Pertemuan dengan Adinda membuat Alvia merasa nyaman. Bahkan tanpa sungkan dia menceritakan masalah yang sedang ia hadapi pada pertemuan pertama mereka. Setelah perkenalan singkat di koridor rumah sakit, dua perempuan itu berbincang santai sembari duduk di sekitaran taman samping rumah sakit.“Tunanganku mengalami koma karena sebuah kecelakaan. Padahal tadinya kami juga sudah berencana untuk menikah setelah kuliah magisterku selesai. Tapi sekarang entahlah. Aku hanya berharap semoga dia bisa sembuh dan kembali pulih seperti sebelumnya. Aku sangat mencintai dia,” ungkap Alvia menceritakan tentang sosok Rasya.“Aku mengerti kesedihan dan kecemasanmu. Kita doakan saja semoga tunanganmu baik-baik saja. Tapi kalau boleh tahu, apa yang membuatmu begitu bersedih hingga menangis seperti tadi?” tanya Adinda.Entah mengapa Aldinda merasa sangat peduli pada Alvia yang baru saja dia temui. Adinda tahu semua orang datang ke rumah sakit dengan kecemasan masing-masing. Rumah sakit adalah tempat yang
Persetujuan dari Ardiaz membuat Adinda langsung menghubungi kembali Dokter Sylva. Mereka pun mengagendakan proses psikoterapi. Adinda berharap terapi itu bisa menjadi jalan baginya untuk mendapatkan kesembuhan dan bisa hidup normal kembali. Dia merasa tidak enak hati membiarkan Ardiaz terus menunggu kesiapannya.Setelah jadwal ditetapkan, Adinda pun harus sering datang ke rumah sakit. Dia harus membagi waktu antara mengurus rumah, melakukan terapi dan juga pekerjaannya yang mulai habis masa cuti. Adinda memang hanya mengambil cuti pernikahan namun tidak berhenti dari pekerjaannya sebagai marketing bank.Pada suatu hari, Adinda datang untuk menemui Dokter Sylva. Itu adalah sesi terapinya yang pertama. Dia pergi ke rumah sakit tanpa ditemani oleh Ardiaz. Ardiaz sedang sibuk dengan pekerjaannya dan Adinda tidak mau terus menerus merepotkan laki-laki itu dengan kondisinya.Dokter Sylva menyambut hangat kedatangan Adinda. Dia menciptakan suasana yang dapat membuat Adinda menjadi lebih rile
Alvia tercengang mendengar pengakuan Adinda. Dia menatap lekat tubuh perempuan bergamis yang duduk di sampingnya. Memperhatikannya dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sangat tidak menyangka perempuan yang tampak baik-baik seperti Adinda ternyata harus kehilangan kehormatannya dengan cara yang tidak pantas.Adinda paham dengan sikap Alvia yang mulai memperhatikannya dengan cara yang tak biasa. Dia hanya tersenyum getir.“Aku tahu kamu pasti sangat terkejut mendengarnya. Tapi memang seperti itulah kebenaranku,” ujar Adinda lemah.Tanpa mengucapkan kata apa pun lagi, Alvia justru merangkul Adinda secara tiba-tiba. Dia bisa mengerti beban berat yang Adinda alami. Apalagi melihat sendiri perempuan itu sampai harus melakukan terapi dengan psikolog. Dia berpikir pasti Adinda sangat tertekan.“Apa suamimu tahu tentang hal ini?” tanya Alvia penasaran mengingat Adinda menuturkan bahwa mereka baru saja menikah.“Iya. Suamiku tahu segalanya. Sebenarnya tragedi itu terjadi men
Menuruti saran dari Dokter Sylva, Adinda dan Ardiaz pun mulai lebih sering menyempatkan waktu khusus berdua di tengah kesibukan mereka. Apalagi Adinda juga sudah mulai masuk kerja dan Ardiaz sibuk dengan bisnis restonya.Ketika tak memiliki waktu untuk datang ke rumah sakit, Adinda hanya berkonsultasi melalui telepon dengan Dokter Sylva. Dokter itu ikut senang mendengar perkembangan baik yang Adinda ceritakan dari hubungannya dengan sang suami. Dokter Sylva menyarankan agar pembiasaan-pembiasaan itu terus dilakukan.“Tidak apa-apa meskipun masih gagal. Terus berusaha lakukan. Pelan-pelan saja. Minta pak suami untuk memahami juga agar tidak terburu-buru menginginkan lebih,” ujar Dokter Sylva terdengar sedikit menahan tawa saat berbicara lewat telepon dengan Adinda.Hal itu membuat Adinda semakin dicekam oleh rasa malu. Dia terpaksa membagi aktivitas intimnya dengan sang suami pada orang lain. Semua demi kesembuhan.Adinda pun merasa ketakutannya sudah tidak sebesar dulu setiap kali dek
