laki-laki yang sudah menjebak dan menodai saya pada malam itu,” ucap Adinda dengan nada bergetar pada ujung kalimatnya. Hatinya masih terasa nyeri setiap kali mengingat malam naas yang dia alami.“Hotel Gardenia kamar nomor 304.”“Apa? Kenapa Mas Rasya bisa tahu tempat itu?” ujar Adinda dengan perasaan yang semakin melesak tak karuan.“Karena saya adalah pelakunya, Adinda. Saya yang sudah merenggut kesucianmu malam itu,” jawab Rasya mengakui segala rahasia dan beban yang se
Doa-doa keluarga dan orang tercinta seolah tak bekerja. Hari demi hari kondisi Ardiaz semakin memburuk dan menunjukkan penurunan. Orang tuanya khawatir berkepanjangan. Kondisi genting itu menyebabkan mereka tidak terlalu peduli pada Adinda dan bayinya yang baru saja dilahirkan.Perasaan Adinda pun tak jauh berbeda. Dia dan bayinya sudah dipulangkan dari rumah sakit. Tapi setiap hari pikirannya hanya tertuju pada Ardiaz. Dia sedikit mengalami kesulitan menghadapi peran sebagai ibu baru tanpa adanya sang suami di sisinya.Adinda sangat butuh dukungan. Hal itu membuatnya semakin merindukan Ardiaz. Untung saja Adinda pulang ke rumah orang tuanya sehingga ada ayah ibu yang membantunya bergantian mengurus si kecil. Bahkan anak itu belum juga diberi nama karena Adinda tetap teguh masih ingin menunggu Ardiaz.Adinda belum diizinkan pergi jauh untuk menjenguk Ardiaz secara langsung. Dia masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan. Apalagi bayinya juga tidak bisa ditinggalkan dalam waktu ya
Adinda hanya saling pandangan Salma. Mereka cukup terkejut dengan permintaan Rasya yang ingin mengadzani anak pertama Adinda. Hening untuk beberapa saat. Tapi Salma langsung mengkondisikan situasi agar tidak terlalu canggung lebih lama.“Silahkan saja, Nak Rasya. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain yang bisa mengadzani si kecil,” ujar Salma memperbolehkan. Rasya tampak tersenyum senang. Dia melakukan peran pertamanya sebagai ayah kandung si bayi walau dua perempuan di hadapannya sama sekali tidak mengetahui.Adinda turut mendengarkan lantunan adzan dari Rasya. Meski bacaannya juga tak semerdu dan sebagus Ardiaz. Hati Adinda kembali terasa pilu mengingat kondisi suaminya. Dia benar-benar melahirkan tanpa didampingi oleh Ardiaz.Hati Adinda sedih karena bukan Ardiaz yang pertama kali menggendong dan mengadzani anak mereka. Tapi semua itu justru dilakukan oleh orang lain yang menurut Adinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Sebenarnya Adinda merasa keberatan dengan izin yang diberi
Sudah tiga hari Adinda berada di rumah orang tuanya. Hampir setiap lima kali sehari dia menghubungi mertuanya untuk bertanya perkembangan kondisi Ardiaz. Dia terlalu fokus memikirkan kondisi suaminya hingga melupakan keadaannya sendiri yang sudah mendekati waktu persalinan.Hari itu rencananya orang tua Adinda akan pergi menjenguk Ardiaz sebab mereka memang belum berkunjung sama sekali. Lokasi rumah sakit yang masih termasuk daerah luar kota menyulitkan mereka untuk pulang pergi. Sebenarnya Adinda ingin ikut, tapi sejak pagi badannya terasa kurang sehat. Akhirnya dia pasrah tetap di rumah.Hanya Ahyan yang akan pergi ke sana. Sementara Salma akan tetap di rumah menemani putrinya. Mereka tidak bisa meninggalkan Adinda sendirian. Salma hanya menitipkan salam dan permohonan maafnya untuk keluarga besan.Sejak habis subuh Adinda merasa sakit pinggang. Salma yang tahu keadaan itu menduga sebagai tanda-tanda kelahiran yang semakin dekat. Dia pun sibuk memasak dan memaksa putrinya untuk mak