Setelah memutuskan untuk menunda penelitian tugas akhirnya, Alvia hanya menghabiskan hari-harinya dengan menunggui Rasya di rumah sakit. Dia merawat kekasihnya itu dengan sepenuh hati. Tak pernah meninggalkan jika bukan karena ada hal yang benar-benar mendesak.Dia tidak ingin disalahkan lagi jika terjadi sesuatu pada Rasya. Gara-gara kelalaiannya satu kali saja, Rehana masih bersikap acuh padanya. Meski bertemu dan sama-sama menunggui Rasya di rumah sakit, terkadang Rehana bahkan tak sedikit pun menyapa Alvia. Alvia merasa diasingkan tapi tetap berusaha bersabar.Sementara itu kondisi Rasya sendiri tidak menunjukkan adanya perubahan. Laki-laki itu masih tetap memejamkan mata. Dokter pernah menyarankan agar pihak keluarga atau yang menunggui sering-sering mengajak Rasya berkomunikasi atau memberikan rangsangan.Menurut dokter, dalam kondisi koma seseorang masih bisa mendengar sekitarnya hanya saja tidak bisa memberikan respon. Mendengar saran dokter, Alvia pun sering berbicara sendiri
Adinda lebih banyak melamun setelah mengunjungi rumah ibu mertuanya. Dia tidak banyak bicara sepanjang perjalanan pulang dari sana. Bahkan pada malam harinya, dia tiba-tiba menangis dan sukses membuat Ardiaz kebingungan.Ardiaz tidak mengerti mengapa Adinda tiba-tiba berderai air mata. Perempuan itu duduk di tepian ranjang sembari terisak dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Sementara Ardiaz berlutut di hadapannya melayangkan pertanyaan-pertanyaan terkait penyebab kesedihan Adinda.“Apa yang sebenarnya membuatmu menangis seperti ini, Din? Apa ada masalah? Ayo ceritakanlah padaku! Aku tidak akan mengerti jika kamu tidak bicara,” bujuk Ardiaz setelah semua pertanyaannya hanya dijawab dengan gelengan kepala. Dia salah menebak. Adinda juga mengatakan bahwa Ardiaz tidak salah apa-apa.Sejenak laki-laki itu terdiam dan memikirkan kegiatan mereka selama seharian itu. Dia mengingat-ingat kembali hal apa yang mungkin bisa memicu kesedihan seorang perempuan. Setelah berpikir cukup lama, Ar
“Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud untuk mengecewakanmu,” ujar Adinda dengan kepala tertunduk setelah keluar dari kamar mandi. Dia menghampiri Ardiaz dengan rasa bersalah yang mendalam.“Tidak usah pikirkan itu, Din. Sekarang bagaimana keadaanmu?” tanya Ardiaz justru tampak khawatir.“Entahlah. Aku merasa perutku tidak nyaman,” keluh Adinda.“Apa mungkin kamu salah makan?” tebak Ardiaz.“Aku tidak makan aneh-aneh kok, Mas” bantah Adinda.“Mungkin saja kelelahan karena pekerjaan. Besok mas antar ke rumah sakit ya. Kita periksa ke dokter,” ajak Ardiaz.“Tidak usah, Mas. Biar aku pergi sendiri saja. Lagi pula aku ingin menemui Dokter Sylva. Ada yang harus aku bicarakan dengannya,” tolak Adinda. Ardiaz tidak memaksa keinginan Adinda. Dia sudah mengerti bahwa istrinya itu tidak ingin ditemani setiap kali menemui Dokter Sylva.“Baiklah kalau memang kamu ingin pergi sendiri. Jaga diri baik-baik ya,” pesan Ardiaz yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Adinda.Setelah kegagalan mereguk surga dun
Adinda begitu terkejut mendapatkan pertanyaan dari perempuan paruh baya yang tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan itu. Adinda tidak mengenalinya tapi dia bisa menebak bahwa perempuan itu pasti keluarga pasien. Dia merasa tidak nyaman karena kedapatan menggunakan fasilitas kamar tanpa meminta izin sebelumnya. “Siapa kamu?” tanya perempuan itu mengulangi. “Emm...maaf, Bu. Perkenalkan nama saya Adinda,” jawab Adinda sembari memaksakan senyum terbit di wajahnya. “Adinda siapa? Kenapa bisa ada di kamar anak saya?” tanyanya lebih lanjut. Adinda mengangguk paham. Sekarang dia mengerti bahwa perempuan yang sedang dia hadapi adalah ibu mertua dari Alvia. Sejenak Adinda meneliti penampilan ibu itu dengan seksama. Adinda bisa menyimpulkan penilaian sementara bahwa mertua Alvia sejatinya adalah seseorang yang baik. “Saya temannya Alvia. Alvia sedang ada keperluan sebentar jadi dia meminta bantuan saya untuk menjaga anak ibu sementara waktu,” jelas Adinda. Tampak ibu itu menggelengkan kepal